webnovel

Anak Dari Wanita Selingkuhan

"Sebelum nya saya turut berbelasungkawa atas kepergian Almarhumah Maya. Saya sangat kaget saat mendengar kabar ini dari Yati dan saya baru bisa sampai kesini hari ini dari Jakarta."

Lagi-lagi aku hanya bingung. Siapa bapak ini?

"Risha, apa Mama mu pernah menceritakan tentang Papa mu?" tanya bapak itu kepada ku.

Aku mengangguk. "Iya, papa saya sudah meninggal sebelum saya lahir," jawabku. Ekspresi bapak itu sangat datar hingga aku tidak dapat mengartikan nya.

"Nak ... papa mu masih hidup, dia belum meninggal."

Hah?

Sontak mulut ku menganga. "Benar Pak, saya memang tidak pernah bertemu Papa saya dari dulu, saya juga tidak mengetahui bagaimana wajah nya."

Aku dapat melihat bapak itu nampak bersedih mendengar ucapan ku.

"Risha ... sebenar nya papa ikam masih ada, belum meninggal," jelas Acil Yati kepada ku.

"Maksudnya, Cil? Ulun kada paham," (Maksudnya Bi? Saya gak paham) lirih ku.

"Aku papa mu. Dulu Papa meninggalkan Mama mu karena istri pertama Papa tahu kalau Papa berselingkuh dengan Mama mu. Istri Papa sangat marah, dan Papa juga merasa sangat bersalah. Saat itu Mama mu tidak mengetahui kalau Papa sudah beristri, dan dia juga sangat marah kepada Papa saat mengetahui nya. Mama mu meminta cerai saat itu juga, dan kami berpisah. Papa bertemu dengan Mama mu di sini saat dulu Papa memiliki urusan bisnis yang cukup lama dan membuat Papa harus tinggal hingga lima bulan disini."

Bapak itu berhenti bercerita. Sepertinya dia merasa berat menceritakan ini. Dapat ku lihat dari mata nya yang sudah berkaca.

"Beberapa kali sudah Papa mencari mu dan Mama mu untuk meminta maaf, tapi Papa tak pernah berhasil karena tempat tinggal kalian tak pernah Papa ketahui. Istri Papa yang di Jakarta juga tidak pernah mengizinkan lagi Papa kesini. Bahkan hari ini pun Papa pergi diam-diam tanpa memberitahu siapapun. Papa tau tempat tinggal mu sekarang ini dari Yati."

Aku terpaku tak dapat berkata-kata. Sosok ayah yang selama ini aku kira telah tiada kini datang kepada ku. Ku alihkan pandangan ku kepada Acil Yati yang mata nya juga sudah berkaca-kaca sepertiku.

"Yang di sambat sidin itu bujur Sha. Ikam memang anak sidin. Mama ikam memang merahasikan nya lantaran takutan kalopina ikam dibawa sidin ke Jakarta." (Yang di katakan beliau itu benar Sha. Kamu memang anak beliau. Mama kamu memang merahasiakan nya karena takut kalau kamu dibawa beliau ke Jakarta) jelas Acil Yati meyakinkan ku.

"Acil membari tahu sidin kalau ikam ada disini karena mungkin ini sudah waktu nya. Dua hari lagi Acil harus bulik ke Arab, kena siapa yang menjaga ikam disini?" (Bibi memberi tahu beliau kalau kamu ada disini karena mungkin ini sudah waktu nya. Dua hari lagi Bibi harus balik ke Arab, nanti siapa yang menjaga kamu disini?)

"Jadi Sha, tujuan Papa kesini untuk mengajak kamu tinggal dengan Papa di Jakarta. Insya Allah hidup kamu akan terjamin disana."

Aku terpaku. Sampai sekarang aku masih tidak dapat percaya. Bahkan Adnan pun seperti nya juga begitu, dia juga berekspresi syok seperti diriku.

"Papa ingin menebus segala kesalahan Papa di masa lalu. Papa ingin memberikan kamu segenap kasih sayang Papa yang selama ini tidak kamu dapatkan. Maafkan Papa nak.."

Bapak itu mendekat kearahku dan memeluk ku begitu saja, aku pun tidak mencegahnya. Dapat ku rasakan hangat nya pelukan nya. Beginikah rasanya di peluk Papa?

Tanpa aba-aba air mata ku jatuh menjadi gambaran bagaimana perasaan ku sekarang. Sedih, senang, haru, ketiganya seperti bercampur aduk mengisi hati ku. Aku sedih karena Papa baru datang sekarang dan selama ini Mama tidak jujur kepada ku. Aku senang karena akhirnya fakta terungkap. Aku terharu karena sekarang aku tengah merasakn bagaimana rasa nya dipeluk seorang ayah.

"Maafkan Papa nak..," ucap Papa dengan suara nya yang parau. Tangisan sesal nya terdengar mencekat. Tak dapat dipungkiri, dari gurat wajah nya ada kemiripan dengan ku. Di peluknya pun aku merasa nyaman. Aku menjadi semakin yakin kalau dia benar benar adalah.. Papa ku.

***

Icha, Gita, Fani, Citra dan teman sekelas ku yang lain nya saat ini tengah berkumpul dirumah ku setelah beberapa saat Nanta pulang. Rupanya Nanta yang memberitahukan mereka semua kalau kemungkinan besar aku akan pindah ke Jakarta. Mereka semua sahabat ku. Begitu mengetahui aku akan pindah, mereka semua langsung kesini dan memelukku dari berbagai arah. Aku bahkan sampai terkejut, karena mereka memelukku langsung sambil menangis.

"Sha ... jangan pindah," lirih Gita setelah dia melepaskan pelukkan nya.

Aku pun berusaha tersenyum pada nya meskipun air mata ku juga menetes seperti mereka sekarang.

"Ini sudah takdir Ta, aku sama sekali kada menyangka jua bakalan pindah. Disini aku kadeda bisi siapa-siapa lagi," (Ini sudah takdir Ta, aku sama sekali gak menyangka juga bakalan pindah. Disini aku gak ada punya siapa-siapa lagi) jawab ku lirih.

"Sha jangan bepandir kaitu.. Kami keluarga ikam jua..," (Sha jangan ngomong gitu.. Kami keluarga kamu juga..)

"Iya Sha, bener yang dibilang Icha. Kami juga keluarga kamu. Meskipun aku baru temenan sama kamu, bahkan belum sampai setahun sejak aku pindah sekolah kesini, tapi kamu adalah temen terbaik ku. Aku gak bisa ikhlas kalau kamu pergi ninggalin kita. Kalau kamu mau, kamu boleh tinggal dirumah ku Sha, sekamar sama aku, aku anak tunggal, gak punya sodara, kamu bisa temenin aku, tinggal bareng aku ya Sha.." Fani berbicara panjang lebar dengan air mata yang tak berhenti mengalir di pipi nya. Sepupu Adnan yang baru pindah sejak awal masuk SMA ini memang salah satu sahabat dekat ku.

Aku semakin tak mampu membendung air mata ku yang selalu saja ingin tumpah.

"Dirumah ku boleh jua Sha, Kada perlu pindah jauh-jauh," (Dirumah ku boleh juga Sha, gak perlu pindah jauh-jauh,) ujar Gita juga membujukku.

"Ya Allah baik nya kekawanan ku.. Tapi aku kada kawa, kita tetap bekawan jua walau jauh." (Ya Allah baiknya teman-teman ku.. Tapi aku gak biaa, kita tetap temenan kok walau jauh)

"Kita semua bakal ngerasa ada yang kurang terus kalo kamu gak ada Sha.."

Air mata ku kembali tumpah. Aku sayang mereka. Aku sayang sahabat-sahabat ku. Mereka adalah sahabat terbaik yang ku punya. Bahkan beberapa waktu lalu kami sudah menyusun berbagai agenda proses hijrah kami agar bisa kami tempuh bersama. Lalu sekarang apa? Kenapa ini semua harus terjadi? Baru sebentar aku mulai berhijrah ujian nya sudah begitu berat. Rasanya aku ingin menyalahkan takdir ini.

***

Bersambung.