webnovel

CWCVH APRT 24

Di tempat melukis Briel.

Briel meletakan kedua sikunya di atas meja, sebuah gelas berisikan orange juice tak lupa dia genggam. Sedotan yang layak digunakan menurut badan kesehatan itupun tengah menghubungkan orange juice itu dengan mulutnya.

Tak!

"Menyebalkan! Ini semua gara-gara manusia satu itu, aku jadi terlambat datang ke sini!" kesal Briel.

Ya, setengah jam yang lalu, tepat ketika Briel sampai di tempat melukisnya dia tak diizinkan masuk ke kelas melukis karena keterlambatannya. Gerald lagi-lagi tak mengizinkan Briel masuk untuk mengikuti kelasnya. Padahal, hari itu adalah pengumuman nilai dari tugas melukis yang sebelumnya di berikan.

"Briel!"

Briel menoleh, dia mendengar suara Jenny. Briel melihat ke arah datangnya suara itu, benar saja itu Jenny yang terlihat tengah menghampirinya.

"Jadi, dari tadi kamu di sini?" tanya Jenny seraya duduk berhadapan dengan Briel.

"Memangnya, di mana lagi? Aku kesal! Aku sudah bangun tepat waktu, seharusnya aku tak terlambat, tetapi gara-gara dia aku jadi terlambat datang ke sini!" kesal Briel.

"Siapa?" tanya Jenny seraya menatap Briel penasaran.

Briel menghela napas. Sepertinya, dia sudah kebablasan bicara.

"Bukan siapa-siapa, hanya anjing lewat," ucap Briel.

"What? Apa kamu dikejar anjing, Briel?" tanya Jenny syok.

Mendengar kata anjing, Jenny justru berpikir bahwa Briel terlambat ke tempat melukis karena bertarung terlebih dahulu dengan anjing.

"Tidak, sudahlah lupakan. Aku kesal," ucap Briel.

"Oke, lupakan. Oh, ya. Pak Gerald akan memberikan nilaimu, Briel," ucap Jenny membuat ekspresi Briel berubah antuasias.

"Benarkah? Dia di mana sekarang? Apa dia di ruangannya?" tanya Briel.

"Dia sudah pergi, dia hanya menitipkan ini padaku," ucap Briel seraya menunjukan sebuah kertas pada Briel.

Briel menaikan alisnya curiga. Apa iya itu nilainya? Mana mungkin Gerald yang terkenal dingin itu memberikan nilainya hanya melalui selembar kertas? Meksipun mungkin Gerald marah karena Briel terlambat, bukankah itu keterlaluan?

"Itu dari Pak Gerald untukmu, katanya aku harus memberikan itu padamu," ucap Jenny.

"Hem..." Briel mengambil kertas itu dan membaca apa yang tertulis di dalamnya.

'Karena hari ini kamu terlambat lagi, maka kamu tak bisa mendapatkan nilaimu. Tapi, jika kamu mau mengambil nilaimu hari ini, datanglah ke rumah Saya. Kebetulan, Saya cuti selama satu minggu ke depan. Tapi, jika kamu tak mau nilaimu sekarang, tak masalah. Kamu bisa menunggu hingga minggu depan ketika Saya kembali.'

Briel berpikir sejenak. Apa maksudnya harus ke kediaman Gerald? Ngomong-ngomong, ada sesuatu yang aneh. Sudah jaman apa ini? Apa iya masih saja ada seseorang yang berpikir mengirimkan surat?

Ha-ha-ha...

"Hei, Briel!' Jenny memekik, dia terkejut mendengar Briel tiba-tiba tertawa begitu renyah seolah apa penyebab tawanya itu adalah sesuatu yang sangat lucu.

"Astaga, yang benar saja! Sudah jaman apa ini? Dia masih saja bermain surat-suratan," ucap Briel dan masih tertawa. Briel tak bisa untuk menahannya, setidaknya setelah melewati pagi yang menyebalkan baginya ternyata ada sesuatu yang cukup menghibur dirinya.

"Memangnya, di jaman apa orang senang mengirim surat?" tanya Jenny penasaran.

"Mana aku tahu, aku hanya pernah melihat di cerita-cerita jaman dulu, di mana para pria memberikan surat cinta pada kekasihnya," ucap Briel.

"Benarkah? Aku tak tahu itu," ucap Jenny.

Briel hanya terkekeh. Jelas saja tak tahu, bacaan keduanya berbeda. Briel senang membaca cerita-cerita jaman dulu. Itu cukup menumbuhkan inspirasinya untuk melukis.

Sedangkan Jenny, Jenny senang dengan drama-drama korea yang penuh dengan adegan dramatis. Tak heran Jenny memiliki emosi yang mudah baper. Jenny termasuk gadis yang lembut, dia hampir tak pernah berbicara kasar apa lagi bersikap kasar.

'Jangan-jangan, dia itu mau berbuat yang tidak-tidak! Untuk apa menyuruhku ke rumahnya? Tak jelas sekali!' batin Briel gelisah ketika tiba-tiba saja pikiran aneh memenuhi kepalanya. Sudah banyak mendengar kejadian di mana seorang Guru melecehkan para muridnya dengan modus meminta muridnya datang ke rumahnya.

Briel juga teringat ucapan Erland semalam yang mengatakan tubuhnya rata sehingga tak membuat pria tertarik.

'Manusia satu itu lagi! Aku kesal, wajahnya itu menyebalkan! Minta ku lempar sesuatu!' batin Briel kesal ketika wajah seram Erland ketika marah melintasi pikirannya.

Briel membalik kertas itu, ternyata ada sebuah alamat di sana.

'Ini alamat rumah Saya, jika mau datang maka datanglah nanti sore. Karena saat sore Saya berada di rumah.'

"Jadi, apa isi dari surat cinta itu?" tanya Jenny.

Briel menoleh ke arah Jenny dengan cepat. Apa katanya? Surat cinta? Ucapan Jenny membuatnya sedikit syok. Hanya karena Briel mengatakan di jaman dulu pernah terjadi situasi saling mengirimi surat cinta, bukan berarti Gerald pun mengirimkan surat cinta padanya.

"Ini isi nilaiku, bukan surat cinta," ucap Briel.

"Oh," sahut Jenny.

"Oh ya, Briel. Apa aku boleh menginap di rumahmu yang sekarang? Aku rindu bercerita banyak denganmu," ucap Jenny.

"Mana bisa!" tegas Briel seraya menatap Jenny syok.

Jenny pun ikut syok melihat respon Briel. Ada apa dengan temannya itu?

"Kenapa?" tanya Jenny.

"Tak apa," ucap Briel.

Briel tak tahu harus beralasan apa pada Jenny. Jenny tak tahu jika dirinya sudah menikah dan tinggal bersama Erland. Jenny juga tak tahu kejadian malam itu. Briel sebetulnya menyesalkan kejadian di mana dirinya dan Jenny tidur di kamar yang terpisah, mungkin jika malam itu dirinya dan Jenny tidur bersama keadaannya akan berbeda. Briel takan pernah bertemu dengan Erland dan takan selalu di bayangi rasa kesal yang terus saja mengikutinya ke manapun dia pergi.

"Kenapa? Aku hanya rindu kita menghabiskan malam dengan bercerita bersama," ucap Jenny memelas.

'Hem... Jika kamu menginap di rumah itu, lalu tidur bersamaku, kita akan benar-benar melakukan threesome seperti yang di katakan manusia satu itu,' batin Briel.

Entah mengapa, apapun yang Erland katakan seakan terus terngiang di telinga Briel sehingga Briel dapat mengingatnya dengan baik.

"Nanti saja aku yang menginap di rumahmu, bagaimana?" tanya Briel.

"Benarkah?" tanya Briel.

"Ya, tentu saja," ucap Briel yakin.

"Ya sudah, hari ini saja," ucap Jenny penuh antusias.

"Jangan sekarang," ucap Briel.

"Kenapa?" tanya Jenny.

'Ada mertuaku,' batin Briel.

"Tak apa, aku di suruh ke rumahnya pak Gerald untuk mengambil nilaiku, jadi menginapnya lain kali saja, ya," ucap Briel.

"Hem... Baiklah," ucap Jenny pasrah.

"Ayok pergi, aku ingin belanja," ucap Briel dan bergegas menarik Jenny untuk ikut dengannya. Mereka pun pergi ke salah satu Mall untuk berbelanja.

***

Jam makan siang di Mall.

Briel dan Jenny tengah mengantri di sebuah restoran ice cream. Kebiasaan Briel sejak kecil hingga saat ini tak pernah berubah, dia masih saja menyukai ice cream.

Di tengah mengantri, ponsel Briel berdering. Briel pun melihat ponselnya dan terdapat panggilan dari nomor tak di kenal. Briel mengabaikan panggilan itu, tak penting pikirnya. Dia bahkan tak mengenal nomor itu.

Briel membayar ice cream pesanannya dan pergi menuju sebuah meja. Sesampainya di meja, lagi-lagi Briel mendapatkan panggilan dari nomor yang sama.

"Siapa, sih?" kesal Briel. Briel amat tak suka jika waktu bersenang-senangnya terusik.

"Angkat saja, Briel," ucap Jenny.

Briel menjawab panggilan itu.

'Halo! Siapa ini?' tanya Briel.

Tak ada sahutan, hingga Briel bertanya untuk kedua kalinya. Namun, masih tetap tak ada sahutan.

'Halo! Jika tak ada yang penting, sebaiknya tenggelamkan saja ponselmu! Menggangguku saja!' kesal Briel.

Jenny terperangah.

"Hei, Briel. Jangan terlalu galak," ucap Jenny memperingatkan.

"Ini pasti orang iseng, memang harus di marahi!" kesal Briel.

'Siapa yang iseng?' tanya seseorang dengan nada bicara yang terdengar dingin.

Next chapter