webnovel

Chapter 1

"Hei anak tingkat satu! Bantu di sebelah sini juga!"

Suasana kampus sedang ramai-ramainya. Aku pasti sedang sial karena harus terlibat kegiatan festival tahunan yang membosankan ini.

"Kau! Cewek kacamata di sana, kenapa diam saja!? Bawa papan background ini ke belakang panggung!"

Cha Junsuk, senior tingkat akhir itu tidak juga lulus dan sekarang bertingkah seperti bos di depan juniornya. Melihat telunjuknya yang sembarang mengacung dan ludahnya yang muncrat kemana-mana setiap dia memberi perintah, rasanya ingin ku tendang sampai masuk selokan!

"Hei, telingamu itu cuma pajangan ya!? Atau kau tidak mengerti bahasa manusia?"

"Ah, maaf." Aku terpaksa membungkuk. Ku tekuk wajahku dalam-dalam saat berusaha memindahkan papan backdrop seperti yang laki-laki itu minta.

Dibelakang panggung besar yang berdiri di tengah jurusan sastra ini, orang-orang juga tidak kalah sibuknya. Aku meletakkan gulungan backdrop bersama properti yang lain.

Pentas seni fakultas akan dilangsungkan 2 hari lagi, dan sekarang adalah saat-saat tersibuk untuk mempersiapkannya. Ini adalah acara yang akan didatangi orang-orang dari luar jurusan, mereka bahkan menyebut ini sebagai wajah jurusan sastra, karena itu semuanya harus berlangsung sempurna.

"Sempurna?" Aku merasa mual setiap kali berurusan dengan kata itu. Apa yang menarik dari menjadi sempurna?

Bruk!

Saat sedang tenggelam dalam pikiranku, sebuah kotak terjatuh dan menimpa properti pentas. Cha Junsuk si mahasiswa abadi yang dipercaya kepala jurusan menjadi ketua panitia langsung berlari menghampiri.

"APA INI!? SIAPA YANG MENUMPAHKAN CAT KE ATAS BACKDROP!?"

Sudah ku duga dia pasti mengamuk. Selain mahasiswa abadi, dia juga dipanggil sapi gila karena tempramennya yang buruk.

Semua orang terdiam dan tidak ada yang berani bersuara, apalagi mengaku. Aku juga tidak melihat siapa pelakunya, tapi menemukannya adalah hal sangat mudah.

Aku mengamati wajah dan gerak-gerik setiap orang, sampai seorang mahasiswi yang berdiri di dekat lokasi backdrop yang terkena tumpahan cat, tertangkap oleh mataku. Ia melihat ke kanan dan ke kiri seperti sedang ikut mencari pelakunya, tapi mulutnya yang tertutup rapat, dan tangannya yang terlipat, jelas sekali, dia menyembunyikan sesuatu.

Perempuan itu menyadariku terus melihat ke arahnya. Wajahnya seketika pucat pasi. Bingo! Sudah jelas-

"Dia yang melakukannya!" Tunjuk wanita itu ke arahku. "Aku lihat dia menyenggol kardus cat saat meletakkan backdrop."

Jadi dia ingin melempar bomnya padaku sebelum meledak di tangannya.

"Apa? Kau lagi!?" Cha Junsuk segera mengenaliku. "Kalau tidak bisa kerja yang benar buat apa kau jadi panitia!? Sekarang kau malah mengacaukan semuanya! Apa yang akan kau lakukan!?"

Benar. Kenapa juga aku jadi panitia? Aku sudah bertekad untuk menjalani hidup yang tenang setelah lulus SMA, kenapa juga aku repot-repot ikut acara membosankan ini? Tentu saja itu gara-gara kau dasar sapi gila! Kau yang seenaknya memaksa semua anak tingkat 1 untuk jadi babumu! Haaah seandainya aku bisa berteriak seperti itu di depan wajahnya yang menyebalkan.

"Bukan aku, tapi dia yang melakukannya," Sanggah ku. Di saat seperti ini, tidak ada banyak pilihan selain mengatakan yang sebenarnya.

"A-apa!? Apa buktinya? Kenapa menuduh orang sembarangan?" Tanya perempuan itu.

Aku tidak tahu siapa namanya, tapi aku yakin dia juga anak baru sepertiku, dan dia tidak punya bakat akting sama sekali.

"Tega sekali.. Hiks.. Bukan aku yang-" Perempuan itu mulai terisak. Orang-orang di sekitarnya berusaha menenangkannya. Apa mereka tidak punya mata? Jelas sekali gadis itu hanya pura-pura.

Tapi mereka bukannya tidak melihat kebohongan gadis itu.  Hanya saja semuanya bersikap pura-pura khawatir atau tidak mau tahu, itu adalah kemampuan manusia sejak zaman purba,  mencari tempat aman dan menghindari masalah.

Cemas, jijik, jengkel, lelah, tidak peduli. Aku bisa membaca emosi itu seakan tertulis jelas di wajah mereka.

"Bukankah kau Park Yuri?" Tanya Cha Junsuk mendekati perempuan berwajah lugu yang masih terisak itu. "Sudah ya jangan menangis. Aku tahu kamu tidak mungkin melakukannya. Dewi  kampus kita tidak mungkin melakukan itu. Sudah jelas ini salahnya anak jelek disana! Sejak tadi kerjanya juga tidak becus!" Lagi-lagi jarinya menunjuk ke arahku dengan ludah yang menyembur tiap kali ia membentak.

Aku mengepalkan tinju, kacamata dan syal tebal menutupi hampir seluruh wajahku, meskipun tidak bisa melihatnya, bisa-bisanya dia bilang aku jelek. Rasanya benar-benar ingin ku patahkan jari- tidak, apa tulang rusuknya saja ya?

"Melamun lagi! Sepertinya memang ada yang salah dengan kepalamu, ya!?" Laki-laki itu mendorong kepalaku dengan jari gempalnya.

Aku meraih kerah baju Cha Junsuk mematahkan rusuknya dengan tendangan lututku. Semuanya sudah tergambar jelas di dalam otakku, tapi aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak mau kembali lagi ke hidupku yang dulu. Karena itu kali ini pun, aku hanya diam dan membungkukkan badan.

"Maaf. Saya akan bertanggung jawab."

"Hah!? Apa kau tahu backdrop itu dilukis oleh Lee Suho!? Bagaimana kau akan bertanggungjawab!?"

Astaga.. Apa mulutnya bocor atau kelenjar ludahnya rusak? Bisa-bisanya wajahku basah hanya karena mendengar omelannya dari jarak 1 meter.

"Lee Suho!?"

"Pelukis muda yang terkenal dari jurusan seni?"

"Aku dengar dia mendapat tawaran untuk meletakkan lukisannya di museum nasional."

"Apa ini dilukis olehnya? Kalau begitu ini karya seni! Sayang sekali jadi rusak."

Orang-orang mulai ribut membicarakan Lee Suho. Aku merasa pernah mendengar namanya di suatu tempat.

"Jawab aku! Kau kan tidak bisu!"

Aish! Orang ini benar-benar harus pergi ke dokter untuk memperbaiki kelenjar ludahnya!

Aku mengelap wajahku dengan lengan baju. "Saya akan memohon agar orang itu mau melukisnya lagi."

Seketika semua orang terdiam.

Cha Junsuk memasang wajah terkejut dengan mata yang terbelalak, "Memangnya kau pikir dia tetangga sebelah rumahmu!? Gampang sekali kau bilang dia akan melukisnya lagi! Aku saja harus mengemi- maksudku mengurus perizinan panjang sampai dia mau melakukannya untuk jurusan kita!"

Aku hanya terdiam. Berusaha sabar saat wajahku kembali dibuat basah oleh sapi gila itu. "Saya akan mengusahakan bagaimanapun caranya."

Cha Junsuk terlihat akan kembali mengamuk. Tapi seseorang memanggilnya dari depan panggung.

"Sial! Aku sangat sibuk sekarang. Tidak ada waktu mengurusi orang sepertimu." Sebut laki-laki itu menggaruk kepalanya. Aku yakin melihat serbuk-serbuk putih jatuh dari rambutnya. "Kau punya waktu sampai besok! Besok sore semua backdrop harus sudah berada di tempatnya!"

Cha Junsuk berlalu pergi dengan langkah penuh emosi. Seketika itu juga orang-orang kembali ke tempatnya masing-masing.

Tidak apa-apa. Kalau hanya masalah sekecil ini, beberapa hari juga pasti orang akan lupa, kan? Pikirku berusaha menenangkan diri. Membayangkan orang-orang membicarakanku di sana-sini membuatku mual.

"Kau tidak apa-apa?" Park Yuri menatap wajahku yang pucat. "Maaf aku tidak bermaksud. Aku hanya panik karena kau seperti akan menuduhku. Aku tidak tahu masalahnya akan serumit ini. Terlebih itu lukisannya Lee Suho..." Mata gadis itu kembali berkaca-kaca.

Wajahnya yang cantik kembali tersapu air mata. Meski begitu aku hanya menatap dingin. "Kenapa kau sangat bersemangat?"

"Eh, apa?" Gadis itu terkejut dengan pertanyaanku.

"Saat menyesal, wajah seseorang akan terlihat suram. Tapi wajahmu sangat bersinar, sepertinya kau sedang senang."

Yuri terdiam sejenak, aku bisa melihat senyum tipis di sudut bibirnya yang merah. "Apa yang sedang kau bicarakan? Aku benar-benar khawatir."

Seandainya aku tidak tahu kalau dia sedang berbohong, kita mungkin bisa berteman. Tapi, bagaimana mungkin kau bisa berteman dengan orang yang mengatakan kalau dia punya maksud tersembunyi padamu? Aku bisa melihat hal itu dengan jelas di wajahnya. Aku yakin sebentar lagi dia akan meminta sesuatu.

"Aku benar-benar ingin membantumu. Kalau kau sibuk, biar aku yang membujuk Lee Suho." Sebut Park Yuri dengan mata bersinar. Seperti dugaanku.

"Aku bisa melakukannya sendiri."

"Eh?" Dia tampak tidak menduga respon dingin yang ku berikan. "K-kau tahu kan.. Setelah aku dinobatkan sebagai dewi kampus, aku jadi kenal beberapa orang di jurusan lain. Pasti akan lebih mudah kalau aku minta bantuan teman-temanku dari jurusan seni. Dan juga.. Karena aku dan Lee Suho sudah pernah kenal sebelumnya..."

Wajahnya Park Yuri memerah. Jelas sekali kalau dia tertarik dengan pria bernama Suho itu. Park Yuri sang dewi kampus dari jurusan sastra. Ah, benar juga.. Kalau tidak salah Lee Suho itu, dia yang dinobatkan sebagai dewanya saat upacara penerimaan. Pantas saja namanya terdengar tidak asing.

Drrt... Drrrt...

Aku segera mengeluarkan ponselku yang bergetar. Tidak terasa sudah sesore ini, aku menghabiskan banyak waktu untuk hal tidak berguna.

"Hei, kau mau kemana? Kita kan belum boleh pulang." Park Yuri berusaha menghentikan langkahku.

"Aku harus pergi kerja."

"Ah, begitu." Park Yuri melepaskan tangannya. Jelas sekali, ekspresi meremehkan di wajahnya itu, membuatku sangat puas. "Kalau begitu aku akan menghubungi Lee Suho."

"Terserah kau saja. Lagipula sejak awal ini kan salahmu."

Aku bergegas pergi dari sana, bisa ku rasakan tatapan penuh kebencian yang menusuk di belakang kepalaku. Park Yuri, aku rasa dia akan membuat hidupku kedepan menjadi sangat merepotkan.

***

"Terimakasih, silahkan datang lagi." Aku membungkuk pada pelanggan yang baru saja pergi. Jadwal jaga ku di minimarket dimulai dari jam 3 sore, hingga 7 malam. Setelah itu aku masih harus menerjemahkan naskah. Lalu di akhir pekan, aku akan bekerja sebagai tukang bersih-bersih sebuah tempat les. Aku sudah melakukannya selama satu semester. Sejak aku keluar dari rumah, aku membiayai semua kebutuhanku sendiri. Rasanya sangat melelahkan, tapi juga sedikit menyenangkan.

Matahari sudah terbenam. Minimarket kecil ini biasanya tidak terlalu ramai, jadi aku bisa sekalian mengerjakan beberapa tugas kuliah.

Analisis karya sastra. Identifikasi penokohan. Menulis artikel. Semua tugas itu diberikan sebagai tugas kelompok untuk 1 minggu, tapi ini terlalu mudah, sampai-sampai aku sendirian saja bisa menyelesaikannya dalam waktu kurang dari 4 jam. Sekarang aku tidak punya apa-apa lagi untuk dikerjakan.

"Bosan.." Kata keluhan itu rasanya sudah menjadi satu dengan lidahku. Aku melamun menatap jalan. Tiba-tiba saja kejadian tadi sore terlintas di benakku.

"Backdrop itu... Aku yakin Park Yuri sudah mulai beraksi, apa dia bisa membuat Lee Suho melukisnya lagi? Ahh.. Aku yakin gadis itu sama sekali tidak peduli soal backdrop. Dilihat dari manapun dia hanya ingin bicara dengan Lee Suho. Hm? Suho? Kenapa rasanya nama itu tidak asing.. "

Pintu minimarket terbuka. Segerombolan mahasiswa masuk bersamaan. Aku segera memasang kacamata dan masker ku. "Selamat da-"

"Eun Byul!?"

Yang terburuk dari yang terburuk! Itu Park Yuri, dan dia langsung mengenaliku. Gadis itu datang bersama 3 pria lainnya. Satu berambut pirang, satu berkacamata, dan satu lagi mengenakan topi. Mereka semua punya paras yang tampan. Aku mengamati wajah-wajah itu. Seketika mataku terbelalak lebar.

"Oh? Apa dia kenalan Yuri?" Salah satu pria itu, yang memiliki rambut pirang terang, memandangiku penasaran. Tapi percuma saja, aku menaikkan maskerku hingga bawah mata. Kang Hyun Soo, laki-laki itu berada kelas yang sama denganku saat SMA. Apa kita juga satu kampus? Tidak akan kubiarkan dia melihat wajahku. Jangan sampai dia melihatnya!

"Dia Lee Eun Byeol. Anak jurusan ku yang kuceritakan sebelumnya. Dia tidak sengaja merusak lukisan Suho Oppa." Park Yuri melirik pria yang mengenakan topi dengan wajah memelas.

Park Yuri, gadis ini! Habis sudah.. Aku pasti ketahuan.

Benar saja. Pria pirang itu tampak terkejut begitu namaku disebut. Tapi bukan hanya dia, dua orang lainnya juga begitu. Apa mereka juga mengenalku?

"Lee Eun Byeol? Apa kau Lee Eun Byeol pewaris grup Lian!?" Histeris Kang Hyun Soo menyebut perusahaan yang dijalankan keluargaku sejak turun temurun itu.

"Maksudmu dia Lee Eun Byeol si anak emas?" Tanya pria berkacamata menyebutkan julukan ku saat masih sekolah. Benar dugaanku. Dia juga salah satu anak dari SMA yang sama.

"Anak emas?" Park Yuri terlihat kebingungan. Padahal dia sendiri yang membuat situasi ini terjadi. Sekarang bagaimana aku bisa keluar dari reuni menyesakkan ini?

"Lee.. Eun Byeol?" Kali ini giliran pria bertopi. Mata hitamnya yang pekat menatap ku lekat-lekat. Seakan aku bisa menghilang kalau dia mengedip sekali saja.

Aku berdiri mematung. Tidak seperti kedua pria lainnya. Pria yang satu ini menatap ku dengan ekspresi yang aneh. Sedih? Terharu? Tidak.. Rindu?

"Apa kalian saling kenal? Aku agak bingung karena kalian memanggil Eun Byeol begitu. Apa kalian tidak salah orang?" Sebut Yuri terlihat tidak senang dengan perhatian yang tertuju padaku.

Aku berdecak kesal. Memang gara-gara siapa mereka jadi mengenaliku?

Aku melirik jam di atas pintu masuk. Seharusnya pegawai toko yang berjaga malam sudah datang beberapa saat lalu.

Benar saja, di tengah suasana tidak menyenangkan itu, pintu minimarket kembali terbuka.

"Halo! Eun Byeol. Maaf aku sedikit terlambat. Tadi-"

"Tidak masalah kak, aku ada kerjaan lain jadi harus buru-buru pulang."

Aku bergegas mengemasi barangku dan langsung berlari keluar pintu. Aku bahkan tidak sempat mengganti seragam ku.

Aku tidak menyangka akan bertemu mereka bertiga. Dan lagi, apa mereka benar-benar kuliah di kampus yang sama denganku!?

"AKH! KACAU SEKALI!"