5 Hari Pertama Jadian

"Gimana?" 

Adel mengerutkan keningnya saat mendengar pertanyaan dari Lina, apa maksud temannya itu ia tidak mengerti.

"Ngomong yang jelas!"

"Maksud gue, gimana? Lancar kan hubungan lo sama pacar baru." Adel menghembuskan napas pelan.

"Baru saja kemarin," 

"Gue gak nyangka kalo lo bakalan terima cintanya Daffa," Lina yang duduk semeja dengan Adel berkata. Saat ini guru pelajaran pertama belum datang membuat mereka bebas mengobrol, bahkan ada teman Adel yang tertidur sepagi ini.

"Gue saja juga nggak nyangka, Lin."

"Ya ampun, jangan-jangan lo gak suka sama dia, tapi lo terima aja gitu?" ucap Lina.

"Anggap saja, cinta gue belum tumbuh." Lina tertawa mendengar jawaban Adel.

"Semoga saja lekas tumbuh, kasian banget tuh anak kalo cuma lo php-in." Adel tersenyum simpul mendengar ucapan Lina. Sebenarnya dirinya sendiri tidak yakin. Tetapi tidak ada salahnya untuk mencoba menerima cinta dari Daffa, siapa tahu laki-laki itu bisa mengisi hari-harinya yang hampa.

Jam kosong, menjadi surganya para murid. Setelah menunggu lama tidak ada guru yang datang, salah seorang murid membawa kabar jika guru sedang melakukan rapat, membuat para murid bersorak senang begitu juga dengan Adel dan Lina.

Kelas menjadi lengang karena teman-teman sekelas Adel banyak yang pergi ke kantin, padahal jam istirahat masih tiga puluh menit lagi. Efek dari jam kosong, mereka berani pergi ke kantin sebelum istirahat.

"Ke kantin gak?" tanya Lina, sejak tadi gadis itu menatap Adel yang sibuk membaca novel di tangannya.

"Belum jam istirahat."

"Yaelah, anggota OSIS bolehlah bandel dikit." Adel tertawa mendengar ucapan Lina, bukan karena menjadi anggota OSIS yang membuat Adel belum ingin pergi ke kantin. Akan tetapi novel yang sedang ia baca sedang seru-serunya.

"Hai," Suara seorang laki-laki menghentikan percakapan Lina dan Adel.

"Hai, Daffa." Justru Lina yang menjawab sapaan laki-laki itu. Sedangkan Adel hanya  tersenyum manis menatap wajah tampan Daffa yang berada di hadapannya.

"Kalian gak ke kantin?"

"Bentar lagi ke kantin, nungguin si kutu buku ini habisin novelnya." Adel menoyor kepala Lina yang seenaknya saja berbicara, walaupun benar apa adanya perkataan temannya itu.

"Kalau gitu gue duluan aja ya ke kantinya," Lina beranjak dari tempat duduknya.

"Ehh, nggak barengan aja?" tanya Adel.

"Enggaklah, nggak mau aku jadi obat nyamuk. Hahaha," tawa gadis itu memenuhi ruang kelas yang sepi. Lina segera berjalan menuju kantin seorang diri meninggalkan Adel dan Daffa sendirian di dalam ruang kelas.

Laki-laki itu duduk di kursi depan Adel membuat mereka berdua berhadapan.

"Lagi baca apa?"

"Ini novel karyanya Tere Liye," 

"Kamu suka baca karyanya Tere Liye?" Adel menggangguk sebagai jawaban.

"Gimana kabarnya Si Babi Hutan? Sudah nikah sama Maria?" tanya Daffa setelah ia melirik buku di tangan Adel yang tertulis "Bedebah di Ujung Tanduk" di sampulnya.

"Wow, kamu baca cerita Si Bujang?" tanya Adel antusias. Ia tidak menyangka jika Daffa tahu serial buku favoritnya.

Mereka berdua tenggelam dalam pembicaraan tentang novel yang sedang dibaca Adel, kadang mereka tertawa karena pembicaraan mereka yang lucu, kadang juga mereka berbicara dengan serius karena cerita yang ia bahas sedang dalam masa yang menegangkan.

Dari kejauhan seorang laki-laki melihat mereka berdua yang sedang asik mengobrol, ia tidak suka jika melihat Adel bersama laki-laki lain. Tangannya mengepal ingin sekali menonjok wajah Daffa.

"Hei, ngapain di situ?" Lina melihat Revan yang berdiri di depan kelas.

"Cuma kebetulan lewat," jawab Revan yang langsung melenggang pergi dari depan pintu kelasnya. Lina melongok ke dalam kelas dan mendapati Adel dan Daffa yang sedang asik berbincang.

"Oi, kalian gak laper?" teriak Lina dari ambang pintu mebuat kedua pasang mata menoleh ke arahnya.

"Ehh, iya. Sudah bel istirahat ya ini tadi?" ucap Adel.

"Sudah dari tadi, Nona!" jawab Lina yang membuat Adel dan Daffa tertawa geli.

Adel dan Daffa tidak menyadari jika bel istirahat telah berbunyi lima belas menit yang lalu, akhirnya mereka beranjak dan pergi ke kantin bersama. Lina hanya menggelengkan kepalanya melihat sepasang kekasih baru itu, saat ini Adel dan Daffa berjalan beriringan menuju kantin yang ramai.

Lina berjalan di belakang mereka berdua, gadis itu menghembuskan napas pelan menatap punggung Adel dan Daffa yang bersisian. Membuat gadis itu menoleh ke sampingnya yang kosong.

"Apalah daya orang jomblo, gak punya gandengan," gumam Lina seorang diri.

"Lo ngomong apa, Lin?" tanya Adel menoleh.

"Bukan apa-apa, lupakan!" Adel kembali menatap lurus ke depan dan melanjutkan perbincangannya dengan Daffa. 

Tak lama mereka telah sampai ke kantin, Daffa menyuruh Adel untuk berjalan lebih dulu agar mendapat antrian terlebih dahulu. Banyak pasang mata yang menatap mereka berdua, mereka adalah pasangan baru yang terkenal karena Daffa menembak Adel di saat pesta ulang tahun sekolah.

"Sini aku bawain!" Daffa mengambil nampan makanan milik Adel dan membawakannya.

"Perlakuannya manis banget, ya ampun. Dia pria idaman. Beruntung banget Adel." 

Adel tersenyum simpul saat mendengar bisikan salah seorang murid perempuan yang duduk di kursi tak jauh dari tempatnya berdiri.

Daffa menghentikan langkahnya, bingung karena meja dan kursi telah penuh. Mereka tidak memiliki tempat untuk duduk.

"Di sana, Daf!" Lina menunjukkan sebuah tempat di pojokan yang masih tersisa tiga kursi, pas untuk mereka.

Kaki Daffa berjalan menuju tempat yang Lina tunjuk.

"Hai, Bro. Gue numpang duduk ya!" ucap Daffa kepada seorang laki-laki yang duduk seorang diri sedang menyantap makan siangnya.

Manik elang laki-laki itu menatap Daffa tak suka, tetapi Daffa sudah meletakkan dua nampan makanan dan sudah mendudukkan pantatnya di hadapan laki-laki itu.

"Hai, Revan. Sendirian aja nih, gue temeninlah, jangan khawatir!" ucap Lina yang baru saja datang bersama Adel. 

Lina duduk di samping Revan membuat laki-laki itu yang duduk di pojokkan merasa terjepit tidak ada jalan keluar untuk Revan. Sedangkan Adel duduk tepat dihadapannya, menatap laki-laki itu sejenak sebelum ia memalingkan muka.

"Ayo cepet dimakan!" ucap Daffa pada Adel yang langsung dilaksanakan oleh gadis itu.

Lengang. Tidak ada suara dari mereka berempat, hanya dentingan sendok yang beradu dan kebisingingan meja-meja lain yang memenuhi kantin.

"Semoga saja setelah ini jam kosong lagi," ucap Lina memecah keheningan.

"Semoga saja, aku suka jika jam kosong terus menerus," sahut Daffa melirik Adel sekilas, yang di lirik hanya tersenyum simpul.

Revan mendengus kesal mendengar ucapan Daffa, ia tahu maksud laki-laki itu jika jam kosong ia bisa berpacaran sesuka hatinya.

Ding Dong

Suara bel istirahat menggema memenuhi setiap sudut sekolah, pas sekali mereka telah menghabiskan makanan di nampan mereka masing-masing. Mereka bersama-sama keluar dari kantin.

"Del, aku duluan ya. Maaf gak bisa antar kamu sampai kelas," ucap Daffa terburu-buru lari ke kelas karena ia melihat guru mata pelajarannya telah lewat.

Gadis itu mengangguk sebagai jawaban, akhirnya ia berjalan bersama Lina menuju kelasnya yang berlawanan arah dengan kelas Daffa.

"Gue mau main dong ke rumah Lo," ucap Lina, mereka berjalan perlahan menuju kelas karena tidak ada tanda-tanda jika guru mata pelajaran mereka datang.

"Jangan! Lo Cuma mau modus sama abang gue, 'kan?" Lina tertawa karena temannya ini sudah membaca isi pikirannya.

"Yaelah, Seharusnya lo mendukung gue buat jadi kakak ipar lo, Del!" ucap Lina disela tawanya.

"Idihh,"

BRAKKK

"Akhh … "

"ADEL!" teriak Lina saat mendapat temannya itu tersungkur di lantai.

"Lo gakpapa?" tanya Lina membantu Adel untuk bangun.

Manik mata Lina menatap tajam pada seorang gadis bersurai maron yang dengan sengaja menabrak tubuh Adel hingga terjatuh.

"Lo apa-apaan, hah?" 

"Teman lo ini yang apa-apaan, jangan sok kecentilan deh jadi orang! Mentang-mentang anggota OSIS terus sok cantik."

PLAKKK

Gadis bersurai maron itu merasakan perih di pipinya karena tamparan keras dari Lina.

"Lin, stop! Jangan lakukan itu!" ucap Adel menahan sebelah tangan temannya.

Keributan di koridor sekolah ini mengundang banyak pasang mata yang menonton mereka.

"Gue gak terima lo dikatain sama dia, Del!"

"Sudahlah, biarin aja. Ayo kita pergi dari sini, banyak orang lihat, Lin!"

"Gak usah sok baik deh lo, dasar cewek kecentilan." 

Saat ini Adel tidak bisa menahan amarah di hatinya, Adel mengenal gadis bersurai maron ini. Ia siswa kelas dua belas seperti dirinya.

"Maaf ya Bi, gua gak punya urusan sama lo, dan jangan ganggu hidup gue!" ucap Adel pada gadis maron yang ia kenal bernama Bianca itu.

"Enak banget lo bilang ya, padahal lo duluan yang gangguin hidup gue."

"Sejak kapan kita deket, hah? Deket sama lo aja gue gak sudi!" ucapan Adel berhasil membuat Bianca naik pitam.

Tangan Bianca terangkat hampir saja mengenai pipi Adel sebelum sebuah tangan menahannya.

"Re-Revan."

avataravatar
Next chapter