1 Pulang

"Ya ampun, Tuan!" pekik wanita yang usianya sudah hampir setengah abad itu.

"Ssstttt ... Bi Narsih! Jangan berisik."

Wanita itu meraih koper sang tuan dan membawanya masuk, sedangkan Robi kembali menuju mobil untuk mengambil sebuah kotak besar berisi kue dan juga seikat bunga.

"Tuan, kok pulangnya pagi sekali? Nyonya bilang besok."

"Saya mau bikin Surprise, Bi."

"Mau saya bantu, Tuan?"

"Tidak perlu, Bi. Bibi tidur lagi saja, masih pagi kalau bekerja jam segini."

"Enggak apa, Tuan. Biar siang nanti bisa santai."

"Ya sudah, saya naik dulu. Tolong nanti siapkan sarapan agak siang saja."

"Baik, tuan. Untuk menunya, Tuan mau makan apa?"

"Apa saja, tapi untuk Amelia tolong buatkan sup seafood kesukaannya."

"Baik, Tuan."

Robi mengendap-endap memasuki kamar, bahkan kakinya berjinjit agar tidak menimbulkan suara.

Dilihatnya arloji di tangan, masih pukul tiga dini hari. Meski terlambat, Robi langsung menyalakan lilin yang tertancap di kue untuk memperingati hari jadi pernikahannya yang dia siapkan untuk Amelia—istrinya.

Amelia masih terlelap, saking pulasnya dia tidak sadar bahwa suaminya pulang. Robi merasa bersalah karena sudah terlalu lama meninggalkannya, tapi karena urusan pekerjaan tidak bisa dia tinggal, terpaksa harus meninggalkan Amelia selama empat bulan lamanya.

Mengajaknya? Tentu saja sudah Robi lakukan, hanya saja Amelia selalu merasa risi jika harus ikut perjalanan bisnis karena ada Mayang—ibunya Robi.

Hubungan mereka memang tidak terlalu bagus, jadi sebisa mungkin Amelia menghindari banyak kesempatan untuk bersama mertuanya.

Selain karena status sosial, permasalahan keturunan juga membuat hubungan mereka semakin renggang. Cacian bahkan hujatan dari mertuanya yang membuat Amelia semakin menjauh memisahkan diri dari keluarga besar.

Robi tentu saja sering membelanya. Mencoba untuk terus mempertahankan rumah tangganya meski terkadang Mayang sering meminta untuk menceraikan Amelia. Rasa cintanya yang begitu besar bak benteng yang kokoh untuk Amelia.

Tangannya mengelus lembut pipi Amelia, lalu membelai rambutnya dengan mesra, "Mel ... Sayang."

Amelia tak bergeming, dia masih terlelap. Robi akhirnya mencoba untuk mendaratkan kecupan mesra di pipinya dan benar saja, Amelia langsung terperanjat.

"Astaga, Mas! Kapan datang?"

Robi tergelak, menurutnya Amelia begitu imut jika sedang terkejut seperti itu.

"Happy Anniversary, Honey."

Amelia masih merasa tak percaya, Suaminya ada di sini—di hari ulang tahun pernikahannya. Dia memeluk erat Robi, memastikan jika ini bukanlah mimpi. Bibir mereka saling berpaut, melepas rasa rindu yang sudah lama tertahan.

"Kamu bilang pulangnya nanti besok siang?"

"Sengaja, ngerjain kamu ... ayo tiup dulu lilinnya bareng-bareng, make a wish, Honey."

Amelia meniup lilin yang menyala, seraya menyampaikan harapannya pada hari jadi pernikahannya yang ke 5 tahun ini. Tak akan ada yang menyangka apa harapan dan doanya, karena dia hanya berharap satu hal—agar tuhan menutup rahasianya rapat-rapat.

Amelia melingkarkan tangannya pada tubuh Robi, lalu mereka saling melepas rasa rindu yang selama ini tertahan.

"Aku rindu kamu, Mel ...," bisik Robi mesra.

"Aku juga, Mas ...."

Amelia menikmati setiap sentuhan yang Robi berikan, pun dengan Robi yang sudah rindu tak karuan. Melepas hasrat yang selama ini menumpuk sampai tak terbendung lagi, Robi sudah di luar kendali.

"Maafkan aku kalau mungkin akan agak kasar," bisik Robi.

"I am yours, Honey."

***

Amelia menatap gawainya dengan rasa gelisah, berharap segera mendapat balasan pesan yang dia kirim sebelum Robi terbangun dari tidurnya.

Tiing'

Amelia mengambil gawainya dan segera membuka pesan. Namun, sebelum itu, dia sedikit memberi jarak antara dirinya dan Robi. Amelia takut suaminya terbangun dan mengetahuinya.

[Bukannya dia pulang besok?!]

[Entahlah, tiba-tiba saja subuh tadi dia pulang.]

[Lalu janji kita hari ini bagaimana, Sayang?]

[Tentu saja tidak bisa. Maafkan aku.]

[Aku sudah tak sanggup terus seperti ini, Mel. Aku mencintaimu.]

Amelia memijat keningnya yang terasa pening seketika, pulangnya Robi diluar dugaannya. Dia bahkan belum sempat mengatur rencana, agar semuanya tertutup sempurna tanpa celah.

[Aku juga mencintaimu, Honey.]

[Maka pilih diantara kami.]

[Tolong jangan desak aku. Kamu tahu betul aku tidak bisa memilih diantara kalian.]

[Kamu egois, Mel. Memangnya apa bedaku dengan Robi?!]

[Tolong beri aku waktu.]

Amelia segera menghapus histori chatnya, tak lupa pula memeriksa kembali, dia khawatir jika ada bukti apa pun yang tertinggal.

Amelia mencoba untuk menenangkan dirinya. Sebisa mungkin dia akan berusaha tetap tenang menghadapi masalah ini. Keputusan apa pun yang kelak dia pilih, tidak boleh sampai merugikan dirinya sama sekali.

Amelia sadar kalau dirinya mungkin egois, tapi dia juga tak bisa membohongi hatinya. Memilih? Tentu saja dia belum sanggup, meski sebenarnya mungkin itu lebih baik dilakukan sekarang sebelum semuanya terlambat dan semakin teruk.

Dia mengusap perutnya yang masih terlihat rata. Bersyukur tubuhnya dianugerahi Tuhan dengan sempurna, sampai siapa pun tak akan sadar bahwa ada nyawa lain yang bersemayam di dalam rahimnya.

Amelia beralih menatap suaminya—Robi, terlihat dia begitu pulas setelah melepas hasratnya pagi tadi. Ada rasa bersalah bergelayut di dalam hatinya, menghianati suami yang begitu mencintainya sepenuh jiwa.

Robi bukan hanya suami, tapi juga penyelamat hidupnya yang dulu nyaris saja jadi korban bisnis prostitusi. Andai bukan karena Robi, mungkin kehidupan Amelia tak akan seindah yang dia rasakan.

Masih terlintas dalam bayangnya, saat dimana Robi menebusnya dari seorang muncikari setelah dijual oleh Ibunya sendiri, dia bersyukur karena saat itu berhasil melarikan diri sampai akhirnya bertemu Robi.

Amelia sadar bahwa dia tak tahu malu saat ini, tapi dirinya sungguh tak bisa kehilangan kehidupannya saat ini. Siapa pun iri pada statusnya yang menjadi istri dari seorang pebisnis terkenal seperti Robi, hanya wanita bodoh yang mau melepasnya begitu saja. Kekurangan Robi hanya satu, dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.

Dia meratapi kebodohannya karena sudah bertindak terlalu jauh sampai pada tahap ini. Andai saja suaminya bisa lebih sering berada di rumah, mungkin dia tak akan terjerumus dalam lingkaran setan itu hanya demi memuaskan hasratnya.

"Mel ...," panggil Robi membuyarkan lamunan Amelia.

"I—iya, mas?"

"Ngapain di balkon? Udaranya masih dingin, setidaknya pakai jaket."

"Lagi lihat matahari terbit, Mas. Suhunya sudah cukup hangat, kok."

"Sini temani Mas tidur, masih ngantuk ...."

Amelia langsung menghampiri Robi ke atas ranjang, menyusup ke dalam selimut dan memeluk erat suaminya.

"Terima kasih sudah mau bersabar menunggu Mas selama ini, Mel."

Amelia tak menjawab, dia tak sanggup untuk mengatakan apa pun lagi karena hanya akan ada kebohongan lain yang tercipta jika dia buka suara.

"Mas janji, akan banyak menghabiskan waktu denganmu sebagai gantinya."

Amelia tak bisa menjawabnya, andai Robi tahu bahwa cintanya telah ternoda, mungkin bukan kata manis itu yang akan dia ucapkan padanya.

Maafkan aku, Mas—batin Amelia.

avataravatar
Next chapter