webnovel

Bab 1

Di malam kali ini ruangan yang biasanya sudah kosong masih tersisa satu perempuan yang sedang duduk di kursi depan meja rias. Dengan ponsel yang di tangannya, perempuan yang bernama Renjana itu melihat layar ponsel dengan serius.

Sampai lupa jika dia harus bergegas ganti baju dan keluar ruangan untuk foto.

"Renjana.." Pintu ruangan terbuka menampakkan seorang perempuan berkardigan abu-abu tua. Menghela nafas lelah saat melihat Renjana yang masih mengenakan celana legging hitam sepaha dan tank top hitam tanpa tali dengan ponsel ditangannya.

Kemudian dia mendekat sambil menahan rasa kesalnya. "15 menit lagi kamu harus foto. Dan kamu belum ganti baju."

"Iya ini mau ganti baju." Sahut Renjana tanpa melakukan pergerakan.

Dengan gemas perempuan yang berambut sebahu itu mengambil ponsel Renjana. "Masalah pernikahan udah ada yang ngerjain Renjana, udah ada WO."

Renjana spontan memanyunkan bibirnya. "Iya. Tapi kan harus dicek juga." Dia beranjak dari kursi mengambil pakaian yang akan dipakai lalu berjalan ke bilik ganti yang berada di pojok ruangan.

"Ngerti. Tapi nggak setiap saat juga. Kamu udah puluhan kali ngecek." Balas Nara sambil memasukkan ponsel Renjana ke saku.

"Kan aku cuma mau memastikan aja." Sahut dari dalam bilik.

Perempuan yang berstatus menager itu menghembuskan nafas kesal. Percuma saja berdebat dengan Renjana yang cukup keras kepala. "Iya deh, terserah kamu. Yang penting sekarang kamu selesaiin kerjaan kamu dulu. Nanti sepulang dari kerja kamu cek sampai tua juga nggak pa pa."

Mendengar nada kesal dari sang lawan bicara membuat Renjana terkekeh. "Kak Nara kalau lagi kesel aku makin sayang." Ucapnya keluar dari bilik ganti.

"Nggak usah membual. Nggak mempan." Balas Nara dengan sedikit ketus.

Renjana kembali terkekeh menikmati wajah kesal Nara. Sebenarnya sudah 2 minggu lalu dirinya ditawari cuti oleh Nara, tapi dia menolak. Karena menurutnya dia masih bisa mengatur waktunya. Tapi ternyata kenyataan tidak seperti perkiraannya.

"Ya maaf kak. Kan ini pernikahan pertama aku." Kata Renjana yang sudah berdiri di depan cermin merapikan rambut serta dressnya.

"Emangnya bakal ada pernikahan kedua." Celetuk Nara membuat Renjana langsung membulatkan mata.

"Enak aja, amit-amit. Kak Nara kok ngomong nya gitu sih."

"Bercanda Na." Ucap Nara menatap perempuan itu lewat cermin. "Nanti kalau udah jadi istri jangan lupa sama aku ya." Langkahnya mendekat membenarkan rambut Renjana yang tersangkut di dress.

Spontan Renjana tersenyum mendengar penuturan Nara. "Pastilah. Kan aku juga nggak berhenti jadi model tersayangnya Kak Nara. Agam juga nggak ngebatesin aku untuk berkarir."

Nara ikut tersenyum dan berkata. "Aku berdoa supaya kamu sama Agam bisa hidup bahagia. Rumah tangga kalian nanti bisa langgeng sampai akhirat."

"Aamiin." Sahut Renjana dengan senyum merekah.

"Assalamualaikum." Salam seseorang berjilbab bergo cream yang membuka pintu.

"Waalaikumsalam." Jawab keduanya.

"Mbak Renjana udah dipanggil." Ucap perempuan berjilbab itu sambil menaruh kresek yang terlihat berisi makanan ke atas meja dekat sofa.

"Revaaa, ke mana aja sih. Lama banget. Renjana kamu tinggal nggak ganti-ganti baju tuh." Gerutu Nara.

"Maaf mbak. Tadi antri panjang martabaknya." Balas Reva menunduk takut.

"Jangan marah-marah Kak Nara. Tadi aku juga yang nyuruh." Kata Renjana sebelum akhirnya keluar dari ruangannya bersama Nara yang mengikuti dari belakang.

***

Tepat pukul 22.00 tadi, pekerjaan Renjana telah selasai. Saat ini dia sedang bersama sang pujaan hati yang sudah datang 30 menit sebelumnya. Laki-laki itu datang mengenakan kaos putih polos dengan outer kemeja hitam putih kotak-kotak. Serta celana jeans biru tua.

Dengan wajah tampannya yang tak diragukan lagi. Beberapa pengunjung perempuan yang di restoran mencuri-curi pandang. Apalagi ketika laki-laki itu menyisir rambutnya ke belakang. Membuat mereka enggan untuk berpaling.

"Iiihh, apaan sih mereka. Lirik-lirik kamu terus." Renjana cukup kesal melihat tatapan memuja dari beberapa perempuan di sana. Dirinya baru saja selesai makan.

Jika bukan karena lambungnya butuh asupan, dia tidak akan mampir ke restoran dan mendapati pemandangan yang sangat tidak menyenangkan. Bisa saja dia memilih untuk pulang, tapi resikonya lambungnya yang akan demo.

Renjana adalah tipikal orang yang tak bisa melewatkan makan. Dia juga memiliki keistimewaan berat badan yang stabil. Entah kenapa mau sebanyak apapun dia makan, berat badannya tidak menambah. Kendati begitu, dia tetap berolah raga ringan seperti jalan pagi saat waktu senggang.

"Apasih sayang, nggak usah marah-marah gitu. Lagian aku juga nggak ngerespon mereka." Ucap Agam dengan lembut.

"Tetep aja. Aku nggak mau kamu ditatap gitu sama mereka." Balasnya cemberut.

"Yaudah sih, mereka kan cuma bisa natap. Yang miliki kan, kamu."

Mendengar ucapan Agam tentu saja membuatnya tersipu. Terbukti kedua pipinya yang memerah malu. "Dih. Nggak usah diomongin juga."

"Kan emang bener." Melihat pipi Renjana yang merona memunculkan ide untuk menggoda perempuan itu. "Pipi kamu masih ada blush on nya ya? Kok merah." Sebelah tangannya terangkat mengusap pipi Renjana sembari menahan senyum.

Refleks Renjana menggeleng cepat. "Enggak." Sebenarnya dia juga tau jika Agam sengaja menggodanya. Tapi mendadak dia dilanda kegugupan yang menyerang keseluruh tubuhnya.

Melihat respon sang pujaan hati membuatnya tak bisa menahan senyum. Tangan yang semula dipipi, kini beralih ke kepalanya. Dia mengusap lembut sambil berkata. "Kamu lucu kalau lagi salting."

Ucapan itu langsung mendapatkan cubitan di pinggang Agam. Laki-laki itu mengaduh dengan tangan yang mengusap pinggang. "Aduh, belum apa-apa kok udah KDRT aja."

"Habisnya kamu nyebelin sih." Ucap Renjana dengan cemberut.

"Maaf-maaf." Balas Agam sambil tersenyum manis. "Yaudah, sekarang pulang aja yuk. Nanti papa kamu nyariin." Renjana mengangguk cepat. Dia sampai lupa jika papanya adalah seorang ayah yang cukup protektif.

***

Sebagian besar orang mungkin akan bertanya padanya kenapa memilih untuk menikah di usia yang masih muda. Apalagi karir yang sedang bagus-bagusnya. Kemungkinan jika itu orang lain pasti akan memilih untuk menikah nanti-nanti dulu. Tapi nyatanya Renjana bukan memprioritaskan karir sebagai tujuan utama. Karir memang sangat penting, tapi kehidupan pribadinya juga penting. Jadi menurutnya, jika memang sudah yakin dengan pilihannya kenapa tidak disegerakan saja. Toh berkembang bersama orang tercinta juga lebih bagus. Jadi keduanya bisa saling mengenal lebih jauh lagi.

Dan menurut Renjana, Agam orang yang baik, laki-laki itu juga perhatian, penyayang, bertanggung jawab. Serta memiliki paras rupawan tentunya.

Bagi Renjana, Agam adalah paket komplit. Perempuan itu sangat mencintainya begitupun sebaliknya. Mereka bertemu pertama kali di bangku SMA. Berkenalan dari teman ke teman namun lost contact setelah lulus. Kemudian kembali komunikasi saat kuliah. Pertemuan itu juga tidak disengaja karena papa dari Agam adalah rekan kerja papanya. Sampai akhirnya mereka dekat dan memutuskan untuk menuju ke hubungan serius.

Alasan itu juga yang membuat Renjana semakin yakin. Dia sudah cukup lama mengenal Agam, jadi tidak ada keraguan lagi untuknya memutuskan menikah.

"Sudah sampai." Ucap Agam saat mobilnya berhenti di depan gerbang rumah Renjana.

Perempuan itu tersenyum manis. "Makasih udah mau jemput dan anter." Renjana menatap Agam dengan tulus.

"Sama-sama sayang." Tangan Agam membelai lembut pipi kekasihnya.

Kemudian keduanya keluar dari mobil. Agam berjalan dan berhenti di samping pintu penumpang. Lebih tepatnya membelakangi.

"Masuk gih." Ucapnya dengan tangan Renjana yang masih dalam genggaman.

"Hm." Gumam perempuan dihadapannya.

Renjana menatap lembut Agam. Seolah menunjukkan betapa bahagianya dia bersama laki-laki itu. "Selamat beristirahat."

"Selamat beristirahat juga." Balas Agam.

"Nyetirnya hati-hati. Jangan ngebut-ngebut. Kalau udah sampai kabarin aku."

"Iya sayang..."

"Aku masuk yaa." Agam mengangguk pelan. Tapi perempuan itu sama sekali tak ada pergerakan. Renjana justru semakin mengeratkan genggaman dengan masih betah menatapnya.

Tingkah itu membuat Agam terkekeh. "Katanya mau masuk?"

"Iya ini mau masuk kok." Ucap perempuan itu dengan wajah menggemaskan.

"Yaudah sana." Tangan Agam sudah mengendurkan genggaman, tapi tangan Renjana tak mengendur sedikitpun.

"Aku masuk ya?" Kata Renjana.

"Hm." Sekali lagi Agam mengangguk.

"Beneran nih?"

"Iya Renjana." Laki-laki itu menahan senyum karena tingkah menggemaskan Renjana.

"Mau peluk dulu." Bukannya masuk, Renjana justru memeluknya erat. Menghirup aroma parfum Agam yang sangat disukainya. Rasanya enggan untuknya melepas pelukan itu.

"Habis ini langsung bersih-bersih terus tidur." Pesan Agam sambil mengusap lembut kepala Renjana.

Perempuan itu hanya mengangguk tanpa bersuara. Terlihat jelas jika dia begitu nyaman.

"Udah ah. Nanti papa muncul loh. Ntar dimarahin."

"Bentar lagi. 5 detik."

Agam hanya bisa pasrah. Apalagi pelukan perempuan itu semakin erat. Dalam diam dia tersenyum. Membayangkan bagaimana kehidupan pernikahan mereka nantinya. Pasti akan ada berbagai hal yang akan mereka hadapi. Dan tentunya akan ada hal-hal manis yang tak terduga.

"Udah yuk. Di sini dingin sayang."

"Yaudah iya." Dengan posisi masih setengah memeluk Agam, Renjana sedikit mendongak karena tingginya hanya sedagu laki-laki itu.

"Kenapa?" Tanya Agam saat mendapati tatapan lekat dan dalam dari kekasihnya.

Renjana hanya tersenyum tanpa menjawab. Yang tentunya membuat Agam penasaran. "Pasti lagi ngomong dari hati kalau aku tuh ganteng banget." Ucapnya dengan nada bercanda.

Spontan perempuan dalam dekapannya tertawa pelan. "Itu termasuk sih. Tapi lebih tepatnya, aku merasa bersyukur banget bisa kenal kamu. Bisa ketemu kamu. Bahkan sebentar lagi kita bakal nikah. Itu buat aku ngerasa beruntung banget."

Agam otomatis tersenyum mendengar perkataan Renjana. "Aku yang jauh lebih beruntung. Terima kasih sudah mau menerima dengan semua kekurangan yang aku punya."

"No." Renjana menggeleng cepat. "Justru banyak kelebihan yang kamu punya yang akhirnya bisa menutupi kekuranganku. Seperti sifat kekanakanku yang terkadang berlebihan." Ujarnya sedikit merasa bersalah.

"Nggak masalah. Karena itulah kamu. Aku suka kamu karena itu kamu. Dengan semua sifat-sifat ajaibmu."

Mendadak perut Renjana seperti ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan. Dia sampai tak mampu berkata-kata lagi. Begitupun Agam yang setia memandangi Renjana dalam diam.

Dari kedua alis lalu kedua mata, turun ke hidung, kedua pipi yang merona. Sampai pada bibir yang berwarna pink alami itu. Agam memandangnya cukup lama, lalu detik berikutnya entah apa yang merasukinya, perlahan wajahnya mendekat.

Dan tanpa peduli suara detak jantung keduanya yang saling bersahutan, Renjana justru perlahan memejamkan mata. Seolah menyambut apa yang akan terjadi.

Hingga di jarak yang sedikit lagi, suara khas seseorang terdengar dari dalam rumah. "He!"

Refleks sepasang kekasih tersebut saling menjauh, keduanya terlihat salah tingkah sekaligus takut saat tau siapa pemilik suara itu.

"Ngapain itu?! Enak aja. Malem-malem begitu di depan rumah. Bukannya masuk malah berduaan di sini."

Orang itu adalah Gara. Papanya Renjana. Orang pertama yang selalu jadi garda terdepan untuk putrinya. Siapapun yang macam-macam dengan Renjana, harus berhadapan dengannya dulu. Jika harus diceritakan kembali, dulu saat Agam berniat melamar Renjana, butuh keberanian 1000 % untuk berhadapan langsung dengan Gara.

"Kamu juga, ini udah jam berapa? Bukannya pulang malah diem di sini." Ucapnya memarahi Agam.

"I—iya om, maaf. Ini juga mau pulang kok." Balas Agam gugup.

Gara berdiri di depan Renjana. Seperti seorang raja yang melindungi sang putri tercinta. "Yaudah sana."

Agam kemudian pergi, tapi sebelum itu dia mencium tangan Gara sebagai tanda menghormati. Dan mencuri-curi pandang ke belakangnya berniat untuk melihat calon istri sebelum pergi.

"Nggak usah curi-curi pandang." Tegur Gara.

Agam tersenyum malu. "Iya om, maaf. Assalamualaikum." Salamnya sebelum pergi masuk ke mobil.

"Waalaikumsalam." Jawab anak dan ayah itu.

Setelah mobil Agam melaju, Gara berbalik dan mendapati putrinya senyum-senyum sendiri. "Ngapain senyum-senyum?"

Renjana langsung tersadar lalu menggeleng cepat. "Enggak. Nggak pa pa." Dia berusaha menahan senyumnya.

"Belum sah, nggak usah macem-macem. Dasar anak muda jaman sekarang."

"Papa juga pernah muda, kan." Renjana mendongak menatap polos papanya.

"Tapi papa nggak begitu ya. Papa sama mama dulu nggak ada pegangan tangan, nggak ada pelukan. Pandangan aja di jaga."

"Itu kan jaman dulu, masih kuno."

"Bukan kuno, tapi menjauhi larangan Allah." Renjana langsung bungkam. "Udah ayo masuk. Udaranya dingin." Gara merangkul Renjana membawanya masuk setelah mengunci gerbang.

"Mama udah tidur?"

"Udah. Tadi habis nonton drama korea yang kamu usulin. Nangis nggak berhenti mama. Papa sampai bingung lihatnya. Apalagi pas mama marah-marah nggak jelas karena si pemerannya putus. Masa papa yang dimarahin."

Renjana tertawa lepas mendengar cerita papanya. Kedua orang itu berjalan masuk ke dalam rumah sambil bercerita. Gara yang terus menunjukan kekesalannya sedangkan Renjana yang menikmati itu dengan tawa.

Terlihat dengan sangat jelas kedekatan mereka. Selayaknya seorang ayah dengan putrinya. Kasih sayangnya begitu terasa saat mendengar bagaimana cara Gara berbicara pada Renjana. Bagaimana cara Gara sesekali memandang putrinya. Begitu juga saat Renjana memeluk papanya dengan erat. Menyandarkan kepala pada dada Gara dengan nyaman.

Siapapun pasti juga ingin berada diposisi itu. Karena setiap anak perempuan pasti menjadikan ayahnya tempat ternyaman. Meski sebagian anak tidak berpikiran sama karena satu dan lain hal.

Next chapter