1 Prologue: 20 Years Ago

Hari itu, telah berlalu selama dua puluh tahun sejak masa sekarang, saat seorang gadis peragu dengan gemetar memegang batang telepon dikupingnya. Tepatnya pada tanggal yang terlupakan oleh lama rentang waktu terjadinya kala bulan Mei di tahun dua ribu satu. Hari dimana seharusnya menjadi salah satu pekan bersejarah untuk para tahun ketiga pendidikan menengah tingkat lanjutan. Karena pada siang hari cerahnya, pengumuman keberhasilan mereka menanggalkan seragam putih abunya terjadi dan sebagian dari mereka bahkan lebih bersuka cita karena nama nama mereka diakui oleh salah satu universitas negeri.

Namun bagi gadis yang gemetar dan menggigil di salah satu malam bulan Mei yang panas itu, getar suara ambigunya serta cucuran keringat dipunggungnya bukan karena kabar bahagia kelulusan atau pun pengakuan universitas impiannya. Melainkan, karena suara ringan pria dispeaker teleponnya yang mengancam dengan dalam dan tenang.

"Kenapa lu suka gua?" Tanya pria itu. Suaranya jelas mengejek pada gadis dihadapannya.

Tentunya, tak ada alasan baginya untuk tak menilai rendah gadis pendiam itu. Karena dibandingkan dengan dirinya, gadis itu sama sekali bukan apa apa. Latar belakang keluarga yang sangat biasa, dengan perekonomian secukupnya. Prestasi yang juga rata rata ditambah wajah yang jauh dari sifat rupawan yang dimilikinya. Gadis itu sunggah bernilai hampir nol dimatanya.

"Kenapa akang nanya gitu?" Tanya sang gadis dengan gugup, masih berusaha menyembunyikan rasa yang dia punya sejak empat tahun lalu pada pria yang membuatnya merasa ditatap dengan mata penghakiman meski dia tak berada dihadapannya.

Bukan tanpa alasan. Rasa rendah dirinya begitu besar karena kesadaran akan sebegitu rendahnya dirinya dihadapan si pria super istimewa itu. Segalanya dia miliki, setiap hal yang patut sangat disukuri. Orang tua dengan kekayaan yang tak rata rata, penggemar wanita yang tak ada habisnya juga sanjungan orang disekitar yang seolah tak pernah terputus. Sementara gadis itu hampir tak pernah mencicipi satu pun diantaranya.

"Saat ini, ditangan gua. . ." Pria itu mengacungkan sebuah buku ditangannya, saat lidah licinnya menjelaskan tampilan buku itu pada gadis yang sejak tadi tak bisa menahan getar suara. Bercover ungu dengan desain gambar buatan tangan, penuh warna warni crayon dengan senyum nakal gadis karakter kartun yang mengedipkan sebelah matanya dengan centil.

"Itu?" Tanya gadis itu jelas kaget. Bukan akan bertanya buku apa yang dibicarakan, karena jelas dia mengenalnya. Justru yang membuatnya kaget adalah bagaimana bisa pria itu memilikinya.

"Temen lu kasih itu ke gua, dia maksa gua baca apa yang dia bilang surat cinta itu." Kata si pria, masih dengan tatapan mengejek yang sama. "Dan jujur aja, gua langsung tahu itu lu."

"Gua ngga..."

"Lu pikir berapa lama kita saling kenal?" Pria itu tak ingin memberikan kesempatan untuk pembelaan diri, "Biar lu tahu, gua. jijik. banget." Lanjutnya dengan penekanan yang jelas pada tiga kata di akhir kalimat.

Sedetik kemudian sambungan telepon singkat itu diputus oleh si pria, meninggalkan sang gadis yang setelah kejadian itu menangis berhari hari tanpa suara sedikit pun. Tanpa keduanya pernah menduga. Suatu hari nanti buku itu akan kembali ketengah keduanya dengan cara tak terduga.

avataravatar