2 CHAPTER 1

"Good morning, Mah!"

"Morning juga sayang"

Bangun tidur, membersihkan diri, bersiap untuk bersekolah, menuruni anak tangga, menyapa keluarga diruang makan dan mencium pipi serta kening ibunya adalah aktifitas yang selalu dilakukannya setiap pagi.

Semua itu sudah menjadi rutinitas pria tampan dan hiperaktif yang kini duduk dikelas 3 SMA ini sebagai pembuka untuk memulai hari-harinya yang akan diisi oleh banyak aktifitas.

"Pasti kesiangan lagi" Ucap seorang pria yang tengah duduk dimeja makan sambil menikmati sarapan paginya.

"Ngusik aja lo bang!" Jawab Arkan menanggapi ucapan kakaknya. Ia langsung duduk dikursi kosong tepat disamping kakaknya, dimana tempat itu sudah menjadi favoritnya ketika akan bersantap pangan.

"Lagian abang turunnya selalu siang,"

Kini, seorang wanita muda yang duduk tepat disebelah ibunya ikut serta membuka suara untuk mengomentari kebiasaan pagi Arkan. Hal itu tidak membuat fokus Arkan yang tengah mengambil lauk pauk terganggu.

"Pasti disuruh bang Dimas buat ikut komentarin gua," Jawab Arkan tanpa menatap kearah adik perempuannya.

"Kok lu jadi nuduh gua si?" Protes Adimas, sang kakak.

"Elu kan suka ngomporin Dinda," Balas Arkan cepat, sedikit melirik ke arah kakaknya yang kini tengah menatapnya tajam.

"Fitnah aja lu!" Ucap Adimas tak terima.

"Bang Arkan, Dinda ngomong karena perasaan Dinda sendiri. Abangkan emang suka bangun kesiangan," Timpal Dinda menegaskan pada Abang keduanya yang salah paham.

"Denger tuh adek lu!" Timpal Adimas, ngegas.

"Dih ngelunjak semua!" Arkan mulai merasa emosi dengan kedua saudaranya.

"Adimas, Arkan, Adinda udah deh gak usah ledek-ledekan, kalian udah pada dewasa masih aja kayak anak-anak. Masih pagi loh ini, masa mau bikin keributan sih," Ujar sang ibu menatap satu persatu anaknya, ia menasehati ketiga anaknya agar tidak berdebat dan membuat keributan dipagi hari.

"Udah jam 6.30 tuh Adimas, cepetan makannya terus cepet berangkat! Hari ini kan jadwal kuliahmu pagi," Ujar sang ibu sambil menatap anak tertuanya yang masih menyantap sarapannya.

"Arkan, Adinda juga cepetan! Hari ini hari senin, kalian harus upacara," Sambung ibunya, kini menatap secara bergantian kedua anaknya yang masih duduk dibangku SMA.

"Dinda mau berangkat sama bang Dimas aja. Kalo sama bang Arkan keburu siang, bisa-bisa telat nanti."

"Alhamdulillah!" Ungkap Arkan dengan nada tinggi, kemudian mengusapkan kedua telapak tangannya ke wajah layaknya orang yang baru saja selesai berdo'a.

"Yaudah berarti nanti pulangnya aja kamu bareng Arkan," Ujar ibunya, merapihkan piring kotor bekas sarapan Adimas dan Adinda.

"Bang Arkan suka lama mah," Rengek Dinda pada ibunya.

"Yaudah naik ojeg aja apa susahnya si," Usul Arkan santai sambil menyantap sarapan paginya.

Ibunya hanya mendenguskan nafas dan menggelengkan kepala mendengar perkataan Arkan. Sedangkan, Adinda membuat ekspresi seperti orang yang merajuk dan murung sambil menatap tajam Arkan yang asik dengan lauk dan nasinya.

Dia salut dengan sifat dan sikap abangnya ini. Jika boleh, ia ingin memberinya sebuah penghargaan 'orang paling menyebalkan sejagat raya' kepada abangnya, Arkan.

Arkan memang dikenal sebagai anak cerdas yang pelit nan malas. 

Tapi lain halnya jika berurusan dengan basket dan game, dia akan mendadak berubah menjadi orang yang paling rajin dan disiplin.

"Kalau mau bareng gua, samperinlah ke kelas," Ucap Arkan tiba-tiba.

"Dih gak mau, kelas abang ramai"

"Ya iyalah, namanya juga kelas, jumlah siswanya 32 jadi ramai"

"Bukan gitu, tapi Dinda malu"

"Sejak kapan lu punya malu?" Arkan berkata tanpa menatap adiknya namun sambil membereskan piring bekas sarapannya.

"Bang Arkan !"

"Kalau gitu, Arkan aja yang samperin Dinda ke kelasnya, ya sayang?" Timpal ibunya, memotong percakapan putra kedua dan putri bungsunya.

"Dih gak mau, keenakan dialah, Mah. Dulu aja waktu masih satu sekolah sama Bang Dimas, Arkan yang nyamperin abang ke kelasnya"

"Ih kelas abang sama kelas Dinda jauh mah," Rengek Dinda.

"Udahlah, lu tunggu Arkan di warung depan sekolah aja Din," Timpal Adimas sambil memakai sepatu sneakersnya.

"Diakan biasanya suka keluar bareng temen-temennya, sekaligus sama doinya," Sambung Adimas lagi.

"Hidup lu ribet, Din"

"Apa sih Bang Arkan!" Kini Dinda sudah mulai kesal dengan kakak keduanya, Arkan.

"Udah sana pada berangkat, jangan ribut terus,"

"Iya, Mah"

***

"Hai pacar,"

Suara bulat dan berat yang sudah sangat familiar di telinga Nadia, berhasil membuatnya menoleh dan membenarkan tebakan hatinya. Ya, siapa lagi kalau bukan Arkan si laki-laki menyebalkan yang pandai berbicara.

"Hai juga"

"Kok sendirian? Dara mana?"

Arkan berhasil menemukan wanita terkasihnya dijalan menuju ke sekolah, ia sengaja menyapa karena mendapatkan wanitanya hanya jalan sendirian tanpa teman yang biasanya selalu beriringan bersamanya.

"Dia udah duluan, Ar"

"Loh kamu ditinggal dia?"

"Iya"

"Jahat ya dia"

"Eh— nggak kok Ar," Jawab Nadia sambil tersenyum.

"Masih pagi Nad, jangan senyum terus dong, nanti aku diabetes"

Gombalan super receh— sudah menjadi andalan Arkan ketika ingin melihat rona merah di pipi wanitanya.

"Arkan apa sih" Respon Nadia, terlihat jelas semburat rona merah dipipinya.

"Kenapa sayang?"

"Kamu berlebihan"

"Berlebihan sama pacar gak apa apa kali," Nadia hanya menunduk, mencoba menyembunyikan senyumnya yang timbul karena merasa malu.

"Untung ada aku ya, jadi kamu gak sendirian,"

"Eh—iya hehe"

Lagi-lagi, Arkan berhasil membuat rona merah dipipi wanitanya karena tersipu malu.

***

"Woi! Kantin yuk!" Teriak Arkan begitu gurunya keluar kelas karena bel istirahat sudah berbunyi.

"Tanggung, bentar lagi Kan!" Sahut Aldo, ia masih fokus dengan buku tulis dihadapannya.

"Lama lu pada!"

"Lu mah pinter, jadi cepet ngerjainnya. Lah kita? Onlinenya kalau lagi bahas meme doang," Timpal Reno, yang juga terfokus dengan buku yang dihadapannya.

"Jiwa meme gua melonjak cui!" Teriak Vino begitu semangat.

"Gua suka gaya lo cil! Semangatnya gak nanggung-nanggung," Balas Reno.

"Berisik lu semua! Gua pengen cepet selesai ni, pengen makan gua, jadi jangan ganggu dong!" Teriak Aldo kepada kedua temannya yang juga sedang mengerjakan tugas.

Arkan yang berdiri dan bersandar di pintu kelas hanya mengelus dada dan beristighfar melihat kelakuan teman-temannya yang tidak jauh beda dari dirinya.

"Ya Tuhan, mereka ini ketularan hamba atau hamba yang ketularan mereka?" Gumam Arkan sambil melihat ke langit-langit kelas, seperti orang yang sedang berdo'a.

"Yaudah gue duluan" Putus Arkan pada akhirnya.

"Gua ikut, Kan!" Sahut Aldo, ia bergegas merapihkan alat tulisnya dan menghampiri Arkan yang menunggunya di depan pintu kelas.

"Gua nyusul aja deh," Ujar Reno, disambut dengan anggukan Vino.

"Yaudah," Jawab Arkan.

Kini, Arkan dan Aldo berjalan beriringan menuju kantin. Aura yang mereka pancarkan membuat banyak sekali mata yang menatap keduanya, terutama Arkan. Dengan paras tampan dan keahliannya dalam bermain basket, banyak sekali warga perempuan SMA Kharisma menyukainya bahkan sampai ada yang mengejar dan mengaku ingin menjadi pacarnya Arkan. Sungguh gila!

Namun, ada satu wanita yang berhasil mendapatkan perhatian, tatapan, dan hati sang Most Wanted SMA Kharisma. Siapa lagi kalau bukan Nadia, Nadia Sharena Pradita. Kekasih terang Arkan sejak masih SMP yang kemudian satu sekolah lagi di SMA Kharisma.

"Eh ada pacar," Sapa Arkan tiba-tiba ketika melihat Nadia duduk sendirian.

"Eh—" Nadia tersentak, ia terkejut melihat Arkan yang tiba-tiba saja sudah duduk dihadapannya, disusul dengan Aldo yang duduk disebelah Arkan.

"Kok sendirian lagi sih?" Tanya Arkan menatap tajam wanitanya.

"Nggak sendirian kok, aku sama Nisa. Dia lagi mesen makanan" Jawab Nadia lengkap.

"Ohh, aku fikir kamu sendiri," Sambung Arkan yang langsung disambut dengan gelengan kepala disertai senyuman manisnya.

"Ahh— aku ngefly lihat kamu senyum," Arkan sengaja tersenyum menggoda ke arah Nadia, ia juga memegangi dadanya seolah-olah jantungnya seperti akan lepas.

"Jadi seekor nyamuk, hap! Lalu ditangkap," Aldo menyinggung Arkan yang terus saja memberi gombalan receh pada wanitanya. Ia merasa terabaikan karena status jomblo yang masih saja menjadi gelar kebanggaannya, sehingga ia tidak bisa menunjukkan juga kemampuan bergombalnya yang —mungkin— lebih pro daripada Arkan.

"Hai Arkan, Hai Reno," Sapa Nisa yang baru saja sampai sambil membawa 2 mangkuk mie ayam dan 2 gelas es teh manis menggunakan nampan.

"Duh Arkan sama Reno datangnya telat ni, jadi gak bisa sekalian mesenin deh," Ucap Nisa dengan sopannya sambil mengaduk mie ayamnya yang telah diberi saus dan kecap.

"Iya gapapa kok, Nis. Nanti biar si Reno aja yang mesen," Ujar Arkan.

"Iya Nis betul itu," Sahut Reno.

"Ehh—Arkan," Nadia terkejut ketika Arkan langsung mengambil botol saus dari tangannya.

"Jangan banyak-banyak, Nad"

"Tapikan—"

"Ssssttt!" Arkan langsung menaruh kembali botol saus tersebut diantara teman-temannya—kecap dan sambal.

Sedangkan, jelas sekali terlukis raut wajah murung Nadia karena Arkan mengambil botol sausnya. Kadang, Nadia sangat enggan makan bersama Arkan karena hal seperti ini—dilarang mengonsumsi saus terlalu banyak.

"Udah cepet dimakan mienya, nanti keburu dingin," Ucap Arkan sambil menatap kedua bola mata indah wanita yang berada dihadapannya.

"Duluan ya Ar," Sahut Nisa, disambut anggukan serta senyuman Arkan.

"Eh lu pesen makanan sana! Menu seperti biasanya aja," Titah Arkan kepada teman disebelahnya yang sedang fokus dengan handphonenya.

"Ah ganggu aja lu!" Respon Aldo, ia langsung beranjak menuju kantin yang menjadi tempatnya berlangganan.

***

Triiing...

Triiing...

Triiing...

Tepat pukul 15.00, bunyi bel pulang sekolah meluas ke seluruh antero sekolah, membuat para murid dan guru menyudahkan kegiatan belajar mengajarnya.

Dengan tertib para murid keluar dari kelasnya masing-masing, riuh keramaian terdengar semakin bising. Suara tawa, obrolan, teriakan, benturan, bahkan derap langkah kaki memenuhi hampir seluruh lorong kelas. Banyak murid yang hilir mudik, entah untuk menuju pintu keluar atau menghampiri temannya dikelas lain.

Hujan yang mengguyur cukup deras membuat para murid bertahan di dalam atau serambi kelas. Tidak hanya disatu tempat, tapi banyak juga siswa yang berteduh dikantin, musholla, bahkan lobby gedung utama sekolah. Namun ada juga sebagian yang nekat untuk melawan tumpahan air langit tersebut.

Beberapa saat kemudian, langit terlihat cukup cerah, tidak ada lagi petir atau kilat yang muncul, skala hujan pun mulai berkurang, namun masih belum berhenti. Kala itu, banyak para siswa yang memutuskan untuk menerobos hujan tanpa menggunakan pelindung apapun.

"Kamu mau pulang sekarang?" Tanya Arkan pada Nadia. Kini mereka tengah berada di dalam kelas Arkan bersama teman yang lainnya. Mereka bertahan agar tidak kehujanan.

"Hmm boleh, lagian hujannya udah gak deres kok," Jawab Nadia disertai senyumnya.

"Arkan, ada yang nyariin!" Teriak Aldo dari luar kelas. Hal itu sontak membuat Arkan dan Nadia bergegas keluar kelas.

"Eh—Adinda," Sapa Nadia ketika melihat siapa yang mencari kekasihnya yang tak lain adalah Adinda, adik Arkan.

"Hai Kak Nad," Sapa Adinda, ia tersenyum dan melambai pada Nadia.

"Ngapain lu?" Tanya Arkan pada adiknya.

"Ayo pulang bang," Ajak Adinda pada kakaknya yang berdiri tepat dihadapannya.

"Tumben lu nungguin gua?" Pertanyaan Arkan pada Adinda menghasilkan sebuah sikutan dari Nadia. Ia mengisyaratkan Arkan agar tidak bertanya seperti itu pada adiknya.

"Udah sana pulang, kasian Dinda," Ujar Nadia berbicara pada Arkan.

"Eh eh entar dulu—" Arkan menjeda ucapannya, namun matanya melirik Nadia dan Dinda bergantian.

"Kamu pulang sama siapa?" Tatapan Arkan berhenti pada Nadia, pertanyaan yang diajukannya pada Nadia hanya disambut senyuman kecil dari Nadia.

"Jawab bukan senyum!" Arkan kembali bertanya.

"Gojek. Aku sudah pesan gojek kok Ar," Lagi-lagi Nadia tersenyum, mengisyaratkan bahwa semuanya baik-baik saja.

"Eh nggak-nggak, kamu bareng aku aja," Ucap Arkan serius.

"Hei Arkan gak apa apa kok, lagian kalau aku sama kamu nanti Adinda sama siapa? udah ah gak usah mikirin aku."

"Nad—" Sebelum menyelesaikan pembicaraannya, Nadia dengan cepat menarik tangan Arkan agar kakinya mau melangkah pulang.

"Aku naik gojek yang," Nadia memberi penekanan pada setiap kata yang diucapkannya.

"Abang ayo cepetan, keburu ujan lagi!" Ajak Adinda menarik-narik tangan abangnya, Arkan.

"Lu pulang duluan aja si, lu yang naik gojek, nan—"

"Eh Arkan!" Bentak Nadia memotong pembicaraan Arkan. Ia benar-benar tidak mengerti dengan kekasihnya tersebut.

"Kamu pulang aja sama Adinda yaa, gojek yang aku pesan udah deket kok," Jelas Nadia dengan senyum mengembang di bibirnya.

"Yakin?" Arkan merasa cemas dengan kekasihnya, sebab ia tidak pernah membiarkan kekasihnya pulang atau pergi sendirian.

"Iya Arkan,"

"Yaudah. Ayo, Din!"

"Dinda duluan ya Kak Nad, kakak hati-hati," Salam Adinda pada Nadia sambil melambaikan tangan.

"Iya sayang, hati-hati juga," Nadia membalas lambaian tangan Adinda.

avataravatar