webnovel

Cintai Aku! Istriku.

Fania Adiba diminta Ayahnya untuk menjadi Anaya Adiba. Karena keadaan yang sangat membahayakan, Fania terpaksa menerima permintaan Ayahnya, untuk menggantikan adik kembarnya, penikahi pemuda sukses bernama Alfito Adhinata. Alfito adalah seseorang yang sangat mencintai Anaya. Dia hidup bergelimang harta dengan kedua adiknya. Dayyan Faisal adalah pemuda religi. Pasca patah hati dia pergi ke penjara suci untuk menimba ilmu agama. Sementara adik ketiga bernama Diana Nabila. Hari-hari Fania terus menghindar hingga membuat Alfito curiga. Alfito tetap berpikir positif karena dia tidak mau jika cintanya terlalu memaksa. Diana Nabila mengetahui rahasia Fania, gadis 19 tahun ini memang memiliki kemampuan khusus yang bisa membaca pikiran jahat orang dan juga tahu waktu yang akan membahayakan orang sekitar. Akankah Fania mencintai Alfito? Akankah Alfito tahu jika wanita yang dinikahinya bukan gadis yang dicintainya? Akankah Diana membongkar kedok Fania? Ikuti kisahnya hanya di Cintai Aku! Istriku

Airin123 · Urban
Not enough ratings
284 Chs

Menangisi Apa Sih?

Semua hanya keinginan Dayan belaka, dia tidak bisa menjumpai gadis yang itu yang entah siapa.

Sementara di rumah, Alfito berjalan sambil memegang perutnya. Fania malah sibuk memasukkan barang tanpa memperdulikan suaminya.

"Bi, bantu Mas jalan, ya."

Fania malah meminta asisten rumah tangganya untuk menuntun sang suami. Alfito menolak, lalu berjalan dibelakang Fania yang membawa dua koper.

"Hai sayang, kamu tahu ... Bi Nah ini sudah beruban. Bagaimana kalau Aku dan Bi Nah, jatuh. Tambah sakit lah, aku sayang." Alfito terus berbicara dan Fania terus berjalan.

'Ih dasar. Ada saja acaranya. Hih ... kesal deh,' umpat Fania dalam hati. Fania menghentikan langkah sambil melepaskan dua koper dengan kasar. Senyum palsu mengembang di wajahnya.

Alfito terlihat bahagia, walaupun itu hanya senyum pura-pura. Fania mendekat lalu meletakkan tangan kanan Alfito di atas bahunya. Kesempatan dalam kesempitan pun diambil.

Cup!

Kecupan hangat yang singkat mendarat sempurna di pipi mulus Fania.

'Nih orang. Tidak bisa membuat aku bernapas tenang. Ini lebih horor daripada dikejar-kejar oleh depkolektor. Oh Anaya ... bagaimana bisa kamu jatuh cinta sama laki-laki yang suka nyosor seperti bangsong. Oh ... kuatkan dan sabarkan hamba,' ujar Fania dalam hati yang benar-benar menahan rasa risih.

Alfito sangat bahagia. "Kamu tidak suka?" tanya Alfito setelah melihat ekspresi istrinya.

"Ha?" Fania balik bertanya dan tidak berani menoleh, dia terus memapah suaminya dan berjalan ke kamar.

"Aku merasa kamu risih kalau aku sentuh," jelas Alfito ketika sampai di pinggir ranjang.

"Bukan seperti itu, wajarlah Ini baru pertama kalinya. Masih belum emmm. Emmm. Masih ... canggung. Maaf ya." Fania menurunkan suaminya dan duduk diatas ranjang bersama.

"Sudah waktunya salat, salat sana gih." Fania mengalihkan pembicaraan karena mendengar suara azan.

"Kamu masih lama sucinya?" tanya Alfito memandang penuh harap berusaha menggenggam erat tangan Fania. Fania yang faham segera menyentuh barang lain.

"Mas tadi sudah tanya itu di rumah sakit, masa tanya lagi? Sekarang lebih baik Mas berwudhu lalu salat. Agar jernih dan tidak menginginkan bercinta selagi aku datang tamu. Biar nggak mesum. Ayolah cepat salat, salat itu tanda syukur kita kepada Allah. Lebih baik salat di awal waktu daripada di akhir waktu, jadi cepat cepat cepat." Fania terus membujuk suaminya.

"Jadi tambah cinta. Beri aku tenaga dulu." Alfito tersenyum bangga kepada ucapan istrinya, dia menunjuk bibirnya dengan jari telunjuk.

Fania menelan ludahnya, dia menutupi rasa muak nya. "Ih apaan sih. Nanti malam, nanti malam. Oke ... nanti malam." Fania berbicara tegas sambil menunjuk, menghindar namun semakin bingung mencari alasan yang bagaimana lagi untuk menolak hasrat Alfito.

"Ya ... baiklah. Janji?" tanya Alfito yang kembali menekan kepala istrinya. Alfito dengan cepat melepas kaosnya, Fania terkejut dan menutup mata. Alfito tertawa puas melihat kepolosan sang istri, dia segera berdiri untuk mengambil handuk.

Fania merenggangkan jari-jari rapat yang menutupi matanya.

"Nanti bantu ganti perban ya." Alfito lalu berjalan ke kamar mandi.

"Manja," gumam Fania.

"Apa?!" Alfito menoleh, Fania terbelalak lalu tersenyum.

"Kamu manja kalau sama aku, padahal kamu sangat mandiri, inilah awal aku mengenal kepribadianmu, setelah menjadi suamiku. Aku selalu mandiri, kamu tahu kan? Sudah ah ... nanti dibahas lagi. Sana, muahc ...." Fania melempar ciuman jauh. Alfito tersenyum.

"Terima kasih sudah bersedia menjadi teman hidupku. Aku sayang kamu. Sangat sayang ...." Alfito mengatakan dengan suara serak membuat hati Fania tersentuh. Alfito lalu masuk ke dalam kamar mandi.

'Duh ... huh ... ceh. Bodoh ... kenapa aku bilang nanti malam? Memang nanti malam ... aku bisa menghindar lagi? Ahg ... konyol. Ya Allah.' Fania merasa tidak tenang dia terus menggerakkan kakinya. Fania berusaha berfikir agar nanti malam, dia bisa lolos dari suaminya. Tidak henti menggerakkan jari-jarinya dan terus memikirkan sesuatu.

"Apa aku harus pura-pura sakit lagi? Ah ... semakin berbohong lagi semakin banyak dosa lagi, menumpuk dosa lagi. Hah ...." Fania memijat keningnya.

"Hih ... ah ... ah ...."

"Sayang kenapa?" tanya Alfito yang cemas karena mendengar teriakan Fania.

"Aku tidak papa," kilah Fania.

"Kayaknya aku yang butuh bantuanmu. Rambutku terasa menggumpal dan harus dicuci. Apa kamu bersedia mencucikan rambutku?"

'Akan semakin macam-macam permintaannya. Dasar laki-laki mesum!' umpat Fania yang terpaksa berdiri dan menuruti kemauan Alfito.

Fania melipat lengan baju nya sampai ke siku. Mengikat hijab nya ke arah belakang dan segera masuk ke kamar mandi. Alfito menatapnya penuh bahagia. Dia meringis kesakitan lalu duduk.

Wajah Fania sangat serius. Alfito menaikan wajah hingga puas menatap istrinya dari bawah. Fania membasahi rambut hitam Alfito.

"Kamu tanggung jawabku. Fania ... saat ini yang aku takutkan adalah kehilanganmu. Jangan tinggalkan aku, jika banyak kurangku, tegur aku. Aku akan berubah untukmu. Asal itu yang terbaik."

"Jangan menggombal terus, ucapkan syukur kepadaNya karena Dia yang menyatukan kita. Aku beruntung dinikahi kamu," kata Fania yang lalu tersenyum. 'Pret ... beruntung?! Bicara apa aku? Ah ... makin eror nih otakku. Fania jika kamu berpura-pura terus, pasti dia semakin bahagia dan salah faham. Aduh ... pokok setelah dia berhasil menangkap orang tua bangka itu. Aku harus cari cara agar dia menceraikanku. Jika aku yang meminta cerai, Ayah akan semakin benci sama aku,' batin Fania yang terus berpikir.

Dia memijat kepala Alfito dengan sangat lembut.

"Di ujung cerita ini. Di ujung kegelisahanku. Ku pandang tajam bola matamu, cantik dengarkanlah aku. Aku tak setampan don juan. Tak ada yang lebih dari cintaku. Tapi saat ini ku tak ragu, ku sungguh memintamu. Jadilah pasangan hidupku. Jadilah ibu dari anak-anakku. Membuka mata dan tertidur di sampingmu. Aku tak main-main, seperti lelaki yang lain, satu yang ku tahu, ku ingin melamarmu."

Alfito menyanyi sangat merdu, dia menyanyikan lagu dari Badai Romantic Project, yang berjudul. 'Melamarmu.'

'Untung suaranya lumayan. Nih orang alay banget sih. Fania oh Fania ... bilang saja kamu iri sama Anaya kan?! Ada yang mencintai Anaya sampai seperti ini. Hiks. Nih kenapa pikiranku kacau,' renung Fania.

"Sayang ... kamu kenapa? Ha ... kamu tidak suka aku nyanyi?"

"Sudah aku bilas rambutnya. Aku lebih suka jika kamu ngaji mungkin," ujar Fania yang lalu mengeringkan rambut Alfito dengan handuk.

"Sudah, cepat whudlu." Dia segera keluar dari kamar mandi, dadanya terasa sesak. Alfito hanya bisa menatap istrinya yang aneh.

'Ibu ... aku kangen. Biasanya kita tertawa akan hal kecil. Kenapa aku merana sekali. Aku ingin membuktikan kepada Ayah, kalau Ibu selalu setia. Heh ... Fania kamu ini menangisi apa sih? Kamu hanya cari alasan kan? Kamu nangis karena Anaya selalu lebih beruntung kan?!' batin Fania lalu mengusap air mata saat mendengar suara langkah Alfito.

Bersambung.