webnovel

Pernikahan kedua Aldebaran

Seketika suasana menjadi menegangkan bersamaan dengan turunnya Aldebaran dari kamar. Semua orang menatap tidak percaya apa yang baru dikatakan oleh Rasyid. Setahu mereka, Rasyid tidak pernah mengeluarkan kata-kata seperti itu.

"Maaf ya, Om. Papa lagi kurang sehat soalnya. Silahkan duduk dulu, Om. Penghulunya belum datang," ucap Syafa sembari mempersilahkan.

Erna menarik tangan Rasyid menjauh dari ruang tengah. Dilihat dari tatapan Erna, sepertinya wanita itu sangat marah dengan tindakan suaminya itu. "Apa-apaan sih Papa ini. Kasihan Mona dan Om-nya yang baru aja dateng udah dikasih ucapan menyakitkan. Papa mikir nggak sih!"

"Emang Mama pernah mikir perasaan Syafa bagaimana? Dia lebih menderita, Ma. Bahkan setelah tahu kalau suaminya akan menikahi wanita lain, ia tidak memberontak sama sekali. Apa Mama masih ingin balas dendam?" tanya Rasyid dengan tatapan tajamnya itu.

"Iya!" Erna meninggalkan Rasyid begitu saja.

Melihat Erna yang datang kembali tanpa sosok Rasyid bersamanya, Syafa langsung menyusul rasyid yang masih tertatih berjalan dengan tongkatnya. Perlahan Syafa menuntun Rasyid hingga ia kembali duduk di sofa ruang tengah. Saat itu, Rasyid tidak bisa menahan air matanya lagi.

"Maafin Papa, Fa. Semua ini salah Papa, seharusnya Papa tidak membiarkan hal menyakitkan ini terjadi kepada kamu. Papa minta maaf."

Suasana pernikahan yang seharusnya bahagia, kini berubah menjadi banjir air mata. Tidak hanya Herman yang menangis, tapi yang lain juga. Syafa berusaha untuk menenangkan semuanya kalau dirinya baik-baik saja, karena memang tidak ada yang perlu ditangisi lagi.

"Syafa saja menerima ini semua, tapi kenapa kalian tidak?! Al mohon sekali ini saja, hargai Al sama Mona yang sedang bahagia saat ini!" Al sedikit meninggikan suaranya.

Hafis menghembuskan nafas secara kasar, laki-laki itu hendak memulai kembali pertengkaran, tapi Karina menahannya. "Jangan buat keributan."

"Sebelumnya saya mau minta maaf kalau kedatangan kami membuat kalian tidak nyaman. Kedua orang tua Mona sudah meninggal dunia sejak kecil, jadi selama ini saya yang mengurusinya," jelas Arman panjang lebar.

Meski begitu, penjelasan Arman sama sekali tidak digubris oleh Rasyid. Sedangkan, Syafa merasa terenyuh, ternyata Mona lebih menderita darinya Mempunyai hati yang lembut memang serba salah, disatu sisi itu adalah hal baik, tapi di sisi lain itu akan menjadi bumerang untuk diri sendiri, bahkan sangat berpotensi untuk dimanfaatkan oleh orang lain.

"Mona juga sudah cerita kalau Aldebaran sudah punya istri dan saya mau minta maaf kalau Mona sudah membuat masalah dikeluarga ini, tapi saya juga berharap kalian semua menerima kehadiran Mona dikeluarga ini," ujar Arman bernada sedih.

"Tentu Pak Arman, Mona akan jadi menantu saya," sambung Erna bersemangat.

Tepat didepan mata istri pertama Aldebaran, laki-laki itu menjabat tangan penghulu. Memori Syafa akan hari pernikahannya satu tahun yang lalu terbuka lebar. Ia tahu betul bagaimana Aldebaran duduk menjabat tangan ayah Syafa dan mengucapkan ijab qobul.

Seketika itu air mata Syafa menetes, tapi dengan cepat gadis itu menghapusnya dan memasang senyum bahagia.

"Saya terima nikah dan kawinnya, Monalisa binti almarhum Yudiawan dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."

"Alhamdulilah, Sah." Suara Erna yang paling lantang mengucapkan kata 'SAH' itu. Sedangkan yang lainnya hanya seperlunya saja.

"Welcome to my world, Jangan lupa bahagia, Mon," batin Aldebaran setelah selesai mengucapkan ijab qobul.

****

Di dalam kamar Syafa duduk termenung sendirian sembari memegang foto pernikahannya. Tangannya mengusap pelan foto itu, diiringi dengan tetes demi tetes air mata yang mulai jatuh ke atas foto itu. Gadis itu dipaksa kuat oleh keadaan, meskipun dirinya sangat terluka.

"Sayang, sehat-sehat ya. Bunda akan selalu jaga kamu, bunda yakin kalau kamu sudah lahir nanti, semua cinta ayah akan selalu kamu dapatkan," ujar Syafa menyemangati diri sendiri.

Syafa dibuat terkejut dengan kehadiran Aldebaran yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Laki-laki itu bahkan dengan santainya membuka lemari dan mengganti baju tidur dihadapan Syafa. Sontak hal itu membuat mata Syafa terbelalak lebar lalu menutup matanya. Pasalnya, baru kali itu Aldebaran melakukannya.

"Emang saya orang asing harus tutup mata segala," ucap Al sembari mengancing piyamanya.

Syafa menelan ludahnya dan perlahan membuka matanya. "Aku cuma kaget, tadi Mas Al denger aku ngomong sesuatu nggak?" tanya Syafa.

Laki-laki itu mengerinyitkan dahinya karena bingung. "Kamu ngomong apa?"

Syafa menggelengkan kepalanya cepat. "Syukurlah," batin gadis itu.

"Jangan begadang, jangan nangis, kurang baik buat kesehatan. Malam ini aku tidur di kamar Mona. Malam besok aku tidur di kamar kamu," ujar Al sembari berjalan menuju pintu, tapi ucapan Syafa tiba-tiba saja membuatnya berhenti.

"Maksud kamu?"

"Kalau Mas Al mau tidur di kamar Mona setiap hari juga tidak masalah buat Syafa dari pada Mas Al tidur di lantai. Setidaknya, dikamar Mona Mas Al bisa tidur diatas kasur," jelas Syafa lebih detail.

Laki-laki itu tidak menjawab meski diam beberapa saat. Ia lebih memilih untuk menghiraukannya. "Jangan pikirin aku."

Pintu kamar itu akhirnya tertutup seiring keluarnya Aldebraran. Syafa kembali menyendiri ditengah kesunyian malam. Akhirnya, Syafa memilih untuk keluar kamar menuju teras kamar. Setidaknya, bisa berbagi kesedihan dengan bulan dan bintang. Gadis itu memang sering melakukan rutinitas itu hampir setiap malam.

Berbeda dengan Aldebaran yang saat ini sedang berbahagia menikmati malam bersama dengan istri keduanya. Namun, ada sedikit keanehan dengan Mona, disaat Al ingin mendekat Mona seperti menghindar dengan alasan lelah. Padahal, dia tidak melakukan aktivitas apapun.

"Why? Belum siap?" tanya Al pelan.

Mona mengangguk pelan. "Kalau kamu butuh sesuatu bilang aku aja, biar aku yang ambil ke bawah."

Al menerbitkan senyum manisnya. "Enggak usah, kalau masalah itu aku akan minta Syafa yang buatin, soalnya aku udah biasa dibuatin dia."

Seketika itu raut wajah Mona langsung berubah mendengar ucapan Aldebaran. Wanita itu langsung membelakangi Al, tapi dengan cepat Al menarik tangannya. Nyatanya, wanita bernama Mona itu sangat sensitif dan emosional, padahal Al hanya mengatakan perkara sepele.

Al masih membujuk Mona. "Maafin aku ya."

"Aku enggak suka ya kamu sebut-sebut nama Syafa di depan aku. Hargai perasaan aku dong, Al. Heran deh, apa jangan-jangan kamu udah mulai jatuh cinta sama Syafa?!"

Al langsung menertawakan Mona saat itu juga, bahkan tawa itu terus berlanjut saat wajah Mona semakin cemberut. Laki-laki itu kemudian menatap Mona dengan tatapan mengintimidasi. "Kalau kamu selalu kayak gini, mungkin bisa aja," ujar Al disambung dengan tawa lagi.

"Dasar laki-laki tidak pernah puas!!!"

Al langsung merangkul Mona. "Bercanda sayang, habisnya kamu cemberut terus."

"Habisnya kamu bikin aku kesel! Wanita mana sih yang mau lihat suaminya terus mikirin wanita lain!"

"Lalu bagaimana dengan Syafa? Wanita mana yang mau melihat suaminya menikahi wanita licik seperti kamu!" batin Aldebaran sebelum dia menyudahi perdebatannya dengan Mona.