2 BAB 2. Hadiah Sany

Chika dan Sanny kini berada di Bandar Udara Incheon- Seoul. Untuk menghibur Chika, Sany menghadiahkan Chika perjalanan ke Seoul sekalian melihat perkembangan mode disana. Chika awalnya menolaknya tetapi kemudian menerimanya karena apa yang dikatakan Sany benar, untuk Asia setidaknya Korea dapat dijadikan sebagai mode tandingan. Mereka menyerahkan urusan butiknya kepada Clara sekretaris Damian, kakaknya Sany. Damian adalah seorang pengusaha muda dia memiliki 2 orang sekretaris. Clara adalah salah satunya. Damian awalnya menolak keinginan Sany karena mereka juga sangat sibuk, tetapi akhirnya dia mengalah kepada adik semata wayangnya.

Setelah urusan imigrasi mereka selesai, kini mereka berjalan untuk mengambil koper dari bagasi. Bandara ini sangat besar dimana – mana tertera tulisan yang memakai Bahasa Hangul. Chika bahkan sampai bingung karena tidak memahami tulisan tersebut.

Mereka segera menarik koper masing – masing dan melewati penjemput yang memadati ruang penjemputan. Mereka sangat senang karena akhirnya bisa tiba di Seoul.

"Siapa yang menjemput kita San?" tanya Chika.

Chika baru pertama kali ini bepergian keluar negeri, dan dia tidak mempunyai pasport sama sekali. Sany yang berbaik hati menguruskan pasport dan menanggung biayanya, karena tabungan Chika sudah tidak ada sama sekali. Untuk uang sewa rumahnya saja Chika sudah tidak sanggup lagi.

"Harusnya yang jemput kita pegawainya Kak Damian, tetapi aku tidak ingin kita dijemput lebih enak jalan sendiri," Kata Sany dengan santai.

"Jalan sendiri? Apa kita tidak tersesat nanti? Jangan main – main San."

Chika merasa ngeri karena mereka jalan sendirian, dalam perkiraannya mereka akan tinggal dan diantar oleh salah satu pegawai dari anak cabang perusahaan Damian yang ada di Korea Selatan.

"Tenang saja Cha, kamu harus percaya denganku ya. Paris saja sudah kutaklukan, dan lagian aku kemari sudah beberapa kali, jadi tenang saja."

Chika yang mendengar perkataan Sany mulai tenang.

"Cha, aku ke toilet dulu ya. Soalnya sudah ngak tahan ini. Kamu ambil ya bagasi kita."

Sany meninggalkan Chika. Ban berjalan itu terus saja berputar hingga jalurnya sampai ke arah toilet, melingkar kembali masuk kedalam dan keluar kembali ke jalur mula -mula. Apabila penumpang belum mengambil bagasinya maka kopernya akan kembali berputar sampai ada yang mengambilnya.

Chika memperhatikan ban berjalan yang membawa koper mereka, dari bagasi pesawat. Chika melihat warna koper hitam besar, yang telah ditandai oleh Sany dengan gantungan yang bergambar kepala Dora Emon besar pada pegangannya. Karena sesungguhnya koper itu adalah milik Sany bukan milik Chika. Chika meminjamnya dan memakainya. Begitu mendekat dia segera menariknya, tetapi dia melihat ada sebuah tangan yang kekar juga ikut menarik koper itu bersamaan dengannya. Mata Chika segera memandang ke arah pemilik tangan yang berada dihadapannya.

"Wuih, kok koperku seenaknya saja diambil," pikir Chika kembali.

Chika kini mendelik tajam. Menarik koper itu kearahnya

"Hey, this is my suitcase."

"Excusme? This is mine."

Pria dihadapannya segera menarik koper itu kembali, Chika kini mendelik tajam.

"Look at the sign, this must be mine."

Chika berkeras itu adalah koper kepunyaannya, dan dia menunjukkan tanda miliknya yaitu kepala boneka Dora Emon. Mereka sekarang adu kekuatan menarik koper itu kembali.

"Do you think this mark is only your own in this world?"

Pria itu kini memandang Chika dengan pandangan mengejek, karena dia menyatakan bahwa Kepala boneka Dora Emon tukh banyak, bukan hanya milik Chika seorang. Chika yang geram tetap mempertahankan koper itu, dia tidak membiarkan pria itu menyentuhnya. Pria itu sudah kehilangan akal mengambil koper itu kembali karena kini Chika memegang erat koper itu tidak hanya dengan tangan kanannya tetapi juga dengan tangan kirinya. Chika kini siap berperang dengan pria itu. Matanya semakin membesar karena lelaki itu terus saja memaksa mengambil koper itu.

"Have you lost your mine?"

Pria itu kini menatap jam tangannya, rupanya dia telah diburu oleh waktu dan sepertinya dia akan terlambat. Tetapi Chika tidak perduli, dia tetap bersikukuh itu adalah miliknya. Sany yang baru keluar dari toilet, melihat koper mereka berdua terus saja berjalan melewati Chika dan dia segera mengambilnya. Entah sudah berapa kali koper ini berputar, karena Sany di toilet juga sudah cukup lama.

Sany memperhatikan Chika dan seorang pemuda sedang rebutan menarik sebuah koper. Diperhatikannya dengan seksama. Sany yang bingung tetap melihat ke arah mereka dan secara bergantian melihat koper ditangannya. Tiba – tiba dia memukul jidatnya sendiri.

"Aduh Chika, ngapai rebutan koper. Lha koper kamu lewat didepan mata kamu kok ngak tahu."

Sany segera menarik dua koper besar ditangannya dengan bersusah payah, tas ransel yag semula dipegangnya kini dipakai dan diletakkan dipunggungnya. Sany segera berjalan cepat karena Chika berkeras. Sany melihat pria itu sudah kehilangan kesabarannya.

"Ichaaa, chaaaa!" jerit Sany.

"Stop Cha, jangan berantem ini kopermu loh. Ngapai coba Kamu rebutan koper seperti itu."

Chika yang memandang kearah Sany masih belum sadar Sany membawa dua koper sekaligus. Chika langsung bicara dengan nada keras.

"Ini lho San, masak si Genderuwo ini nyolong koperku. Kalau dia berhasil lha aku mau pakai baju apa coba?"

Tiba – tiba Chika melihat pria dihadapannya tersenyum, tetapi hanya sesaat saja. Mungkin mata ku saja yang salah ngak mungkinkan orang lagi marah kok tersenyum.

"Lho yang nyolong siapa sich Cha. Wong kopermu ini lho Cha."

Sany kini menatap Chika kebingunan. Sementara Chika menatap koper dan koper pria itu bergantian, kedua – duanya memang memiliki besar yang sama dan warnanya juga sama. Bahkan boneka yang tergantung di pegangannya juga sama, Kepala Dora Emon.

"Wuih, mati Aku San. Aku dah marahin orang itu. Mana kubilang Genderuwo lagi. Gimana dong, apa kita pura – pura pergi saja ya? Tokh dia bukan orang Indonesia. Bicaranya saja pakai Bahasa Inggris."

Chika kini menatap pria dihadapannya, tubuhnya tinggi besar seperti tubuh orang berkulit putih, hidungnya yang mancung membuat Chika yakin dia keturunan bule hanya matanya lebih sipit dan kulitnya cenderung putih seperti kulit orang Asia, bukan seperti orang bule asli.

"Minta maaf saja, bilang kamu sudah keliru. Selesaikan?"

"Apa dia mau memaafkan Aku ya? Soalnya aku juga tadi sangat kasar."

Kini mereka berdua melirik pemuda itu, yang masih saja melotot memandang kearah Chika, dari raut wajahnya sepertinya dia tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Chika.

"Kalau begitu kabur saja yuk, kalau ngak mau minta maaf. Apa seharian kita mau disini?"

"Jangan dong San, masak kabur. Ngak bagus juga," tolak Chika.

"Lho yang ngajak kabur pertama kali siapa, kamu tokh?"

Mereka berdua berbicara tidak perlu lagi berbisik – bisik , karena mereka yakin pemuda tersebut bukan orang Indonesia. Suara mereka kini semakin keras dan mengabaikan pemuda yang ada di hadapannya.

"Ya sudah minta maaf sana, cepatin."

"I'm sorry Sir, turns out that's your suitcase and this mine."

Pria itu kini menatap Chika dengan sebal, kini dia menarik kopernya dan berbicara cukup keras sambil berlalu.

"Tadi berkeras sampai bilangin saya Genderuwo, makanya Non dicek dulu koper kamu baru bilangnya itu milik kamu."

Chika dan Sany kini melotot memandang pria itu yang sudah tidak memperdulikan mereka lagi.

avataravatar
Next chapter