1 Liza - Keturunan Penyihir Putih Legendaris?

Sebuah Volkswagen creme membelah jalan aspal yang berkelok di sepanjang lembah bersalju menuju wilayah Arlberg.

Kelima penumpang mobil tersebut terlihat mengenakan seragam gelap dengan ID card yang terkalung di masing-masing leher mereka. Melihat barang-barang yang dibawa bagasi mobil tersebut, jelas kalau mereka ini adalah para wartawan dari perusahaan pers yang hendak melakukan peliputan berita.

Hampir satu jam perjalanan, salju mulai turun deras disertai angin kencang. Namun mereka tetap melanjutkan perjalanan, tanpa peduli hujan salju semakin lebat.

Liza Meissa, salah seorang kru wartawan yang duduk paling depan dekat supir itu terlihat paling khawatir, sedangkan teman-teman kru lainnya tampak santai dan bahkan saling bersenda gurau.

Sepasang manik dark purple milik Liza lantas bergerak ke Pak Albert, supir yang duduk di sampingnya.

"Pak, apa sebaiknya kita berhenti dulu? Lihatlah, hujan saljunya cukup lebat. Saya khawatir kalau di tengah perjalanan akan ada badai salju. Itu akan membahayakan kita," ucap Liza bernada khawatir, dengan telunjuk yang mengarah ke luar jendela.

Pak Albert terkekeh sejenak. "Tinggal tiga kilometer lagi kita akan sampai. Asal kita berjalan pelan dan fokus memperhatikan jalan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Nona."

"Setengah jam lagi pembukaan olimpiade ski. Jadi kita tidak boleh terlambat, Liz. Boss akan sangat marah kalau kita sampai gagal meliput tepat waktu."

Yang memberi peringatan tadi adalah Nyonya Sarah, senior wartawan yang kebetulan menemani dan mengawasi peliputan bersama Liza dan kawan-kawan krunya.

"Tapi--"

"Hahaha! Ayo main lagi!"

Ucapan Liza menggantung saat menyadari para kru lain kini malah sedang asyik game. Sementara senior Sarah sedang sibuk dengan tablet di hadapannya.

"Hmmm ..." Liza menghembuskan napas pasrah.

Liza sudah tidak kaget dengan sikap mereka. Maklum saja, Liza masih junior dibandingkan para kru lain. Usia Liza pun juga paling muda, yaitu 25 tahun. Jadi tidak heran kalau pendapatnya kadang dianggap angin lalu.

Hendak membalikkan badan, Liza sedikit terhenyak. Tanpa Liza disadari, manik mata dark purple Liza tampak berkilat sekilas setelah ia mengedipkan kelopak matanya dengan cepat sebanyak tiga kali.

Bersamaan dengan itu pula, sorot mata Liza juga ikut berubah ketika sepasang manik mata itu menangkap seberkas cahaya solid berwujud kristal terang yang terlihat di bagian dada masing-masing temannya. Tidak hanya teman kru, tapi kristal cahaya itu juga ada di dada Sarah dan Pak Albert.

Sejak kecil, Liza memang sudah sadar kalau dia berbeda. Perempuan itu mampu melihat kristal aneh bin gaib dalam tubuh manusia. Yang mengherankan, hanya Liza yang mampu melihat kristal cahaya tersebut.

Sampai sekarang, Liza sendiri juga tidak tahu itu kristal apa. Yang Liza tahu, kalau dia berkedip cepat sebanyak tiga kali, maka ia mampu melihat kristal itu selama tiga menit.

Kristal cahaya yang dilihat Liza itu terlihat seperti benda kristal yang menempel di bagian dada manusia. Tiap orang memiliki kilauan warna dan kecerahan cahaya yang berbeda.

Liza sendiri juga punya kristal cahaya di bagian dadanya. Warnanya emas cerah, sangat indah. Terkadang, Liza seperti melihat pola-pola aneh yang terbentuk pada kristal miliknya. Begitu juga dengan kristal milik teman-teman Liza yang juga punya pola berbeda-beda.

Entah apa maksud pola itu, Liza tidak tahu dan tidak terlalu penasaran dengan kristal itu. Karena selama ini penghilatan aneh itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa pada hidup Liza.

Tapi sekarang, ada yang berbeda dengan kristal itu. Biasanya Liza melihat kristal-kristal itu bercahaya cukup terang. Kini, cahaya kristal orang-orang itu tampak meredup, seperti kehabisan daya. Itu aneh.

'Apa yang terjadi? Aku tidak pernah melihat cahaya kristal itu meredup seperti ini,' gumam Liza membatin curiga.

Tidak seperti kristal milik para kru yang cahayanya meredup, kristal milik Liza masih tetap bercahaya, walau tidak seterang biasanya. Itu membuat Liza semakin penasaran, juga takut.

Beberapa menit kemudian, mobil pun sampai di pertikungan panjang dengan papan tanda menuju St. Anton am Arlberg.

"Bukankah seharusnya kita sudah melewati tanda itu?" gumam Liza dengan wajah yang mulai menegang.

Liza dengan cepat mengecek jam tangan di pergelangan kirinya. Perempuan itu makin shock dengan waktu yang ditunjukkan jam tangan tersebut.

Astaga! Masih jam delapan? Bukankah seharusnya sudah lewat dari tadi?' panik Liza dalam hati.

Benar juga. Kalau memang perjalanan tinggal tiga kilometer lagi, seharusnya mereka sudah sampai beberapa menit lalu. Waktu yang ditunjukkan juga seharusnya sudah lebih lima belas atau dua puluh menit.

Memastikan kalau Liza tidak berhalusinasi, ia pun mencoba mengecek waktu di ponselnya, juga melihat jam digital di dashboard mobil. Waktunya sama. Masih jam delapan.

"Teman-teman, aku--"

Bermaksud mengatakan kejanggalan itu, entah mengapa mendadak tenggorokan Liza seperti tercekat di pangkal leher. Seperti ada yang menahan suaranya untuk keluar. Liza pun semakin ketakutan.

Keringat dingin mulai mengalir deras dari kening Liza. Bersamaan dengan bulu kuduknya yang mulai merinding ngeri karena memikirkan kejanggalan-kejanggalan itu.

Walaupun begitu, sebisa mungkin perempuan itu mencoba untuk berpikiran positif. Dalam hatinya Liza juga berdoa kepada Tuhan agar ia dan teman-temannya bisa selamat sampai tujuan.

Tak lama setelah semua kejanggalan itu muncul, mobil pun akhirnya mogok di tengah jalan.

Oke. Ini mungkin hanya mogok biasa. Bisa jadi mesin mobil ini sedikit bermasalah akibat cuaca dingin yang cukup ekstrim.

Iseng-iseng Liza menengok ke luar jendela untuk mengamati keadaan sekitar.

Tapi aneh. Sejak kapan jalan raya bisa sesepi ini? Tidak ada kendaraan lain yang lalu lalang seperti biasa. Juga tidak ada orang lain selain mereka.

"Tunggu sebentar. Saya akan keluar untuk mengecek mesinnya."

Pak Albert pun memutuskan keluar dari mobil untuk mengecek mesin mobil. Sementara Liza juga ikut keluar untuk memayungi beliau agar tidak terkena hujan salju.

Bersamaan dengan itu, hujan salju berubah menjadi hujan angin yang sangat kencang. Bahkan beberapa pohon pinus kecil yang tumbuh di sepanjang pinggir jalan itu sampai beterbangan, terseret riak angin lalu jatuh ke tebing.

Menakutkan sekali melihat pohon-pohon kecil itu hancur saat mendarat di tebing itu. Liza sampai bergidik ngeri melihat pemandangan itu. Sementara Pak Albert tidak menghiraukan itu dan tetap melanjutkan pekerjaannya membetulkan mesin mobil.

Namun tiba-tiba Liza menangkap suara angin yang sangat ribut. Kedengarannya sangat dekat.

"Itu--"

Dan benar saja. Sebuah pusaran angin topan yang cukup besar berputar sangat kencang. Angin topan itu datang dari belakang dan menuju ke mobil mereka.

Pak Albert memekik histeris sesaat ia menyadari kedatangan pusaran topan itu. "Astaga!"

Refleks beliau menarik Liza untuk melarikan diri untuk menjauh dari mobil. Tapi Liza menahannya.

"Tidak! Tunggu! Para kru masih di dalam mobil, Pak!"

"Tidak ada waktu! Kita harus segera pergi--AH!!"

BRUKK!

Tidak terduga, tubuh Pak Albert tertumbuk batang kayu yang melayang terseret angin. Hingga pria itu tidak sadarkan diri dan terhuyung ke depan, lalu ikut terbawa oleh derasnya aliran angin.

"PAK ALBERT!!"

Terlambat. Pak Albert dan mobil yang ditumpangi krunya pun sudah lebih dulu tertarik ke pusaran angin topan itu. Sedahsyat itu kekuatan pusaran angin itu, sampai ia mampu membuat mobil terbang.

Berusaha melawan embusan angin dengan langkah tertatih, Liza cepat-cepat pergi ke pinggir jalan dan berpegangan pada satu batang pohon yang cukup besar.

"Aaaaa! Tolooongg! Hiks hiks!"

Air mata Liza mulai mengalir. Ia menangis dan meronta meminta tolong. Beberapa kali ia menjerit panik saat tubuhnya terasa terombang-ambing oleh angin yang berusaha menariknya agar lepas dari batang pohon.

KRAAAKKK!

Tidak terduga, pohon yang digunakan Liza sebagai pegangan pun terlepas. Akarnya tidak mampu melawan terpaan dahsyat dari angin topan itu. Liza pun ikut terseret pusaran angin mematikan itu.

"Arghh!"

Sebisa mungkin perempuan itu berusaha untuk tetap memeluk pohon agar terlindung dari benturan benda-benda yang beterbangan.

Entah berapa lama Liza terombang-ambing dalam lingkaran angin itu, hingga Liza pun kelelahan dan kesadarannya perlahan menghilang.

Bersamaan dengan tubuh Liza yang terbawa oleh angin, sebuah petir menyambar dengan kecepatan tinggi. Membuat pusaran angin besar itu seketika berhenti berputar. Gelegar petir pun terdengar membahana. Suaranya benar-benar sangat menakutkan.

Satu persatu benda yang terbawa angin pun berjatuhan ke tebing. Puing-puing kayu-kayu pohon, batu-batuan, semuanya jatuh dan menimbulkan dentuman-dentuman suara yang sangat keras.

Saat tubuh Liza hampir membentur bibir tebing, seberkas kilat cahaya muncul dan menahan tubuh Liza. Lalu kilat itu dengan cepat membawa perempuan tak sadarkan diri itu pergi.

Tubuh Liza dibawa turun ke sebuah lembah yang tidak jauh dari sana. Menembus hutan, melewati kelokan sungai beku, dan sampai di celah besar mirip gua kecil di lereng gunung.

Liza yang masih belum sadar itu lantas dibawa masuk ke gua itu dan dibaringkan.

Kilat cahaya itu lantas berubah wujud menjadi sosok arwah kakek tua berjanggut putih berbalut jubah putih panjang dan bertudung, busana khas abad pertengahan.

Kakek tua itu lantas merentangkan tangannya dan menyentuh puncak kepala Liza.

Di detik selanjutnya, kelopak mata Liza tampak bergerak-gerak, lalu membuka perlahan.

Melihat penampakan arwah kakek di depannya, refleks Liza terlonjak kaget. "Astaga! Han--tu--!"

"Syukurlah! Anda sudah sadar Nona Adera!" ucap kakek tua itu lega.

Dahi Liza menyeringit bingung. Kepalanya lantas bergerak, menoleh ke belakang. Dia tidak melihat siapapun selain dirinya sendiri dan arwah kakek itu.

Dengan tubuh bergetar karena ketakutan, Liza pun bertanya, "A--Adera siapa?"

Kakek itu terhenyak. "Apakah Nona lupa nama Anda?"

"Maaf, sepertinya kakek salah orang," jawab Liza seraya menggelengkan kepala.

Kakek itu sangat yakin kalau perempuan yang baru saja diselamatkannya ini adalah Adera. Beliau tidak mungkin salah orang, karena wajah Liza sama persis dengan Adera.

Manik mata dark puplenya yang bercahaya, rambut ambernya yang bergelombang, garis wajah yang lembut, paras yang cantik berseri. Benar-benar mirip dengan ciri-ciri Adera yang kakek itu kenal dahulu.

"Saya tidak mungkin salah orang. Anda ini adalah Nona Adera, keturunan penyihir putih legendaris."

Kontan bola mata Liza membelak. "Apa??"

**

To be continued

avataravatar
Next chapter