5 Kapan Menikah?

Meskipun kesal dan marah, Tiara masih ingat kalau dia harus tetap berlaku sopan. Dia pun membalas pertanyaan tantenya itu dengan senyum yang dipaksakan. Setelah itu Tiara berpamitan. Tentu saja tantenya merasa geram dan menganggapnya tidak sopan.

'Dasar tidak sopan, pantas belum menikah juga. Mana ada lelaki yang mau menjadikan perempuan kayak gitu sebagai istri. Jadi perawan tua baru tau rasa dia.' Batin Tante Meti seraya menyeringai jelek ke arah Tiara yang sudah jauh meninggalkan pandangan matanya.

Setelah berhasil kabur dari emak-emak rempong dan teman-teman kakaknya yang usil, Tiara duduk menyendiri di sudut yang sepi di bagian rumahnya. Dia merosot ke lantai sambil menutup wajahnya karena kenyataannya dia tidak begitu kuat untuk melawan hatinya yang sedang hancur berkeping-keping.

Inikah yang namanya hancur? Oh hati sadarlah! Mungkin dia tak baik bagiku atau Allah ingin bicara tentang sabar padaku? Ya Allah jika memang ini karena Kau ingin aku bersama yang lebih baik, maka aku mohon damaikanlah hatiku! Ucap Tiara seraya menasihati dirinya agar hatinya menemukan kelapangan.

Tiara sadar satu hal, kalau bukan dirinya sendiri yang menolong hatinya maka tidak ada satupun orang yang bisa meloloskanya dari rasa sakit yang luar biasa.

Inikah cinta yang dulu sering Tiara elu-elukan? Kesetiaan dan pengorbanan yang katanya sebagai penguat hubungan dan bukti cinta yang tulus, tak mampu lagi membuatnya bertahan. Apakah itu semua hanya kedok belaka? Padahal saat bersama, lelaki itu begitu tergila-gila padanya. Tapi sekarang kemana cinta itu? Semudah itu dia katakan cinta, semudah itu juga dia katakan putus. Kini semua sirna tak tersisa, bagai debu yang diterbangkan angin.

Ferdinan yang dulu memperlakukanya bak tuan putri, dan selalu mengatakan kalau dia adalah segalanya malah kini memandangnya sebelah mata, apakah cinta sepicik itu?

Entah di mana perasaan lelaki itu, sehingga ia pergi meninggalkan janji-janji manisnya.

Tiara terus saja merintih mencoba mengekspresikan sakit hatinya bersama butiran-butiran air mata yang mengalir kaku.

Tuhan … Apa salahku? Kenapa Ferdi tega melakukan ini? Dia lebih memilih Rina daripada aku yang sudah tiga tahun menemaninya dengan penuh kesabaran dan kesetiaan? Ucap Tiara sambil terisak.

"Apa kamu melihat Tiara?"

Mendengar seseorang mencarinya, Tiara pun segera menghapus air matanya dan merapikan dirinya. Setelah itu berlari masuk ke kamar mandi, karena dia tidak mau ada yang tau kalau dia sedang menangis.

Setelah merapikan penampilannya, Tiara kembali berbaur di pesta dan kumpul bersama saudara-saudaranya. Tidak jarang pula mereka yang tahu hubungannya dengan Ferdinan, menanyakan ketidakhadiran Ferdinan di acara penting kakaknya itu.

"Ra, Ferdinan mana? Kok dari tadi aku tidak melihatnya datang?" Tanya Hana Khumaira, yang tidak lain adalah sahabat sekaligus sepupunya.

"Iya, aku juga belum melihat batang hidung Kak Ferdinan dari tadi." Sahut juga Makwa, yakni sepupu yang selalu menemaninya tidur kalau dia ingin ditemani.

"Dia sibuk" jawab Tiara tanpa ekspresi.

Tiara merasa belum siap memberitahu siapa pun soal putusnya dengan Ferdinan karena dia masih berharap Ferdinan kembali padanya untuk melanjutkan rencana pernikahan mereka.

Melihat ekspresi Tiara yang tidak enak, Hana dan Makwa pun tidak bertanya apapun selain menemaninya untuk menyambut para tamu.

Seusai resepsi pernikahan selesai, di sudut tertentu ada jasad yang terdiam seperti tak bernyawa. Tiara berjalan seolah tak berjalan dan selama pesta berlangsung dia tak makan apapun. Hanya Ibu yang memperhatikan gerak-geriknya. Sedang yang lain tidak tau apa yang terjadi padanya.

Malam pun tiba,

Sehabis Tiara melaksanakan sholat Isya. Tiara mengurung diri di kamar dengan alasan kalau dia tidak enak badan. Di sudut kamarnya yang remang-remang dekat dengan jendela, Tiara menatap langit malam sambil meneteskan air mata.

'Ferdinan … Kau tega menyakiti hatiku di saat cintaku tumbuh subur di hati. Kamu pergi begitu saja dan membuang aku seperti sampah'

'Tidakkah kau ingat bagaimana usahamu untuk mendapatkan hatiku? Ferdinan di mana akal sehatmu? Kamu tidak pantas disebut lelaki, lebih cocoknya kamu disebut Monster.'

Batin Tiara seolah ingin teriak histeris di hadapan Ferdinan. Namun, kenyataannya dia tidak mampu melakukannya. Sebab dia paham betul kalau itu hanya akan menjatuhkan harga dirinya. Sekarang mau tidak mau dia harus menerima keadaan ini.

Seorang lelaki yang tak bisa menepati janjinya tidaklah pantas untuk ditangisi terlalu lama, apalagi sampai terpuruk dalam jurang tak bertepi, tapi rasanya memang tak mungkin secepat itu dia berdamai dengan hatinya, karena kenangan-kenangan manis bersama lelaki itu masih teringat jelas di benaknya.

Karena rasa itu, baru kemarin tumbuh bermekaran di istana cinta yang dia bangun. Namun kini sudah layu hingga berdarah-darah dibunuh pengkhianatan.

Kehampaan demi kehampaan menyelimuti hatinya, kebencian dan kemarahan kerap kali menghadirkan pikiran-pikiran yang menghilangkan akal sehat.

avataravatar
Next chapter