1 Nyaris Terkena Senjata

Tongkat kasti selalu menjadi senjata andalan bagi Candice untuk melakukan serangannya melawan SMA lain dalam tawuran ke-20 kali ini. Si blasteran Indonesia-Inggris tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menebas tulang-tulang mereka sampai patah hanya demi memenangkan pertarungan antar sekolah. Suara cempreng dari mulutnya yang tipis dan manis mendukung keramaian yang terjadi atas peristiwa tersebut.

"Kapten! Awas!"

Seruan salah satu teman Candice terdengar ketika musuh datang dari sebelah kanan. Cepat, Candice bergerak ke bawah untuk menghindari sabetan ikat pinggang yang nyaris menyobek kulit lehernya.

"Sialan!" umpat Candice kesal sembari mengayunkan tongkat kasti ke arah musuhnya tersebut. "Mampus kau!"

"Candice lari! Polisi datang!"

Seruan kedua dari seseorang yang tak lain adalah Rusdy membuat fokus Candice pecah. Di mana musuhnya langsung sigap menangkap tongkat kasti yang ia ayunkan, lalu membuangnya begitu saja ketika suara sirine mobil polisi mulai terdengar. Tak hanya musuh Candice saja yang berlari, Candice, Rusdy, serta seluruh anggota kelompok tawuran itu menghambur ke arah yang berlawanan dari kedatangan mobil polisi.

"Padahal sedikit lagi, aku bisa mematahkan salah satu tulangnya!" ucap Candice kesal sembari terus berlari.

"Lupakan dulu soal itu, kita tidak boleh tertangkap terlebih dahulu!" sahut Rusdy sembari menarik lengan Candice. Ia membawa gadis blasteran itu memasuki salah satu gang sempit untuk melarikan diri.

Keadaan mencekam mulai sirna ketika Candice dan Rusdy berhasil memasuki salah satu warung makan yang kerap mereka kunjungi selepas pulang dari sekolah. Suara napas terengah-engah dan batuk masih kerap terdengar dari mulut kedua remaja tersebut. Hananto selalu pemilik warung hanya bisa menggelengkan kepala serta mendecapkan lidah. Ia tahu betul situasi yang baru saja terjadi pada kedua pelanggan setianya tersebut.

"Pak Hanan, Candice mau es teh dong! Yang manis seperti biasanya!" seru Candice memesan minuman populer yang masih menjadi favoritnya.

Hananto meletakkan dua botol air mineral untuk Candice dan Rusdy. "Ada baiknya Mas Rusdy dan Mbak Bule minum air putih terlebih dahulu setelah dikejar musuh!" ucapnya sarkastik. Namun, meski sedang menyindir, senyum ramah tidak menghilang dari wajahnya yang sudah paruh baya.

Tanpa banyak berpikir Candice langsung meraih botol air mineral. Gerakannya begitu gesit ketika membuka penutup botol dan segera menenggak isinya sampai hanya tersisa setengah dari porsi sebenarnya. Gadis remaja pemilik nama panjang Candice Nuansa Louis ini memang cenderung tidak sabaran. Untuk aktivitas apa pun. Sikapnya benar-benar kasar dan terkesan seperti preman. Meskipun secara fisik ia sudah cukup pantas dijadikan sebagai super model berkat wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang tinggi proporsional, sayangnya ia memilih jalan hidup sebagai gadis bar-bar.

"Aku tahu kau kapten! Kau kuat dengan kemampuan bertarung yang hebat. Tapi sehebat-hebatnya seorang gadis pasti tetap akan kalah pada laki-laki, Candice. Kau hanya dibutuhkan untuk mengatur strategi bukannya malah ikut bertempur!" Rusdy mengomel. Ia selalu tidak ingin melibatkan Candice di dalam setiap pertempuran. Tak hanya karena Candice adalah seorang gadis, melainkan karena Rusdi merasa dirinya harus melindungi Candice sebagai gadis yang diam-diam selalu ia puja.

Omelan Rusdy seperti rengekan anak TK bagi Candice. Berisik dan menyebalkan. Setidaknya itu yang ia rasakan ketika melihat para anak kecil yang berceloteh. Ia memang tidak menyukai anak kecil. Mereka sangat lemah dan mudah menangis, sangat berbeda dengan jiwa Candice yang rasanya dipenuhi bara api yang tidak pernah padam.

"Berhentilah mengomel dan minumlah dengan cepat. Aku paling tidak senang mendengar orang banyak bicara! Bersikaplah seperti Pak Hananto yang meski heran, dia tetap bisa diam dan tahu posisi," sahut Candice atas ucapan Rusdy barusan. "Lagi pula, kau tidak lebih kuat daripada aku, Rusdy Pangeran!"

"Setidaknya aku bisa lebih gesit dan pintar. Apa kau lupa, tadi kau nyaris mati disabet ikat pinggang! Kalau Anhar tidak teriak, kau sudah tewas, tahu!" Rusdy tak ingin kalah dalam berdebat. Mau bagaimanapun ia tetap menginginkan keamanan Candice. Dan sudah seharusnya ia mengatakan kata-kata pedas hanya untuk membuat gadis itu menjadi sadar. "Belum lagi jika guru BK tahu, aku hanya akan disalahkan karena sudah mengajakmu tawuran!"

"Aku selalu berhasil mengatasi guru BK itu. Dan lagi kita sebentar lagi sudah kelas tiga, pasti tidak ada lagi waktu untuk berperang, bukan?"

Rusdy menghela napas, kesal. Sialnya, Candice jauh lebih keras kepala. "Ngomong-ngomong soal kenaikan kelas ...." Rusdy mencoba mengalihkan pembicaraan. "Apa kau yakin kita bisa naik kelas? Para guru saja selalu berdemo agar kepala sekolah mengeluarkan kita berdua."

"Naik kelas dong! Kalau sampai tidak, habis tuh kantor guru. Biar aku bakar habis sampai tak bersisa!"

"Hahaha!" Rusdy tergelak. "Aku akan membantumu, Candice!"

Seperti yang mereka perbincangkan, para guru memang sudah gerah dengan tingkah nakal mereka yang tak hanya sekadar bandel. Candice dan Rusdy sudah seperti geng mafia lingkup sekolah yang sulit diatasi. Namun, belakangan ini Candice mengetahui jika kepala sekolah masih berusaha melindunginya, dengan alasan karena Candice adalah remaja blasteran yang bisa menarik minat calon siswa. Ah, rasanya sangat menyebalkan karena terkesan dimanfaatkan. Akan tetapi, Candice selalu melihat keuntungan yang bisa ia dapatkan. Ia hanya akan diceramahi tanpa harus dikeluarkan.

***

Hans Diego Narendra, guru muda berusia 25 tahun sudah mempersiapkan diri atas kepindahannya dari SMA lain ke salah satu SMA. Saat ini pun, Hans sudah menghadap kepala sekolah dari SMA yang akan menjadi tempat kerja barunya. Ada beberapa alasan yang membuat kepala sekolah itu mengundangnya secara pribadi sore ini di salah satunya restoran dengan ruangan private.

"Sebelumnya saya meminta maaf karena telah membuat Tuan Hans datang di sore-sore seperti ini. Mengingat besok adalah hari pertama kerja Tuan Hans, tampaknya ada sesuatu yang harus kita bicarakan terlebih dahulu," ucap kepala sekolah tersebut.

"Tolong jangan panggil saya dengan sebutan 'tuan', Pak Kusuma. Saya hanyalah calon guru di sekolah Anda, dan bukan pengusaha besar seperti ayah saya." Hans memberikan sahutan dan sedikit ralat.

Kusuma alias kepala sekolah tersebut tersenyum kikuk. "Maafkan saya, Tuan, mm ... Pak Guru Hans! Saya hanya masih segan berbicara dengan salah satu anggota keluarga Narendra. Mm, begini, ada sesuatu yang harus saya katakan. Terkait dengan kelas yang akan Pak Guru Hans urus nantinya. Ada anak bernama Candice, dia blasteran Inggris dan juga Rusdy Pangeran. Mereka sangat sulit diatasi."

"Jadi, Pak Kepala Sekolah meminta guru baru seperti saya untuk mengurus anak-anak nakal itu?" tebak Hans.

"Maafkan saya sebelumnya, tapi kurang lebih memang seperti itu. Satu kelas berisi 38 siswa. Tapi, yang paling nakal adalah mereka. Jika mereka berhenti bandel, mungkin kelompok tawurannya pun akan diam juga."

Hans mengernyitkan dahi. "Kelompok tawuran?"

Dengan berat hati, Kusuma harus menganggukkan kepalanya. "Semua guru di sekolah kami benar-benar kesulitan mengatasi mereka. Sementara Pak Guru Hans masih sangat muda, itu artinya hanya Pak Guru yang mungkin bisa memahami mereka. Selain itu, Anda berasal dari keluarga terpandang, siapa tahu Anda tidak keberatan untuk menggunakan status itu sebagai gertakan dalam menghadapi mereka. Sebenarnya mereka hanya anak-anak biasa. Tapi, setelah saya memastikan latar belakang mereka lagi, mereka berasal dari keluarga yang tidak baik-baik saja. Candice yang meskipun gadis blasteran sudah lama ditinggal pergi oleh ayahnya yang tidak bertanggung jawab, sementara menurut keterangan dari neneknya, Rusdy memiliki trauma masa kecil. Sebagai kepala sekolah, saya tidak ingin murid-murid saya gagal, apalagi sebentar lagi mereka akan naik ke kelas tiga dan menghadapi ujian kelulusan yang akan menentukan nasib mereka selanjutnya."

Hans tidak senang jika dirinya harus memanfaatkan statusnya sebagai salah satu putra seorang konglomerat. Bahkan sebelum ini ia sudah meminta Kusuma untuk merahasiakan kenyataan itu. Ia ingin menjadi seorang guru untuk beberapa alasan, dan terutama untuk menghindari sekolah bisnis yang diinginkan oleh orang tuanya. Namun, setelah mendengar alasan Kusuma sampai mengundangnya secara pribadi sore ini hanya demi mengatasi dua remaja nakal tersebut, Hans merasa bahwa dirinya memang harus membantu.

Lagi pula, Kusuma benar, Hans masih sangat muda dan mungkin bisa lebih memahami kedua remaja tersebut. Kusuma sendiri tidak hanya ingin mempertahankan Candice sebagai bintang yang bisa menarik minat para calon siswa, tetapi alasan latar belakang Candice dan Rusdy membuatnya harus mengambil sikap yang jauh lebih bijak.

"Baiklah saya rasa saya bisa melakukannya, Pak Kepala Sekolah," ucap Hans sembari tersenyum.

***

avataravatar