1 Baru

Tentang sebuah kisah baru, sebuah hati penuh pemberontakkan yang perlahan mulai berdamai. Meski tak yakin bisa memaafkan secara penuh orang yang telah menyakiti, setidaknya ingatannya bisa di bujuk untuk melupakan.

Sebuah perjalanan yang mengajarkan bahwa tak selamanya keinginan bisa sejalan dengan takdir. Bukan sepenuhnya di katakan kesialan jika baik keluarga atau pun percintaannya yang gagal.

Ruben, orang yang sebelumnya asing itu mengajarkannya tentang segala hal. Mengambil peran penuh, sebagai orangtua, kakak, dan sebagai seorang kekasih sekaligus. Kebersamaan singkat mereka yang penuh kebahagiaan, perasaan tulus, dengan di bumbui oleh gairah yang meletup-letup.

Setidaknya pernah merasa di cintai dengan dekapan penuh obsesi, meski akhirnya harus pasrah mengantarkan pria itu pada pemilik aslinya.

Sudah lewat satu semester saat berita tersiar yang menayangkan pernikahan Ruben dengan Dafa yang bertabur kemewahan, penuh bahagia itu. Arka bahkan di kirimi bingkisan berupa sebuah cincin yang berbentuk liontin. Meski menyisakan rindu, Arka tak membalas ucapan apa pun setelahnya. Ia yakin mereka memahaminya, pasti tau benar jika Arka akan selalu memasang kalung itu di lehernya.

Bicara tentang persahabatan, satu dari mereka pergi karena memperjuangkan cinta. Tak ada yang salah, toh mereka memang harus terfokus pada tujuan masing-masing, kan?

Meski di rasakan jelas perbedaannya saat mereka naik ke kelas XI. Rasanya canggung, Yuda yang biasanya menjadi orang yang menerobos tantangan untuk setiap pengalaman mereka. Menjadi penantang dengan strategi serangannya saat mereka yang gencar berkelahi sewaktu SMP. Menjadi pemandu sorak di area balap liar saat pria itu bertaruh. Atau bahkan menarik dunia dewasa dengan lingkup pria itu yang terlalu brutal.

Ke seruan geng onani meper yang sudah lenyap. Bahkan Zaki perlahan menjauh saat memasuki komunitas pecinta alam yang baru sebulan di lakoni. Dirinya masih sama seperti sebelumnya. Tapi jangan tanyakan Brian yang mendadak menjadi sosok yang terlampau pendiam. Entahlah, ia tak ingin menduga-duga mengenai perasaan pria itu. Walau bagaimana pun ia sudah mewanti-wanti, tak ingin menyakiti hati Brian karena ia tau dengan pasti jika tak akan pernah lagi bisa membalas.

"Ar, ada coklat." Farhan yang mencegat, lantas mendekatkan bibirnya ke pendengaran Arka. "Dari bang Nino."

Yang sontak membuat Arka memutar bola mata. "Buat lo aja."

"Loh! Kok gitu sih, Ar?"

"Gue emang nggak doyan coklat, Han..."

Nino, pria yang menatapnya penuh kekecewaan itu di abaikan. Meninggalkan Farhan, langkahnya yang makin mempercepat saat makin jelas mendengar derap langkah kaki di belakangnya yang mengikuti.

Berbelok ke arah kelas barunya, ramai, tersenyum licik saat menyakini Nino tak akan berani se nekad itu untuk menariknya pergi.

"Huaa..." Hanya saja Arka salah perkiraan. Melupakan jika Nino mendadak lebih tak peduli pada anggapan orang lain hanya untuk mengejarnya. Bahkan tak segan memanggulnya di atas pundak layaknya karung beras. Otomatis menjadi tontonan.

Arka yang menendang-nendang kedua kakinya meronta, memukul punggung pria itu untuk membiarkannya terlepas masih gagal. Sampai kepalanya yang pening berusaha menatap seorang pria yang mematung saat Nino membawanya melewati Brian begitu saja.

"Emphh..." Kali ini belakang sekolah yang menjadi saksi tingkah amoral seorang pria yang masih menjabat sebagai ketua osis.

Pria yang menghantamkan tubuh belakang Arka di sebuah dahan pohon. Mengungkung tubuhnya dengan mencium bibir Arka habis-habisan.

Lidah yang meliuk, mengeksplor miliknya tanpa meninggalkan sedikit pun bagiannya. Sementara di saat bersamaan jemari kasar itu makin lancang mengusap tengkuknya. Membuat Arka meremang, menggelinjang dengan tanpa bisa di cegah mengeluarkan erangannya. "Eungghh..."

Bughh

Sampai Arka yang menemukan celah untuk melepaskan diri. Membalas perbuatan bejat pria itu dengan bogem mentahnya.

Menggeram kesal, napasnya yang tersengal dengan buku tangan mengepalnya yang sangat ingin menambah kesakitan pada pria yang meringis ngilu di hadapannya itu.

"Maaf, nggak sengaja." Hampir saja ia melupakan niatnya yang ingin merubah diri menjadi lebih baik. Menahan emosinya mati-matian, mengelus dada, usaha menormalkan denyut jantungnya yang memompa terlalu kencang.

"Udah mau masuk."

Sementara Nino yang mencekal pergelangannya itu semakin memancing. Pria itu menjatuhkan dahi di pundaknya sembari berbisik. "Kangen."

Ya, liburan kenaikan kelas yang cukup lama sejenak memang membuat pikiran suntuk Arka teralihkan. Meski hasil nilai katrolan masih membuatnya berkecil hati. Itu pun masih terlalu minim.

Nino yang terus menghantuinya, kali ini pun kembali gencar. Merasakan lengan berotot pria itu yang perlahan melingkari tubuhnya. Menyeruakkan kehangatan penyatuan mereka, memeluknya semakin erat.

Sungguh, bahkan sampai lewat waktu berbulan-bulan Arka masih tak bisa memahami Nino yang tiba-tiba saja berubah seratus delapan puluh derajat.

Pria yang menuduhnya menjadi penyebab setiap keburukan Brian. Tak segan mendorongnya kasar dengan umpatan sumpah serapah, hanya karena perasaan cintanya yang terpendam.

Rasanya Arka tak sedikit pun berusaha untuk menarik minat pria itu. Lantas kenapa tiba-tiba saja Nino menunduk takhluk padanya? Yang membuatnya tak habis pikir, pria itu mengorbankan diri untuk di benci oleh sang adik? Entahlah, Arka tak ingin peduli atau sekedar mencari tau.

"Lo mau di pinggir tembok?"

"Nggak, di sini aja."

Bahkan Brian hanya menyahuti ucapannya terlalu singkat. Menata tas dengan hoodie di atas meja, tubuh pria itu lantas meringkuk buru-buru memejamkan mata.

Brian tengah menjaga jarak darinya, kan? Ada apa dengan kedua bersaudara itu? Mendadak, jiwa mereka tertukar?

Sampai pandangannya teralih pada Farhan yang menoleh dengan tatapan intens menyasar Brian. Yang tak lama setelahnya di putus oleh Fahmi yang merangkul akrab.

Yang membuat dahi Arka mengernyit. Menginjak kelas XI, rupanya Farhan masih bersama Fahmi sebagai rekan semeja. Kedekatan mereka, apakah berhubungan dengan sikap Brian yang menjadi semakin dingin?

"Entah harus senang atau berekspresi lain, tapi kelas kita yang lagi-lagi di anak tirikan, Ar... Apa karna kita bekas anak didiknya pak Anton sampai para guru tak ada yang sudi menjadi wali kelas kita?"

Curhat Farhan di dalam perjalanan pulang. Pria yang sampai merengek itu lantas menjatuhkan kepalanya di sandaran kursi dalam bus. Arka yang mengacak surai belakang pria itu lantas terkekeh. "Udahlah... Kan kepala sekolah nyuruh kita sabar sampai mereka dapet guru baru."

"Sampek kapan? Kayaknya kasusnya pak Anton nggak bakalan bisa reda, deh!"

"Ya... Sampek ada guru baru yang rela jadi bagian jajaran pengajar yang udah ada."

Lantas, Arka harus menjawab apalagi? Sementara kerutan dahi Farhan makin dalam. "Tau ah, Arka mana paham... Nggak punya wali kelas itu kayak anak yang nggak dapet bimbingan dari orang tu-"

Kesalahan, Farhan yang langsung membungkam mulutnya. Memejamkan mata terlalu rapat, sembari memukul-mukul kepalanya. Perumpamaan yang diucapkannya terlalu sensitif untuk Arka.

"Maaf."

"Paan, sih? Santai aja, kali! Kan gue masih punya lo sama ibu."

Meski Arka yang tersenyum lebar sembari memeluk Farhan tak cukup bisa meyakinkan. Walau sedikit, Arka pasti merindukan keluarganya, kan?

avataravatar