7 Tulus Atau Hanya Sandiwara

Matahari telah bersinar terik sepagi ini, membuat Adel semakin balas untuk berangkat ke sekolah. Semenjak kemarin sore, mood-nya sangat buruk. Bahkan ia berpikir ingin bolos kelas saja.

Akan tetapi kakaknya selalu berteriak memanggil namanya untuk segera berangkat, alhasil rencana Adel bolos kelas gagal karena Arka yang bersikeras mengantarnya masuk ke kelas.

"Pagi, Del!" suara lembut seorang laki-laki menyapa dirinya membuat Adel menghembuskan napas malas.

"Kamu kenapa?" tanya Daffa saat menyadari kekasihnya ini sedang dalam mood yang buruk, bahkan sapaan darinya tidak  dijawab oleh gadis itu.

"Kemarin kamu pulang jam berapa?" tanya Adel.

Daffa diam sejenak seolah mengingat tepatnya jam berapa ia pulang ke rumah.

"Aku lupa, mungkin sekitar jam lima," jawab Daffa. 

Adel tersenyum miris, jelas-jelas kemarin Bianca mengirimkan foto mereka sedang makan malam bersama Daffa dan mereka berdua masih menggunakan seragam sekolah. Berarti laki-laki ini berbohong kepada Adel.

"Kenapa? Mau aku anter hari ini?" tawar Daffa yang langsung dijawab gelengan kepala oleh gadis itu.

"Aku ke kelas dulu ya, nanti aku jemput pas istirahat. Kita ke kantin bareng!" ucap Daffa. Laki-laki itu melambaikan tangan kepada Adel.

Kelas mereka berlainan arah membat Adel dan Daffa berpisah di tengah jalan.

Gadis itu acuh dan segera melanjutkan langkah kakinya menuju kelas. Masih banyak hal yang harus ia lakukan, bahkan laporan kegiatan pentas seni kemarin saja belum ia selesaikan.

"Gimana laporannya?" gadis itu kembali menoleh ke samping kanannya saat mendengar suara laki-laki lain di sana.

"Belum," Jawab Adel singkat.

"Nanti istirahat gue bantu buat!" ucap lagi laki-laki itu.

"Gue bisa kerjakan sendiri, jangan ganggu hidup gue!" 

"Del, kalau soal laporan kegiatan itu kepentingan organisasi! Tolong jangan bawa masalah pribadi ke dalam urusan organisasi." Gadis itu menghelas napas kesal mendengar ucapan laki-laki itu.

Langkah kakinya berhenti, ia menoleh dan menatap manik elang laki-laki di hadapannya yang juga ikut menghentikan langkah.

"Iya, Revan. Gue tahu, tapi gue bisa kerjain itu sendiri, siang ini gue kirim laporan itu ke, Lo!" ucap Adel tajam, gadis itu melenggang pergi meninggalkan Reavan yang masih mematung di tempat. Sangat sulit baginya untuk meluluhkan hati gadis itu.

Lina telah duduk di bangkunya dan sibuk menulis di buku tulisnya.

"Hai, Adel. Lo udah ngerjain tugas matematika? Kalau sudah aku pinjam," tanya Lina langsung pada intinya.

Adel telah selesai mengerjakan tugas itu sejak tempo hari karena matematika dari adalah pelajaran favoritnya. Namun gadis itu dengan baik hati mengeluarkan buku tulis matematikanya dan menyerahkannya kepada Lina.

sedangkan Lina bersorak girang saat melihat soal-soal di buku tulis Adel yang telah dikerjakan semua oleh gadis itu.

"Lo, masih galau?" tanya Lina saat melihat sahabatnya itu hanya diam memandang keluar jendela favoritnya.

"Apa perlu gue labrak si Bianca saat ini juga?" ucap Lina langsung berdiri ingin segera menghampiri gadis itu, Adel segera menarik tangan Lina untuk segera duduk. Ia tidak ingin membuat keributan di lingkungan sekolah.

"Ssstttt, Lina duduk!  jangan bikin keributan di sekolah!" ucap Adel.

"Gimana bisa gue diam aja kalau temen gue di khianati di hari keduanya jadian?" jawab Lina dengan suaranya yang keras membuat Adel segera membungkam mulut Lina.

"Astaga, suaramu itu loh, tolong dikendalikan! Sudahlah, lo santai aja, gue sendiri yang akan bikin perhitungan, tidak cuma sama Bianca, tetapi juga dengan Daffa. Gue cuma penasaran, sampai mana permainan ini akan ia teruskan!" Lina baru bisa tenang saat mendengar ucapan Adel barusan.

"Lo yakin?" tanya Lina memastikan. Adel mengangguk mantap sebagai jawaban.

***

DING DONGG

Suara bel istirahat telah berbunyi, guru yang mengajar di kelas telah merapikan buku-bukunya dan pergi meninggalkan kelas.

"Akhirnya, pelajaran memusingkan ini selesai juga," ucap Lina yang membuat Adel terkekeh geli. Gadis itu memang sangat tidak menyukai matematika, berbeda dengan dirinya yang sejak kecil telah menyukai perhitungan.

"Ayo buruan ke kantin, setelah otakku memikirkan pelajaran yang isinya cuma angka satu sampai sepuluh ini bikin perut gue keroncongan."

Adel mengangguk sembari tertawa mendengar ucapan Lina.

"Makanan mulu yang ada di otak, Lo." 

"Iya dong, siapa pula yang pusing mikirin makanan enak." 

Adel geleng-geleng kepala mendengar ucapan dari Lina, akhirnya mereka berdua beranjak dari kursi dan berjalan keluar kelas hendak pergi ke kantin.

"Hai, Del. Mau ke kantin? Bareng yuk!" seorang laki-laki telah menunggu Adel di depan pintu kelas. Seketika Lina menoleh pada Adel dan minta penjelasan.

"Lo duluan aja, Lin!" ucap Adel membuat gadis itu menghela napas pasrah dan segera melenggang pergi sebelum menatap Daffa dengan lirikannya yang tajam.

"Dia kenapa?" tanya Daffa pada Adel saat ia kaget menerima lirikan tajam dari Lina.

"Gak papa, lupakan!" jawab Adel.

"Yuk ke kantin!" ajak Daffa.

"Gue nggak laper," 

"Terus kemana? Mau jalan-jalan aja? Yuk aku temenin!" 

Gadis itu telah melangkah terlebih dahulu dan diikuti oleh Daffa.

Kaki mereka melangkah perlahan menuju taman sekolah, tidak ada yang mengeluarkan suara. Keheningan menyelimuti mereka.

"Bunga ini cantik, kayak kamu." 

Daffa memberi sebuah bunga mawar putih yang entah kapan ia petik dari tangkainya. Adel tersenyum menerima bunga itu.

Rasa kesal di hati Adel pada Daffa seakan meluap ketika ia menatap bunga mawar putih itu, putih berarti suci. Mungkinkah cinta Daffa sungguhan tulus dan suci, atau laki-laki itu hanya bersandiwara di depannya.

"Ini buat kamu!" Adel menoleh pada Daffa, laki-laki itu memberi sebatang coklat pada Adel. Tentu saja gadis itu dengan antusias menerima coklat dari Daffa.

"Kamu tahu dari mana aku suka cokelat?" tanya Adel heran.

"Cuma nebak sih, biasanya cewek kalo lagi bad mood suka makan cokelat," jawab Daffa.

Adel terkekeh mendengar jawaban itu, semudah itukah laki-laki ini membaca isi hatinya.

"Lagian kamu belum makan, 'kan? Lumayan buat ganja perut," tambah Daffa.

Gadis itu segera membuka bungkus coklat dan segera melahapnya.

Suasana tidak lagi hening, Daffa berhasil mencairkan suasana dan membuat Adel kembali tertawa dan banyak bercerita tentang banyak hal.

"Kamu beneran bisa masak?" tanya Adel. Pembahasan mereka telah berganti tentang seputar makanan dan masakan.

"Tentu saja, jangan meremehkan aku! Aku bisa masak soto lamongan, seblak, ayam geprek bahkan rendang, semua bisa aku masak," ucap Daffa membanggakan diri.

"Wow, kamu benar hebat Daf, aku saja nggak bisa masak makanan itu, apalagi rendang," balas Adel.

"Kamu beneran gak bisa? Gampang loh!"

"Emang iya? Aku gak yakin kamu bisa masak makanan-makanan itu," Adel menaikkan sebelah alisnya belum bisa percaya dengan kemampuan laki-laki itu.

"Emang apa susahnya, aku masak makan-makanan itu dalam bentuk mie instan. Tinggal rebus masukkan bumbu sudah siap."

Tawa Adel pecah saat mendengar ucapan Daffa, padahal gadis itu hampir saja percaya dengan kemampuan memasak laki-laki itu. Namun ternyata ia hanya bergurau.

Di kejauhan terlihat seorang gadis bersurai maron yang melihat kedekatan Daffa dan Adel, tangan gadis itu mengepal kuat.

"Rencana gue gagal, lihat saja pembalasan gue, Adel!"

avataravatar
Next chapter