webnovel

EPISODE 21

***

Suasana kamar yang temaram di iringi nada tetesan air hujan menyentuh atap. Berasa enggan meninggalkan kasur, Revan bersikukuh dalam kungkungan selimut. Bunyi antara spatula dan kuali, bunyi antara mangkuk dan meja, bunyi didihan air dimasak diatas kompor, berbagai suara dihasilkan dari dapur.

Seorang yang berperan sebagai istri berkecamuk dengan olahan masakan didapur itu. Menyeduh kopi hangat dan beberapa cemilan sebagai teman minum nanti. Pagi-pagi sekali Nadya bangun, menyiapkan makanan demi makanan.

Telinga Nadya merespon derap langkah yang terasa mendekatinya, siapa lagi kalau bukan suaminya, Revan.

"Pagi sekali kamu memasak?" tanya nya sedikit malas bercampur lesu karena masih mengantuk.

Revan duduk dikursi khusus tempat makan dengan wajah bertumpu pada kedua tangan. Memperhatikan punggung dan gerak-gerik yang sedang memasak disana.

"Kak, mau kopi?" tawarnya, setelah memutar knop kompor kearah off.

Revan bergeming, lalu berdiri mengucek mata karena ada yang mengganjal. Menuju kamar mandi terdekat, mengusap wajah dengan air agar tersadar dan bugar sebab kantuk yang tak kunjung menghilang.

Secangkir kopi telah tegak diatas meja sekaligus cemilan nya. Revan menghampiri lalu menyeruput kopi itu. Nadya sadar keberadaan suaminya, mendekat dan membuka obrolan pagi. Duduk berhadapan, sambil menunggu rintik hujan berhenti.

"Jadwal hari ini apa saja?" Revan bertanya sembari menggaruk pelan tengkuknya.

"Tidak berbeda dari hari lainnya" jawaban singkat membuat Revan berdecak kesal.

"Mama menelepon tadi saat kakak masih tertidur, menyuruh kita kembali kerumah" jelasnya. Sesaat Revan menghentikan seruputannya.

Mungkin telah cukup menghilangkan kekecewaan terhadap seorang ayah. Tetapi sisi egoisnya lebih besar dan mendominasi. Berbagai kata negative berdatangan jika mengingat perihal kemarin.

Sejauh ini tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan, dirinya dan Nadya juga bahagia sekarang. Sebaiknya hubungan antara anak dan orangtua harus diperbaiki, dalam keluarga sah-sah saja jika sering terjadi selisih paham. Siapa tahu setelah mendengar penjelasan, menemukan titik terang nya.

"Kamu mau kita kesana?" Revan bertanya setelah mempertimbang kan beberapa hal.

"Mau" antusias nya. "Setelah hujan reda saja" tutur Nadya yang membersihkan meja tempat mereka menyeruput kopi tadi.

***

Mobil terparkir seperti biasanya sebelum mereka berpindah. Mereka berdiri didepan pintu disusul ketukan cukup kencang.

Pramuwisma yang membuka pintu tersenyum ramah menyambut anak satu-satu nya keluarga ini. "Ibu dan bapak ada diruang keluarga, nak Revan" pramuwisma paham maksud kedatangan anak majikannya.

"Iya bi" ucap Revan lembut.

Ternyata disana paman Nadya turut hadir, demi meminimalisir sikap Revan yang mudah tersulut emosi serta untuk lebih meyakinkannya.

Nadya disambut hangat ibu mertuanya memeluk erat, seminggu sejak mereka pindah tanpa kabar cukup mendatangkan rindu seorang ibu pada anaknya. Sedangkan pada kursi seberang sana, terlihat Revan mengasingkan diri.

"Aku berusaha mati-matian menekan ego. Kalau bukan melihat antusiasnya tidak mungkin bisa duduk disini" pikirnya.

Ayah beserta pamannya menyudahi bincangan setelah melihat Revan cemberut karena masih marah dengan masalah itu.

Wahyu selaku ayahnya berdiri mengajaknya mengobrol jauh dari ruangan tersebut. Diikuti pamannya menuju tempat yang pas untuk menyelesaikan masalah ini.

"Van. Tanyakan apa yang masih mengganjal dipikiran mu. Papa akan menjawab" pembuka bincangan yang terkesan canggung ini.

"Revan mau detail dari awal sampai akhir"

"Sebaiknya control emosi mu, Van" tambah pria paruh baya yang dipanggil paman olehnya.

***

"Memang dari awal pernikahan kalian sudah direncanakan. Bahkan sejak kalian lahir. Sebelum ayahnya Nadya meninggalkan kita-" ucapnya terjeda, menghela napas panjang.

"Sifat egois kami lah menyebabkan semua ini. Tidak memberi kalian kesempatan mengungkapkan pendapat, setuju atau tidaknya. Tapi ini semua demi kehidupan kalian, papa bersumpah tidak ada maksud lain" jelasnya sungguh-sungguh.

"Kami para orang tua tidak mungkin melihat anaknya kesusahan, apalagi menyakitinya. Namun, cara nya kami akui salah" tutur pamannya, untuk sedikit meredam amarah Revan walau tidak tampak.

"Ayah Nadya dan papa berteman sangat dekat, membangun usaha ini dari nol, bersusah payah menekuninya. Butuh waktu lama untuk mencapai seperti saat sekarang. Kehidupan memang tak sesuai yang kita rencanakan" jelas ayahnya rinci.

"Banyak sepasang mata tak suka dengan kami, tidak mungkin seseorang dari kasta rendah bisa membuka usaha seperti ini pikir orang-orang diluar sana. Setelah ayahnya meninggal, paman yang bersedia merawat Nadya karena dia satu-satunya keluarga yang paman punya walaupun bukan keluarga sedarah"

Revan masih terdiam, merenung, berusaha mencerna dan memahami nya. "Kaitannya menikahi kami apa? Tentu tidak ada sangkut paut dari cerita papa tadi" ia pun menahan amarah yang siap keluar. "Sampai-sampai mendekatkan Adit sebagai pengintai Revan".

"Kami tidak ingin pewaris yang bukan keturunan kami. Papa juga lihat kalian berteman bahkan akrab sejak Sekolah Dasar. Jadi, kami pikir menikahkan kalian keputusan yang tepat" Revan tersenyum getir tak menyangka mendengar penjelasan kali ini. Sungguh tidak diterima akal.

"Van. Paman dan papamu Cuma ingin kalian bahagia, mendiang ayahnya Nadya juga menginginkan kalian bersama. Dia berkata jika kamu yang bisa menggantikan nya sebagai laki-laki pelindung Nadya" menepuk bahu Revan pelan dan berlalu dari ruangan yang memiliki jendela kaca besar itu.

"Kamu sudah dewasa, bisa memilih dan memilah baik buruknya. Sekarang papa tidak berhutang penjelasan lagi padamu" pungkas ayahnya dengan memberikan pelukan hangat.

"Aaaa…. Besok kembali lah kekantor, akan ada pertemuan untuk membahas hasil penjualan" imbuhnya, lalu melangkah menyusul temannya tadi.

***

"Magang kamu kapan selesainya, Nad?" suara lembut seorang ibu bertanya. Sedangkan Nadya me skop semangka merah lalu memasukkannya ke wadah beling.

"Dua minggu lagi ma" tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya.

"Kalian selesaikan saja dulu kuliahnya. Tunda kehamilan tidak apa-apa, susah membagi waktu antara anak dengan kuliah. Sayang kalau tidak diselesaikan kuliahmu" nasehat nya. Tidak memupuk seorang menantu sesegera mungkin memiliki keturunan.

"I-iya ma" ucapnya gugup. Belum pernah berpikir mengarah kesana.

"Ini melon nya. Disatu wadah saja tidak apa-apa, Nad" suruhnya yang menaruh belahan melon ke meja tepat disebelah semangka tadi. Nadya mengangguk, setelah selesai dengan semangka lanjut meng skop melon pula.

Selama ketiga pria berbincang serius diruangan berlawanan, ibu dan menantu sibuk menyiapkan minuman segar siang ini. Es buah menjadi pilihan. Selama hidup dan tinggal bersama paman membuat Nadya mandiri, cukup handal jika ia berkutat didapur.

"Sajikan ke gelas yang itu ya, Nad" pintanya juga menunjuk gelas sekira berdiameter 8 cm. Secara bergantian ia mengisi es buah tadi sebanyak lima gelas, ditaruhnya pada nampan kayu. Siapapun yang selera tinggal mengangkat dan menikmatinya.

Terdengar langkah tergesa-gesa menuju dapur, Revan yang sulit dipahami menyalami ibunya dan memeluk erat.

"Ma, Revan pulang ya" setelah merenggangkan pelukannya.

"Kalian tidak menginap disini saja" keluh ibunya terdengar sedikit memohon.

"Tidak bisa Ma. Besok Revan kerja, Nadya juga magang harus pagi" elaknya tak enak hati. Ia telah memutuskan akan berdamai dengan ayahnya, seburuk apapun dia tetap seorang ayah yang harus dihormati. Tetapi tidak mengurungkan kepindahan nya dari rumah besar itu.

"Baiklah. Nad, bawa es ini ya untuk kalian dirumah. Pakai wadah yang penutupnya erat" ia tidak bisa menyanggah keputusan anaknya, ia rasa Revan sudah dewasa sekarang.

"Ma. Nadya pamit dulu" sembari memberi pelukan perpisahan. "Sampai kan ke papa kami pulang gak pamit dengannya".

"Iya" senyumnya merekah. "Kalian jaga diri ya".

Seorang ibu merasa anaknya telah tumbuh dewasa, sudah bisa mengambil keputusan mana yang terbaik. Seburuk apapun sifat anaknya dimata orang lain, dimata seorang ibu anaknya tetaplah cintanya dan harta yang berharga.

Like it ? Add to library!

Basreswaracreators' thoughts
Next chapter