webnovel

Covenant

[Completed] ===== CAUTION ===== **Warning 18+ : Gore, Bloody, Murder, etc. ===== CAUTION ===== Can you help me out? *Original Cover and Story by : Farren Bexley

FarrenBexley · Fantasy
Not enough ratings
21 Chs

- 10 -

Tidak disangka, mereka pindah begitu cepat hanya dalam sehari. Semua sudah selesai diurus seakan jentikan jari Aim sudah cukup untuk menyelesaikan semuanya, ia dan Athan bahkan tidak melakukan apa pun untuk membantunya. Achlys memang awalnya sedikit meragukan Aim, namun jika hanya dalam waktu singkat saja semua masalahnya bisa teratasi, sepertinya tidak ada alasan lain untuk meragukannya. Ia merasa sangat terbantu, dan bahkan masalah kehidupan lainnya seperti makanan dan uang tidak perlu ia pikirkan lagi. Praktis sekali mempunyai seorang Iblis di sisimu.

"Hei, bukan berarti kau seenaknya berleha-leha. Ini hasil kerjaku, lakukan sesuatu sana," ujar Aim mengusirnya dari sofa empuk di depan televisi. Rumahnya memang tidak sebesar tempat Athan sebelumnya, namun interior modernnya sangat nyaman dan terasa pas untuknya.

Achlys merengut kesal. "Kau ingin aku melakukan apa?"

"Kau tidak bisa apa-apa selain membunuh manusia, kan." Aim menggencet Achlys dengan punggungnya ke lengan sofa dalam usaha mengusirnya. "Pergi sana cari makanan Athan yang baru. Rumah ini akan aku jadikan milikku untuk sekarang. Bawa Athan, sana."

"Kau mau apa, sih, di sini sendirian," gerutu Achlys seraya berdiri mencari Athan. "Di mana Athan?"

"Cari saja di kamarnya."

Jadi Achlys menuju lantai dua dan memasuki kamar di ujung lorong sempit pada sisi sebelah kanannya tanpa mengetuk pintu. Di dalamnya hanya terdapat satu tempat tidur sedang di tengah dengan lemari dan meja penuh buku di setiap sisinya. Satu rak kecil di seberang tempat tidurnya terisi beberapa buku juga dan hiasan lainnya. Athan tengah duduk di belakang meja, menatap keluar jendela. Kali ini tidak ada balkon untuk kamar.

"Aku tidak yakin kau membutuhkan ini semua," komentar Achlys. Ia menutup pintu dan duduk di pinggir tempat tidur.

"Untuk kenyamanan saja," sahut Athan sambil menghela napasnya. "Ada apa?"

"Aim menyuruhku membawamu pergi. Apa kau sering lapar?"

Akhirnya Athan memalingkan wajahnya menatap Achlys, keningnya berkerut keheranan. "Tidak. Aku tidak selalu lapar. Temanmu masih cukup untuk beberapa bulan. Kalau aku sering lapar bagaimana aku bisa bertahan selama ini." Athan terdiam sesaat. "Kau ingin keluar?"

"Tidak juga. Aim mengusirku tadi," kata Achlys dengan kesal. Ia membaringkan dirinya di sana, menyangga kepalanya dengan satu lengan ke samping hingga tetap bisa melihat Athan. "Entah apa yang ingin dilakukannya di sana."

Athan mengedikkan bahunya. "Abaikan saja. Mungkin dia sedang bosan."

"Kau sendiri tidak bosan?"

"Biasa saja. Kau ingin kutemani keluar?"

Achlys memikirkannya sesaat. Sebenarnya ia tidak perlu mengikuti perkataan Aim, tapi keluar rumah sendirian di tempat asing sepertinya bukan hal yang ingin dilakukannya. "Setidaknya aku tidak sendirian di luar tanpa tujuan. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya."

Athan tertawa kecil mendengarnya. "Lakukan saja seperti sebelumnya. Ke taman?"

"Tidak."

"Lalu kau ingin ke mana?"

"Entahlah. Terserah kau saja. Kau kenal daerah sini, kan?"

"Tapi aku tidak tahu kau suka ke tempat seperti apa selain taman itu," ujar Athan. "Taman bermain?"

"Apa harus ada kata 'taman' nya?" sungut Achlys dengan jengkel, yang lagi-lagi membuat Athan tertawa geli. "Yang lain."

"Apa, ya? Kudengar anak muda sekarang lebih suka ke pusat perbelanjaan. Kalau ke sana memangnya ingin beli apa?"

Achlys mendesah pelan. "Yah, kalau ke sana mungkin bermain game arcade. Boleh juga."

"Hah? Apa itu?"

"Lebih baik langsung melihatnya saja," kata Achlys. Ia berguling ke sisi tempat tidur menuju pintu. "Aku tunggu di bawah."

_______________________________________________________

Di bawah, Aim berbaring santai di sofa panjang sambil memakan camilan coklatnya. Melihatnya yang turun di belakang Achlys, Aim menyunggingkan seringainya. "Jadi, kalian mau kemana?"

"Pusat perbelanjaan," sahut Achlys sambil mengenakan sepatunya.

"Ingin menculik beberapa anak hilang, ya? Bagus juga."

Achlys mendecak kesal. "Tidak, aku ingin menunjukkan game arcade pada Athan."

"Apa? Kalian ingin bersenang-senang? Aku merasa tersinggung melakukan semua pekerjaan sendirian," ucap Aim yang setengah mendudukkan dirinya, menatap mereka berdua bergantian dengan curiga.

"Kau tidak pernah bilang ingin dibantu."

"Bantuan kalian tidak ada artinya." Aim kembali membaringkan dirinya dan mendesah keras. Ia mengibaskan pergelangan tangannya. "Sudah lah sekali ini kubiarkan. Cepat pergi sana."

"Hari ini majikanmu sedang sensitif, ya," cibir Achlys pada Athan dalam bisikan.

Athan hanya mengedikkan bahunya dengan kaku. Sepertinya ia tahu apa yang ingin dilakukan Aim di sana.

____________________________________________________

Musik arcade bedentum keras di tempat itu, setiap permainan berusaha menyaingi suara yang lain ditambah dengan percakapan dan teriakan banyak orang yang berlalu-lalang. Aroma masakan lezat tercium di belakangnya. Beberapa stand makanan dan minuman meneriakkan promosi yang diacuhkan. Meja-meja terlihat penuh sesak dengan keluarga, pasangan, rombongan, dan kelompok lainnya.

Mereka sudah bermain hampir 2 jam, dan Athan terlihat benar-benar tertarik dengan semua permainan di sana hingga ia lah yang paling bersemangat mencoba semua permainan. Achlys merasa seperti seorang kakak yang membawa adiknya keluar untuk bermain. Tapi ia tidak bisa mengabaikan Athan yang bermain seperti anak kecil, membuatnya tanpa sadar tersenyum dan tertawa melihat reaksinya setiap memainkan permainan baru. Sedangkan Achlys menunjukkan permainan di sana bak seorang pemandu berpengalaman walau sebenarnya ia hanya pernah mencoba beberapa saja.

Selama Athan sedang sibuk di sana, Achlys mendudukkan dirinya dengan lega di salah satu meja kosong. Semangkuk ramen di hadapannya masih mengepul panas. Sudah lama sekali ia tidak memakan ramen lagi, jadi ia sedikit memanjakan dirinya dengan seporsi besar.

"Achlys?" panggil sebuah suara di antara kebisingan dengan ragu. "Ah, benar Achlys! Apa kabar? Sejak kapan kau pindah ke kota ini?"

Achlys mengangkat kepalanya dari semangkuk ramennya dan mendapati seorang perempuan mengambil tempat duduk di hadapannya. Ia berusaha menyunggingkan senyum padanya. "Baik. Baru kemarin aku pindah."

Perempuan itu adalah Ina, lagi, salah satu temannya di SMA. Mengingatkannya kembali pada Cheryl yang kemudian membuat Achlys bertanya-tanya apa ia harus melakukannya hal yang sama padanya. Achlys tidak begitu dekat dengan Ina, lagipula perempuan itu tidak pernah terlibat dengan semua masalah Achlys. Jadi ia memutuskan untuk membiarkan mereka bercengkrama sebisanya.

Ina tersenyum, menunjukkan lesung pipinya. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Aku sedang ingin belanja bulanan tapi biasanya aku akan makan di sini dulu." Ina tertawa kecil sambil meletakkan tas selempangnya di atas meja. "Apartemenku tepat di seberang pusat perbelanjaan. Mampir lah sesekali ke sana, jujur saja aku kesepian sejak dipindah-tugaskan ke kota ini sendirian. Bosku jahat sekali!"

Achlys menggumamkan jawaban lirih tak jelas. Ia tidak tahu bagaimana menanggapi obrolan tentang hal tersebut. Dan tampaknya Ina menyadarinya karena ia bergeser tak nyaman di atas tempat duduknya. "Ah, maaf. Aku tidak bermaksud menyinggungmu soal pekerjaan."

Apa ia terlihat semenyedihkan itu menjadi pengangguran hanya karena tidak bisa menanggapinya? Ujung bibirnya berkedut pelan. "Tidak masalah."

Seakan tidak ada waktu yang lebih tepat lagi, Athan datang menghampirinya dan dengan santainya duduk di samping Achlys. "Kenapa makan mi? Dan siapa ini?"

"Ina. Teman SMA," jawab Achlys singkat.

Ina mengerjap beberapa kali. "Kudengar kau dijodohkan, apa dia orangnya?"

"Yang benar saja," ujar Athan di sela tawanya.

"Dia temanku." Achlys mendelik sekilas pada Athan. Ia menyiku rusuk Athan sekeras mungkin di bawah meja yang menutupinya.

Athan bahkan tampak tidak terusik, namun setidaknya ia menyadarinya dan membeo ucapannya dengan anggukan singkat. "Aku temannya."

"Bagaimana kau tahu aku dijodohkan?"

"Orangtuamu yang mengundang kami untuk datang ke pernikahanmu nanti. Jadi, katakan padaku, siapa lelaki yang terpilih itu?" tanya Ina, matanya berbinar menanti adanya gosip baru untuk diperbincangkan.

Achlys terdiam sesaat, mengingat jasad kedua orangtuanya. Ia merasa pilihannya untuk membunuh mereka itu tepat sekali. "Tidak, aku tidak akan menikah dengan siapa pun."

Ina terlihat sedikit kecewa. Ia mendesah dan bersandar pada punggung kursinya. "Sayang sekali, padahal pasti menarik."

Ucapannya membuat Achlys terenyak, menatapnya dengan pandangan kosong. Apa maksudnya menarik untuk dijadikan bahan gunjingan mereka? Jadi Ina juga sama saja dengan yang lainnya, ya? Rupanya sia-sia saja ia meluangkan waktu untuknya. Achlys berpikir sejenak. Haruskah? Ia tidak merasakan keharusan untuk melakukannya, tapi ia lebih berpihak pada kekesalannya.

"Ina."

"Ya?"

Dengan sedikit memiringkan kepalanya, Achlys tersenyum simpul. "Ingin mampir melihat rumah baruku? Kau boleh menginap jika kau mau."

Perempuan itu sedikit terkejut mendengar tawaran Achlys, namun tidak terselip kecurigaan dan keraguan dalam jawabannya. Mungkin baginya ia bisa mengorek hal lain untuk menggantikan gosip perjodohannya yang dibatalkan. "Tentu saja."

Tangan Athan menyenggol lengannya, ia melirik Athan yang mengernyit sedikit padanya. Kepalanya terjulur dan berbisik di telinganya dengan lembut. "Aku tidak ingin makan temanmu ini. Jangan bunuh dia."

Geli rasanya mengetahui Athan berusaha menghentikannya, padahal sudah jelas dari awal ia memberitahunya bahwa semua ini ia lakukan untuk dirinya sendiri. Jika Athan tidak mau, pasti Aim akan membereskannya. Sesuai janjinya. Jadi, Achlys hanya menjawabnya dengan anggukan samar yang tidak begitu saja dipercaya oleh Athan karena kernyitannya semakin dalam dan menatapnya dengan sorot mata yang sama saat membicarakan hal ini untuk pertama kalinya. [ ]