webnovel

Bab 3

Di halte bus, seorang gadis duduk dengan lesu. Tubuhnya dibalut hodie yang nampak kebesaran. Sepertinya dia selalu nyaman jika menyembunyikan diri dibaliknya. Sesekali dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. Sudah jam 8 malam. 

Sejak pergi dari cafe beberapa jam yang lalu, Naura belum beranjak dari sana. Matanya merah menahan tangis walau sesekali bulir bening itu luruh. Cepat-cepat dia menyekanya, terkadang dia juga menengadah, berharap cairan itu tidak lagi turun.

Pantang baginya untuk mengeluarkan air mata di depan orang. Apalagi yang tidak dikenal.

Dia tidak mau di kasihani. Menurutnya kalau dia lemah maka orang akan mudah menginjaknya. Ketika merasa sedih, dia lebih memilih pergi ketempat sunyi, atau tempat dimana cuma ada dia seorang .

Dia sangat berharap hujan turun saat ini juga, agar bisa menangis di bawah guyuran air hujan. Setidaknya orang tidak akan tahu kesedihannya.

Banyak pertanyaan dalam benak Naura. bagaimana dia menjalani hari esok? Kemana dia harus mencari pekerjaan. Di panti banyak adik-adiknya yang membutuhkan uluran tangan darinya.

Sebagian hasil kerja Naura berikan kepada Ibu panti. 

Sekarang dia bingung harus bagaimana.

Ah, Naura ... Kenapa kamu gak pernah belajar dari pengalaman.

Ketika mobil Reyhan melewati jalanan, tidak sengaja dia melihat Naura dari kaca spion. Lokasi kantornya tidak begitu jauh dari Cafe, itu salah satu alasan kenapa dia sering mampir ke sana. Selain itu ada hal yang jauh lebih penting. Tidak ada yang tahu, kecuali Dodi dan Bima, jika dia pemilik cafe itu.   

Melajukan mobilnya pelan, Reyhan memperhatikan gadis itu. Bus berhenti di sana, Rey pikir gadis itu akan naik, tapi ternyata dia masih belum beranjak dari tempatnya.

Reyhan memundurkan mobilnya.

"Mau sampai kapan kamu di sini." Reyhan berdiri dihadapan Naura dengan satu tangan berada di saku celana.

Naura mendongak, lalu memalingkan muka ketika melihat wajah yang membuat harinya buruk. Dadanya bergemuruh, wajah itu  mengingatkan dia akan kejadian di cafe. Reyhan membuat harinya sial.

"Ini sudah malam, ayo ikut." Reyhan menarik lengan Naura menuju mobilnya. "Biar saya anterin kamu pulang."

Naura menepisnya, "Apaan, sih! Main tarik aja. Aku gak mau! Aku bisa pulang sendiri!"

"Jangan bawel. Aku anterin kamu pulang sekarang." Reyhan menyeret Naura untuk masuk mobil, walau dia berontak, namun tenaganya tidak sebanding.

Hening, untuk beberapa saat tidak ada yang buka suara. Reyhan fokus menyetir dan Naura memilih melihat ke luar. Pria disampingnya ini terlihat begitu menakutkan. Dari penampilannya saja sudah menunjukan dia pria berkelas dan berwibawa.  

Tiba-tiba ponsel Naura berbunyi, ada pesan masuk. Dia tersenyum senang ketika melihat nama seseorang di layar hpnya.

'Bagaimana kerjaan hari ini, lancar?"

Naura terpaku ketika membaca pesan itu. Jarinya mengetik, lalu menghapusnya lagi,  sambil memikirkan apa yang harus ia jawab. Tidak mungkin dia memberi tahu jika ia baru saja kehilangan pekerjaan.

 

"Lancar, kok." Akhirnya kata itu yang terkirim.

"Bener? Jangan bohong."

Kenapa instingnya selalu kuat. batin Naura.

Sesekali Reyhan melirik Naura, dia masih saja asik dengan ponselnya, Tak jarang Reyhan menemukan Naura tersenyum bahagia ketika membaca isi chat. Membuat Reyhan mulai kesal.

"Ini belok kanan apa kiri?" tanya Reyhan. Ketika bersama Bima dia ikut mengantar Naura, tapi tidak memperhatikan jalanan. Merasa di abaikan karna Naura masih asik membalas pesan. Reyhan merampas Hp Naura dan melemparnya keluar, seketika hp hancur dan terlindas kendaraan lain.

"Hp gue!" teriak Naura. Dia menatap Reyhan marah. "Apa-apaan sih kamu!" 

"Saya tidak suka di abaikan!" jawab Reyhan penuh penekanan.

**

Jam beker yang ada di atas nakas berbunyi, membangunkan gadis yang sebagian tubuhnya ditutupi selimut, matanya masih terpejam sementara tangannya meraba, mencari sesuatu yang telah membuyarkan mimpinya.  

Matanya membulat saat melihat jam yang menunjukan angka delapan tiga puluh.

"Mampus!" Naura menepuk kening. "Gue telat!" Dia buru-buru menyambar handuk yang tergantung di dekat lemari, lalu berlari menuju kamar mandi. Ketika membuka handle pintu dia teringat sesuatu. "Oh, iya. Gue kan udah di pecat." lirih Naura.

Sepanjang hari Naura menghabiskan waktu di tempat tinggalnya, kontrakan kecil yang hanya cukup menampung beberapa barang.

Di ruangan berukuran 4x4 cm itu cuma ada kasur berukuran kecil yang cukup buat satu orang, beberapa lemari yang dijadikan penyekat ruangan dan sofa berwarna merah yang ada didekat pintu masuk.

Baca buku, makan dan tidur, berusaha mengalihkan pikiran dari masalah yang menimpanya. Hingga menjelang sore Indah datang ketempat Naura. Dia nampak khawatir. Sejak kejadian itu dia belum sempat bicara pada Naura, bahkan hp nya pun tida bisa dihubungi.

Naura meringis ketika Indah bertanya tentang hpnya. "Hp gue ... ilang. Mungkin jatuh pas di bis." Baru kali ini Naura bertemu orang yang begitu menyebalkan. Mentang-mentang Reyhan orang kaya, bukan berarti dia bisa bersikap seenaknya. Mungkin baginya itu tidak seberapa, tapi bagi Naura, butuh waktu berbulan-bulan untuk bisa membeli hp itu.

Semoga saja Naura tidak pernah lagi bertemu dia.

Indah menyodorkan hpnya. "Nih, lo hubungin Alvin dulu. dari pagi dia nanyain lo karna gak bisa dihubungi."

Naura tersenyum dan memeluk Indah. "Makasih. Lo emang sahabat terbaik gue."

Sahabat dan orang terdekat terkadang bisa jadi moodboster terbaik. Seperti halnya Indah. Sahabat rasa saudara. Seseorang yang selalu mengerti dan selalu ada di saat suka dan duka.

Naura sedikit mejauh, menscrol layar hp mencari satu nama yang selalu ia rindukan.

"Dah, lu namain cowok gue apa, kok gue gak nemu namanya!"

"Namanya calon jodoh Naura." seru Indah. Seketika dia tertawa melihat Naura yang cemberut.

"Kenapa gak sekalian aja kamu tulis suami Naura."

"Yey, itumah nanti kalau kalian sudah menikah. Kalian kan masih pacaran. Selama janur kuning belum melengkung, apa saja bisa terjadi." canda Indah. "Ya udah, telvon dulu alvin, ntar kita ngobrol lagi."

"Emangnya mau sama siapa lagi. Aku pasti nikah sama dia, lah!"

**

Di kantor, Reyhan masih disibukan dengan berkas-berkas yang masih menumpuk.

Mata sayu Naura yang berkaca-kaca selalu terbayang, membuat Reyhan tidak fokus bekerja, ditambah rasa bersalahnya ketika merebut dan membuang hp Naura.

Entah kenapa muncul rasa aneh di dada. jantungnya berdebar ketika mengingat senyum Naura yang menampilakan gigi gingsulnya. Dia ingin melihat senyum itu lagi.

Reyhan memanggil Bima untuk datang keruangannya. Tidak butuh waktu lama, Bima pun datang.

"Ada apa, Bos." Bima mengernyit ketika melihat tumpukan berkas di atas meja. Tidak biasanya bosnya ini mengabaikan pekerjaannya. "Ini udah sore. Malam ini gue gak mau lembur."

"Ck, Gue gak nyuruh lo buat lembur. Cariin gue hp. Yang bagus, kalau perlu model terbaru," perintah Reyhan.

"Hp lo rusak? Atau lo udah nyerah diteror cewek-cewek itu?"

"Jangan banyak tanya. Gue mau besok pagi sudah ada di meja gue!"

"Oke, Bos."