12 CWCVH PART 12

Briel memasuki kamarnya. Dia meletakan lukisan yang dia ambil dari kediaman orangtuanya di atas meja kerja Erland.

Briel melihat ke dinding, di mana lukisan yang dia buat siang tadi masih belum selesai sepenuhnya.

'Aku akan menyelesaikannya dengan cepat, aku tak sabar melihat hasil akhirnya,' gumam Briel seraya tersenyum membayangkan wajah penyanyi favoritnya akan terpampang nyata di hadapannya ketika dirinya membuka mata di pagi hari. Ah, menyenangkan sekali rasanya, pikir Briel. Meski kini dia tak lagi tinggal di kamar masa kecilnya, tetapi setidaknya dengan adanya lukisan yang sama di kamar Erland, Briel takan merasa canggung.

Briel mungkin tampak santai memasuki kediaman Erland. Namun, sejujurnya dia tetaplah merasa canggung berada di tempat asing yang belum pernah dia tiduri tersebut. Malam inilah Briel akan benar-benar tidur di kamar Erland untuk pertama kalinya. Beruntungnya, Erland langsung meninggalkannya untuk perjalanan bisnis. Entah apa yang akan terjadi jika Erland berada di rumah itu. Membayangkannya saja sudah membuat Briel merasa gelisah.

Briel memegang perutnya, rasa lapar mulai menyerangnya. Dia belum makan malam. Briel pun memutuskan menuju ruang makan. Dia akan makan malam terlebih dahulu agar dapat beristirahat dengan tenang.

"Halo," sapa Briel ketika dirinya sampai di dapur dan melihat ada Kiki di sana.

"Halo, Nona. Apa Anda mau makan sekarang?" tanya Kiki.

"Boleh, tolong siapkan, ya," ucap Briel.

"Baik, Nona," ucap Kiki.

Briel pergi menuju meja makan. Dia duduk di sana, menunggu Kiki yang tengah mengambilkan makanan untuknya.

Selesai menyiapkan makanan di meja makan, Kiki meninggalkan Briel sendirian.

Briel melihat sekeliling. Rumah itu mungkin tak sebesar rumah orangtuanya, bahkan ruang makan itu pun tak sebesar ruang makan di rumah orangtuanya, tetapi rumah itu terasa dingin. Tak sehangat ruamah orangtuanya. Seharusnya, rumah itu terasa menyenangkan bukan? Namum, justru terasa membosankan menurut Briel.

'Aku lupa, yang tinggal di sini sepertinya juga orang yang dingin. Wajahnya itu, ya ampun. Selalu datar,' gumam Briel.

Briel belum lama mengenal Erland, tetapi merasa sudah cukup tahu seperti apa Erland yang sebenarnya hanya dengan melihat ekspresi Erland saja.

Selesai makan malam, Briel kembali ke kamar. Dia membersihkan wajahnya terlebih dahulu. Setelah selesai, Briel mengambil ponselnya, dia menonaktifkan ponselnya, kemudian melatakannya di atas laci nakas.

Ketika mulai merebahkan tubuhnya, Briel mencium aroma harum dari bantal. Tunggu dulu!

Briel terperanjat, rasanya dia mengenal aroma harum tersebut. Aromanya sama persis seperti aroma yang dia hirup ketika dekat dengan Erland. Ya, itu memang aroma tubuh Erland. Briel memiliki ingatan kuat, indera penciuamannya pun normal, karena itu Briel langsung mengenali aroma tersebut.

'Haish... Apa aku harus terbiasa juga dengan aroma tubuhnya itu?' batin Briel.

Briel kembali merebahkan tubuhnya. Dia merasa kehilangan sesuatu.

'Aku rindu boneka beruangku, kenapa aku tak kepikiran untuk membawanya?' gumam Briel.

'Uh, sayangku,' gumam Briel teringat pada boneka beruangnya.

Briel menjadi gelisah. Meski kini dia sudah berusia lebih dari 20 tahun tetapi dirinya masih terbiasa tidur seraya memeluk boneka beruang berukuran besar yang menjadi kesayangannya sejak dirinya masih kecil dulu.

***

Keesokan paginya.

Briel terbangun dari tidurnya ketika mendengar suara berisik. Lantas, Briel melihat siapa yang sudah membuat tidurnya terganggu.

"Maaf, Nona. Saya jadi mengganggu tidur Anda," ucap Kiki.

Briel mendudukan tubuhnya, dia melihat sarapan di laci nakas di sampingnya.

"Kenapa membawa sarapan ke kamar? Saya bisa sarapan di bawah," ucap Briel.

"Saya pikir, Nona kelelahan. Jadi, belum bangun. Takutnya Nona lapar ketika bangun nanti, karena itu Saya mengantarkan sarapan ke kamar,' ucap Kiki.

"Memangnya, sekarang jam berapa?" tanya Briel.

"Jam sembilan, Nona," ucap Kiki.

"What? Astaga! Kenapa tak membangunkanku?" Briel terperanjat, dia bergegas turun dari tempat tidur dan lari menuju kamar mandi.

'Apa-apaan ini? Kenapa aku tidur selama itu? Tak mungkin tempat tidur si monster itu begitu nyaman, hingga aku telat bangun,' gumam Briel.

'Ah, tidak. Aku rasa bukan begitu. Ini pasti gara-gara semalaman aku tak bisa tidur, jadi tidur larut malam,' gumam Briel lagi.

Briel terlambat bangun, dia harus pergi ke kelas melukisnya hari ini untuk bertemu Guru melukisnya dan akan menyerahkan tugas lukisannya yang semalam dia ambil di kediaman orangtuanya. Kelas Gurunya tersebut di mulai pukul delapan pagi, tetapi Briel sudah terlambat satu jam. Dia benar-benar sudah terlambat dan kelas sudah akan selesai.

Briel tak mandi, dia hanya menggosok giginya dan bergegas bersiap. Briel bersiap seadanya, dia terlalu panik karena sudah terlambat pergi ke kelas melukisnya. Dia pun tak memakan sarapannya lebih dulu dan memilih langsung pergi menuju kelas melukisnya. Tak lupa dia pun membawa lukisan yang sudah dia selesaikan yang tak lain adalah tugas dari Guru melukisnya dan ponselnya yang bagaikan sudah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Baginya, lebih baik lupa membawa dompetnya dari pada ponselnya.

***

Sesampainya di tempat melukis. Briel berlari menuju kelasnya seraya membawa lukisan miliknya. Ketika sampai di kelasnya, kelas melukis sudah selesai. Tak ada Guru melukis lagi di kelasnya.

"Briel! Kenapa baru datang? Kamu ke mana saja?" tanya Jenny yang mulai beranjak dari kursinya

Ya, sama halnya dengan Briel, Jenny pun masuk ke sekolah melukis yang sama dengan Briel. Kedua gadis itu benar-benar tak terpisahkan sejak mereka masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Persahabatan keduanya terjalin dengan baik dari sejak keduanya kecil hingga saat ini.

"Aku bangun kesiangan," ucap Briel.

Briel mengatur napasnya. Rasanya lelah sekali berlari terburu-buru seperti tadi.

"Ya ampun, apa kamu begadang? Pantas saja ketika aku menghubungimu tak bisa, ponselmu mati," ucap Jenny.

Jenny sudah menduganya sejak awal. Kebiasaan Briel, ketika tidur takan mengaktifkan ponselnya. Itu karena Briel tak ingin tidurnya terganggu.

"Apa Pak Gerald masih ada di ruangannya?" tanya Briel.

Gerald Kusuma, pria berusia 30 Tahun yang berstatus lajang itu adalah Guru melukis Briel. Dia yang selama Briel masuk ke sekolah khusus melukis tersebut mengajari Briel banyak hal. Meski begitu, tak lantas membuat Briel dapat dengan mudah mendekatinya. Gerald adalah orang yang tak banyak bicara. Dia akan bicara seperlunya saja dan tak pernah melakukan interkasi jika tak ada yang penting.

"Entahlah, coba saja ke sana. Mau kutemani?" tanya Jenny.

"Tak perlu, aku pergi dulu!" teriak Briel seraya berlari menuju ruangan Gerald.

Sesampainya di ruangan Gerald, Briel melihat pintu ruangan itu terbuka. Tampak Gerald tengah duduk di meja kerjanya. Briel pun mengetuk pintu ruangan itu dan Gerald pun menoleh ke arah Briel.

"Permisi, Pak," sapa Briel.

"Ya?" Gerald mengerutkan dahinya melihat Briel.

"Maaf, Saya terlambat. Saya ingin menyerahkan tugas melukis Saya," ucap Briel seraya menyodorkan lukisan di tangannya pada Gerald.

Gerald menatap Briel, dia tak melihat lukisan Briel sama sekali.

"Ini bukan jam kelas, Saya tak menerima tugas di luar jam kelas," ucap Gerald.

"Itu, maafkan Saya. Saya bangun terlambat, karena itu Saya terlambat ikut kelas," ucap Briel.

"Saya tetap tak menerima tugas di jam selain jam kelas," ucap Gerald.

"Jadi, bagaimana dong, Pak?" tanya Briel bingung.

"Bagaimana? Hari ini hari terakhir penyerahan tugas, Gabriela Anstasya! Karena kamu terlambat menyerahkannya, kamu takan mendapatkan nilai untuk tugas kali ini!" tegas Gerald.

"Ha? Kenapa seperti itu? Saya sudah mengerjakannya dengan penuh gairah, penuh cinta, penuh keyakinan. Jadi, jangan katakan itu," ucap Briel memelas.

Gerlad menutup wajahnya sejenak. Dia pun kembali melihat Briel.

"Silakan keluar jika sudah tak ada hal penting lagi!" ucap Gerlad.

"Baiklah, Saya pergi dulu. Tolong berikan nilai untuk lukisan Saya, ya, Pak," ucap Briel dan bergegas lari menuju pintu.

"Hei, lukisanmu kenapa ditinggal?" teriak Gerald tetapi Briel dengan cepat menghilang dari pandangannya.

"Dasar! Tak sopan sekali anak itu!" geram Gerald.

avataravatar
Next chapter