webnovel

Covenant

[Completed] ===== CAUTION ===== **Warning 18+ : Gore, Bloody, Murder, etc. ===== CAUTION ===== Can you help me out? *Original Cover and Story by : Farren Bexley

FarrenBexley · Fantasy
Not enough ratings
21 Chs

- 12 -

**Warning**

Ada adegan 18+ (just bloody) yang mungkin membuat pembaca sedikit kurang nyaman. Mohon maklum. Terima kasih.

_____________________________________________

Matahari minggu siang yang panas menyambutnya. Hari demi hari terlewat tanpa insiden lain yang mengganggu mereka. Achlys menemukan Athan di halaman belakang, mengenakan sarung tangan coklat yang kebesaran dan melempar bola bisbol yang untuk kemudian berlari ke sana kemari untuk mengambil bolanya. Athan menyadari Achlys di depan pintu menatapnya, ia melambaikan tangan memanggilnya. Jadi Achlys menghampiri bocah itu, sepertinya Athan menemukan hobi barunya di sini. Terlihat jelas betapa senangnya ia dari senyum lebar di wajahnya.

"Menemukan hobi baru?" tanya Achlys sesampainya di hadapan Athan. Matahari terik membuatnya menyipitkan mata.

Athan mengangkat kedua alisnya. "Begitu lah, lumayan menghilangkan bosan. Aku melihatnya di televisi." Ia memeragakan pemain yang memukul bola. "Aku ingin mencoba memukul juga, maukah kau membantuku?"

"Di mana kau menemukan alatnya?"

"Di gudang sana."

Achlys menolehkan kepalanya ke arah yang ditunjuk oleh Athan dan memasuki gudang. Sebuah gudang kecil di bawah satu-satunya pohon di sana, cukup rindang. Angin di atas langit menggoyangkan dedaunannya. Ia membiarkan pintunya terbuka. Di dalam, ia menemukan raket, bola voli, basket, football, meja billyar, dan alat olahraga lainnya memenuhi setiap sudut ruangan kecil itu. Setelah menelaah ke balik lemari besi kecil berisi berbagai macam tongkat yang tidak dikenalnya, ia menemukan dua tongkat bisbol tua. Mengayunkan tongkat itu rupanya cukup berat, juga ia memang tidak banyak olahraga, baik dulu dan sekarang.

Pintu terayun tertutup di belakangnya, suaranya membuat Achlys terkejut dan menoleh. Ada Ina di sana. Senyum kecil menghiasi bibirnya melihat keberhasilannya mengejutkan Achlys. Sudah cukup lama Ina menginap di rumahnya, ia tidak tahu kapan Ina akan pulang ke rumahnya sendiri. Selama di rumahnya, Ina tidak mengganggunya. Ia lebih sering melihatnya bersama Aim di ruang tengah, di dapur, atau di manapun di setiap sudut rumah. Aim pun tidak terlihat terganggu, jadi Achlys sama sekali tidak menegur Ina untuk berhenti mengekori Iblis itu.

"Sedang bermain bisbol dengan Athan?" tanya Ina menghampiri Achlys di depan lemari besi kecil. Ia menatap isi lemari dengan kecewa. "Aku tidak terlalu suka olahraga, sih."

Achlys mengangkat bahunya tak acuh dan menggumamkan jawaban singkat. "Yah, aku juga."

"Lalu kenapa kau bermain dengannya?"

"Karena aku tidak ingin mengekori Aim."

Ina tersentak, wajahnya bersemu merah, gumaman jawabannya tidak cukup jelas untuk didengar Achlys, dan ia tidak terlalu mempedulikannya. Setelah menimang antara dua tongkat tersebut, Achlys memilih salah satu yang cukup berat. Ia penasaran seberapa kuat Athan dapat memukul bola. Semoga tidak terlalu jauh atau ia harus mencari bolanya seharian karena ia tidak menemukan bola bisbol lain di dalam gudang.

"Achlys," panggil Ina dengan raket di genggamannya. "Main ini, yuk?"

"Tidak," tolaknya tegas.

"Kenapa? Tidak bisa?"

"Ya." Tidak. Bukannya ia tidak bisa bermain badminton. Hanya saja, ia jadi teringat masalahnya dengan Aim terkait berita Xander. Dulu ia cukup sering bermain badminton bersama Xander, sudah lama sekali. Dan sekarang, ia sudah membunuhnya. Kematian Xander membuatnya resah, Aim belum memberikan kabar apa pun tentang masalah keberadaan Xander yang menghubungi Ina waktu lalu. Sebenarnya, sejak ia menariknya ke kamarnya, hubungannya dengan Aim menjadi renggang.

Achlys termenung sesaat yang disadari oleh Ina. "Teringat seseorang?" goda Ina menyikutnya.

"Tidak," sahut Achlys mengernyit tak senang meliriknya. "Aku hanya tidak bisa. Aku ingin bermain bisbol dengan Athan. Ajak Aim saja."

"Ayolah, tidak ada orang normal yang tidak bisa bermain badminton. Ada hubungannya dengan Xander, kah?"

Tebakannya membuat Achlys terpaku menatapnya, dan Ina menyeringai menyadarinya, namun sepertinya salah memahami arti sikapnya. "Kalau kau merindukannya, kan, bisa datang ke rumahnya. Tidak perlu menghubunginya jika kau memang tidak bisa. Beri dia kejutan!"

"Ina."

"Ya?"

Achlys menatapnya lekat-lekat, membuat Ina tanpa sadar menghindarinya hingga ke depan pintu. "Selama ini aku heran kenapa kau masih saja ada di rumahku. Kupikir sehari-dua hari cukup untukmu."

"Ah, maaf, kupikir kau memperbolehkanku tinggal selama yang ku mau," ujarnya lirih, membalikkan badannya meraih gagang pintu dan memutarnya. "Kalau begitu aku ajak Aim saja."

"Apa Aim mengatakan sesuatu padamu?" tanya Achlys menghentikan gerakan tangan Ina dari belakang.

Ina menggeleng pelan, menatapnya dari balik bahu dengan kerjapan heran. "Tidak, ada apa?"

"Tidak apa-apa."

Dengan gerakan secepat dan sekuat yang ia bisa untuk mengayunkan tongkat bisbol berat itu, Ina tersungkur jatuh setelah dengan keras membentur pintu hingga tertutup rapat kembali. Sedikit darah mengucur di dahi dan sisi kepalanya yang terpukul olehnya, darah kental yang menempel pada pintu meluncur perlahan ke lantai, matanya terpejam pingsan. Achlys terengah oleh pacuan adrenalinnya, jantungnya berdegup kencang. Ia mendudukinya, mengangkangi tubuh Ina yang terlentang menghadapnya, mengarahkan sisi pipih tongkat ke leher Ina yang terekspos. Perlahan, ia menekan tongkatnya, merasakannya semakin mendekati lantai, mendengar retakan tulang pada tenggorokan, mengabaikan rintihan Ina yang dalam pingsannya merasakan kesakitan tanpa menyadari apa yang terjadi padanya.

Achlys menggeram mengerahkan usahanya. "Kau terlalu ikut campur."

Retakan keras menggema di ruang kecil itu. Mulut Ina terbuka mengeluarkan suara tercekik.

"Seharusnya kau pergi selagi kau bisa."

Ujung tongkatnya menyentuh lantai, berdenting lirih, sementara warna ungu lebam mulai menghiasi leher Ina.

"Jangan pernah membahas Xander di hadapanku," bisik Achlys pada telinga Ina meski tahu gadis itu tidak akan mendengarnya, menekan tongkatnya untuk terakhir kalinya, membuat suara retakan terdengar lagi disertai degukan kecil dan hembusan nafas ina yang terakhir. Air liur bercampur darah menggores pipi kiri Ina, menggenang kecil di bawah kepalanya.

Pintu di belakangnya terbentur terbuka, tertahan oleh kaki Ina, menyembulkan mata Athan pada sedikit celah yang berhasil terbuka, memasukkan segaris cahaya terik matahari yang tertutupi bayangan Athan. "Kenapa lama sekali?"

Achlys bangkit berdiri, menggulingkan badan Ina dengan kakinya hingga pintu dapat terbuka sepenuhnya. "Makananmu untuk minggu ini."

Athan terdiam menatap tubuh itu dari daun pintu yang terbuka lebar, tidak menjawab perkataan Achlys yang mulai berjalan meninggalkan mereka, seketika melupakan tujuannya untuk sekedar bersantai bermain bisbol di halaman belakang.

____________________________________________________________

Sebenarnya, Aim sudah mencari informasi mengenai Xander dan tidak menemukan kesalahan apa pun dalam skenario kehilangan Xander yang dibuatnya untuk menutupi kematian Xander. Walau ia mempunyai kecurigaan terhadap campur tangan Athan yang mengatas namakan Xander—entah apa pun maksud dari perbuatannya—tapi ia belum memberitahu Achlys. Tidak. Ia tidak ingin memberitahunya. Tidak setelah kekurang-ajaran gadis itu. Lebih baik seperti ini dari pada ia membunuhnya karena kekesalannya. Sudah hampir seminggu ia mendiamkan Achlys, begitu pula sebaliknya. Tidak ada yang saling menyapa, melirik pun tidak, seakan tidak menyadari keberadaan satu sama lain. Hanya Athan yang masih menempel pada gadis itu seperti biasa walau sekarang ia menekuri berbagai macam aktifitas yang bisa dilakukannya dari televisi.

Kontrak yang disepakatinya dengan Achlys membuat Aim dapat merasakan perubahan perasaan Achlys yang sekarang sedikit bergejolak menyakitkan, Aim mengernyit tanpa sadar menggaruk dadanya. Perasaan manusia adalah salah satu hal yang tidak dimengertinya dibandingkan dengan kesederhanaan kebencian dari Ilithya yang juga terhubung dengannya. Rasa tertekan pada dadanya juga sama sekali tidak dimengertinya, tapi lambat laun Aim menyadari bahwa tekanan yang dirasakannya hanya muncul jika Achlys tengah bimbang dengan keputusan yang dibuatnya sendiri. Apa gadis itu telah membunuh temannya? Karena Aim merasakan perasaan tersebut setelah Achlys membuat Athan memakan Xander. Mungkin Achlys merasa bersalah. Aim tidak bisa membiarkan Achlys berhenti, tidak setelah ia kembali tergoda mendapatkan asupan kekuatannya sedikit demi sedikit dari Athan.

"Merenung?"

Suara Ilithya di belakangnya membuatnya terkejut dan membalikkan badannya. Dengan gaun putih pendeknya, rambut hitam yang ia ikat dan sampirkan di kedua bahunya, kulit pucat dan mata hijaunya, gadis itu pasti terlihat menarik di mata manusia mana pun. Tapi Aim menatapnya dengan jengkel. "Bagaimana kau bisa ke sini tanpa sepengetahuanku?"

Ilithya hanya mengedikkan bahu tak acuh, raut wajahnya mengernyit benci dan jijik yang biasa ditunjukkannya pada Aim. "Mungkin kau terlalu sibuk melubangi tanah dengan tatapanmu."

"Harusnya kau yang melubanginya dengan laser matamu," gerutunya. Saat ini ia memang sedang berleha di taman setelah mengorek informasi kabar Xander di perumahan kecil itu, taman yang sama dengan pertama kalinya ia bertemu Athan di dunia manusia "Kupikir kau akan cepat sampai setelah pertemuan kita yang terakhir kali."

"Ada kendala," jawab Ilithya singkat.

"Tak ada penjelasan?"

"Hanya masalah kerajaanmu, seperti biasa."

Aim menghela nafas pelan. "Yasudah, lah. Karena kau sudah sampai di sini, aku akan memberikan tugas baru untukmu." Ilithya menggeser tumpuannya pada kaki kanan yang sekilas ditangkap Aim, menunjukkan ketidaksukaannya. Aim menyeringai puas. "Aku sedang bertengkar dengan seorang gadis yang tengah menjalani kontrak denganku, jadi aku ingin kau mengawasi setiap tindakannya dan melaporkannya padaku. Lebih mudah, kan?"

"Memangnya kalian remaja yang sedang puber, ya?" Ilithya mendengus dan melanjutkan sebelum Aim sempat membalasnya. "Di mana dia?"

"Kau cemburu? Aku tidak ada hubungan khusus dengannya. Hanya kesalah-pahaman pekerjaan." Aim terkekeh geli. "Sepertinya dia masih ada di rumah, kau tahu di—"

"Baiklah," potong Ilithya.

Tanpa basa-basi, Ilithya lenyap yang Aim ketahui, tentu saja, langsung menuju tempat yang diutarakannya bahkan sebelum ia sempat memberitahu lokasi persisnya. Aim berdecak-decak kagum walau sedikit iri. Ia tahu, tidak ada makhluk apa pun yang mampu menandingi kecepatan seorang malaikat. Tidak ada, apalagi seorang malaikat maut yang mengatasi jutaan nyawa dalam sehari. Sekali lagi ia merasa sangat beruntung dapat menundukkan Ilithya di bawah perintahnya tanpa kesulitan yang berarti hanya karena apa yang dilakukannya dengan menciptakan Athan.

_________________________________________________________

Tidak sulit untuknya menemukan rumah yang dimaksud Aim, karena ia tahu Athan pasti ada di sana, memancarkan sinyal yang dapat membimbingnya ke arah yang tepat. Makhluk anomali seperti Athan tidak sulit untuk dicari, yang membuatnya sulit diburu hanya karena penciptanya yang terkutuk itu. Salah satu dari sejuta keahlian para Iblis yang beraneka ragam, keahlian dalam penyamaran adalah hal yang mutlak dimiliki mereka. Sama halnya dengan dirinya yang dapat mendeteksi makhluk lain dan mendatanginya melebihi kecepatan cahaya dalam hitungan manusia. Iblis dan malaikat selalu bertolak belakang. Tentu saja.

Demi kesopanan yang masih dijunjungnya, Ilithya memasuki rumah kecil itu dari pintu depan, mendapati kekosongan yang menyambutnya. Jadi ia beralih pada bagian dapur yang jelas terlihat dari ruangan tersebut. Seberkas cahaya matahari lolos dari keempat celah sempit sebuah pintu di sebelah rak piring. Ia menghampiri pintu itu, membukanya dengan sedikit terkejut karena sejak pintu di depan, disadarinya kedua pintu yang dibukanya tidak terkunci sama sekali. Aim pasti menyombongkan keahliannya hingga membiarkan pintu tidak terkunci.

Pintu yang terbuka menampilkan sosok seorang gadis muram dengan wajah masam mengernyit dalam, menatapnya tak suka. Tanpa sepatah kata, gadis itu melewatinya, menabrakkan bahunya dengan kasar dan meninggalkan dapur. Ilithya menatap kepergiannya dalam diam. Gadis itu kah yang Aim maksud? Sepertinya ada yang salah dengan sikapnya. Apa yang terjadi?

Memutuskan untuk menyelidiki, Ilithya melihat sebuah gudang kecil di mana Athan berdiri diam di ambang pintu. Ia menghampirinya penasaran. Apa mereka juga bertengkar? "Athan?"

Pertanyaan berikutnya tersangkut pada tenggorokannya melihat arah tatapan Athan di lantai. Seorang gadis tergeletak tak bernyawa di sana dengan leher ungu yang remuk menyakitkan. Athan hanya menanggapi panggilannya dengan lirikan singkat, kemudia mengangkat gadis itu ke atas bahunya, membawanya masuk ke balik pintu dapur yang ia biarkan terbuka.

Tidak ada yang bisa dilakukannya selain menatap makhluk itu membawanya. Ia tahu bahwa mayat itu pasti akan di makan olehnya. Tapi, memang apa yang bisa dilakukannya? Sekarang, ia bukan lagi seorang malaikat dengan tugasnya menjaga keseimbangan kematian manusia. Ia bukan lagi seorang malaikat setelah kegagalannya yang membuatnya ditendang dari surga. Ia juga tidak akan pernah dimaafkan seberapa keras pun ia memohon setelah apa yang diperbuatnya bersama Aim. [ ]