1 Match

Loading.

Loading.

Loading.

Not Found!

"Huuft, and try for one last big payday."

Klik.

Loading.

Loading.

Loading.

DNA matches!

"Haaaah, akhirnya, sudah aku bilang 'kan, permainan ini aku yang memenangkan, aku memang dilahirkan untuk menjadi seorang yang jenius."

***

2020

Sydney City's Australia

"Mommy," teriak Lily membahana memenuhi ruangan sembari menuruni anak tangga, bola basket tergepit di antara lengan tangan kanan dan pinggang sedangkan, tangan kirinya memegang ujung papan skateboard.

"Mommy dimana sih?" teriaknya lagi setelah dua bola mata itu memandang setiap sisi hingga dirasakan tidak ada kehidupan sama sekali.

Lily mengerutkan keningnya, melihat kearah jendela dengan kain menjuntai panjang kebawah. "Belum begitu terang," lirihnya.

Sedetik kemudian, Lily menepuk jidatnya pelan setelah netranya menangkap benda bulat yang terpajang di dinding menunjukkan pukul lima pagi. "Pantas saja, pasti Mommy belum bangun."

Perlahan Lily menapakkan kakinya diiringi siulan ringan saat menuju kamar ibunya. Suara knop pintu pun terdengar lirih saat tangan mungil itu mencoba untuk memutar. Dibalik sana, terdapat seonggok wanita terlentang secara tidak manusiawi di atas ranjang, sungguh memalukan mengingat usianya yang beberapa tahun lagi akan menuju kepala tiga.

Lily menggeleng pelan setelah mengetahui bentukan tidur ibunya, gadis cilik berbalutkan kaos longgar itu perlahan memasuki kamar, mencoba untuk naik ranjang setelah melepaskan sepatu snakers miliknya yang akan dipakainya saat olahraga-setelah ini.

"Mommy." gadis imut dengan kulit tan itu menggoyangkan tubuh milik Rosé.

Tak ada respon!

Perlahan tapi pasti gadis berpipi gembil itu mencoba untuk menelungsup di balik selimut ikut tenggelam bersama ibunya dibawah sana. Rosé merasa ada yang mengganggu namun, sudah jelas dan sangat sadar siapa pelakunya, sontak saja dengan gerakan pelan wanita cantik itu merengkuh putri semata wayangnya.

"Adek kengen Mommy atau mau apa, hm?" tanya Rosé tanpa basa basi, karena sudah sangat hafal dengan perilaku bocah kecil ini-cukup rewel dan suka mengganggu.

"Mommy, Lily kangen Daddy, kapan Daddy pulang?"

Rosé membuka matanya perlahan, mengulas senyuman sebentar lalu mengatakan, "Nanti sore sayang, besok kita 'kan harus berangkat ke Indonesia."

"Yaaay, benarkah? Apa Daddy akan pulang sungguhan?" Gadis berpipi tembam itu bertanya dengan mata berbinar memandang wajah bare face ibunya.

Rosé memilih diam dan hanya mengangguk semangat sebagai jawaban pasti yang membuat sang empunya sunguh luar biasa senang.

"Semoga Daddy tidak melupakan skateboard pesananku."

Ya Tuhan. Rosé baru ingat bahwa putri kesayangnnya itu selalu punya maksud tertentu dalam percakapan di pagi hari. Ia sangat hafal, hanya saja sesikit lupa karena masih pagi buta.

Tapi tunggu!

Rosé mengendus tubuh putrinya. "Kok Adek wangi." perlahan ia juga memindai penampilan Lily. "Adek kok sudah rapi, mau kemana?" tanyanya kemudian.

"Mau main basket dan main skateboard, Mom," jawabnya lugu.

"Harus pagi-pagi banget ya dek?"

"Ayolah Mommy, hari ini hari terakhirku di Negara ini, berikan aku kesempatan untuk mengucapkan perpisahan pada club basket dan skeatboard, ya?" pintanya memelas terlebih memohon, Lily bukanlah tipe gadis yang akan seenak jidatnya keluar rumah tanpa persetujuan dari orang tua, kecuali urusan yang sangat mendesak dan rahasia.

"Iya sayang, Mommy ijinin, apasih yang enggak buat Lily Berna Samanta kesayangannya Mommy."

Jawaban Rosé disambut dengan binaran mata Lily yang tampak berkilau. Bahagia. Hanya itu saja membuat Lily bahagia.

***

"Daddy." Suara memekik tak tau malu itu keluar setelah matanya menyorot pintu yang terbuka menamplkan sosok pria menawan yang disebutnya sebagai daddy oleh Lily.

Sontak saja bersamaan dengan teriakannya, Lily berlari sampai terburu menghampiri ayahnya. Jeffry tak kalah senang saat menagkap antusias Lily yang tiba-tiba meloncat minta dipeluk olehnya.

"Aduh anak Daddy kangen ternyata," sapaan pertama keluar dari mulut Jeffry beserta membawa torsonya masuk lebih ke dalam rumah. Tidak lupa juga dengan Lily yang tetap berada digendongannya.

"Adek ayok turun, Daddy baru datang, nanti Daddy kecapek 'an lho," pinta Rosé pada Lily saat melihat raut letih Jeffry diwajahnya.

Jeffry menggelengkan kepalanya. "Sudah, nggak apa-apa, aku juga kangen ingin peluk Lily," tolaknya.

"Daddy," panggil Lily lirih.

"Hm, ada apa sayang?"

Tangan mungil itu menggantung di leher Jeffry. Mata nya, pun berpendar mencoba mempertahankan cairan yang akan merembes keluar. "Daddy harus janji. Daddy tidak boleh ninggalin Lily," pintanya pilu.

Mencoba untuk kokoh tapi, nyatanya cairan bening itu lolos begitu saja. Lily semakin mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajahnya di perpotongan leher ayahnya; ada isakan tertahan didalamnya, terasa sangat menyedihkan untuk ukuran anak sekecil itu.

Jeffry dan Rosé terpaku ditempat, menyimpan beribu kegelisahan akan permintaan tulus anaknya. Tidak biasanya Lily seperti ini, gadis itu te

avataravatar