1 SANDEKALA AMERTA

Tetesan sisa air hujan tepat mengenai tengkuknya yang kini masih membungkuk memeluk kedua kakinya yang kedinginan. Derasnya hujan yang mengguyur Ibukota, membuatnya tak bisa berkutik atau lari mencari tempat berteduh yang lebih luas.

Hanya sebuah gazebo kecil di tengah taman kota yang menjadi tempatnya berteduh. Untung saja tidak ada orang lain yang singgah, tidak bisa dibayangkan jika harus ada orang lain di sana. Betapa sempitnya nanti dan akan membuatnya tidaj bisa melindungi tubuhnya dari guyuran air hujan.

Sandekala Amerta, sebuah nama yang tak biasa ia dapatkan dari mendiang Ibunya yang sudah tiada sejak ia berusia 10 tahun. Dan sejak saat itulah, ia harus hidup seorang diri dengan belas kasih setiap orang yang bertemu dengannya.

Hanya sosok Ibu yang terekam jelas dalam ingatannya, meski kini wajahnya semakin samar setelah 17 tahun berlalu. Sandy telah tumbuh menjadi gadis yang kuat dan pekerja keras, meski tidak memilik sanak saudara tak membuatnya menyerah dan pasrah dengan keadaan.

Saat usianya menginjak 11 tahun, ia mulai ikut bekerja menjadi tukang pengantar jahitan dari sebuah toko kecil yang ada di tengah pasar di kotanya saat itu. Untunglah, sang pemilik toko memperlakukannya dengan baik. Memberikan jatah makan meski seadaanya, juga uang saku harian sebesar 3 ribu setiap satu barang yang berhasil ia antarkan ke pelanggan.

Ya, sejak kecil Sandy harus menelan pil pahit yang seharusnya tidak diterima oleh anak seusianya. Namun kehidupanlah yang memaksanya untuk bisa berdiri sendiri tanpa belas kasih keluarga yang ia sendiri tidak tau di mana keluarga dari mendiang Ibunya.

Meski begitu, Sandy tak pernah sedikitpun mengeluh. Terik dan dinginnya hujan yang sewaktu-waktu datang tak mampu memudarkan senyum tipisnya di wajah. Ia percaya dengan takdir Tuhan, tidak ada yang tidak mungkin untuknya. Sandy percaya, jerih payahnya saat itu akan berbuah manis di kemudian hari.

Ya, itu hanya sebuah angan dari seorang gadis yang rapuh dan harus lontang-lantung tanpa tujuan yang jelas. Selama lima tahun ia bekerja sebagai pengantar jahitan, lalu beralih menjadi tukang cuci piring di sebuah warung makan yang kebetulan selalu ramai.

Lagi dan lagi, ia merasa beruntung karena sang pemilik warung mau menerimanya dan selalu memberinya jatah makan dengan lauk kesukaannya, yaitu telur ceplok balado. Menu sederhana yang terasa mewah untuknya.

Dan pekerjaan sebagai tukang cuci piring pun hanya bertahan selama 3 tahun karena warung harus tutup setelah sang pemilik sakit-sakitan, kemudian tidak ada keluarga yang meneruskan usahanya. Mau tidak mau, Sandy pun harus mencari pekerjaan baru agar bisa mengumpulkan lebih banyak uang untuk tabungan di masa mendatang.

Selama satu minggu ia harus berjalan kaki sejauh mungkin, dari satu toko ke toko yang lain untuk melamar pekerjaan tanpa adanya ijazah ataupun surat-surat penting lainnya yang umum digunakan oleh para pelamar.

Jangankan ijazah, surat lahir saja Sandy tidak punya. Entah ke mana dia harus mengurus surat tersebut, karena kata mendiang Ibunya dulu Sandy lahir tidak di Ibukota. Melainkan di sebuah desa yang sangat jauh dari Kota, tidak ada nama desa yang ia dapatkan dari Ibunya.

Karena setiap Sandy bertanya tentang tempat kelahirannya, Ibu selalu murung dan matanya berkaca-kaca seperti ada sesuatu yang tidak ingin orang lain tau, termasuk Sandy meski ia adalah anaknya sendiri.

Setelah seminggu kesana kemari tanpa hasil, kala itu usianya baru menginjak 18 tahun di mana sudah menjelma menjadi sosok gadis yang manis dan sederhana. Meski pakaiannya yang lusuh tak mampu menyembunyikan kecantikannya, apalagi kulitnya yang kuning langsat dengan senyum manis di wajahnya.

Sandy pun kembali menemukan pekerjaan di sebuah Toko Bunga, meski tak terlalu besar namun ramai oleh pembeli. Lagi-lagi ia menjadi kurir yang mana diberikan fasilitas sepeda ontel untuknya mengantarkan pesanan ke pelanggan setia harinya.

Peluh dan keringat menjadi saksi bisu akan perjalanan hidupnya yang tidak mudah sejak dulu. Tak ada gengsi ataupun malu ketika ia harus berhadapan dengan gadis seusianya yang berpakaian modis dan dengan bebasnya bersendau gurau dengan teman sebaya.

Sandy hanya menghela nafas panjang, sembari membayangkan jika dirinya yang berada di sana. Betapa bahagianya ia saat itu, namun nyatanya semua hanya banyangan semu yang tidak akan mungkin ia rasakan, mungkin sampai usianya tidak muda lagi.

"Huh! Khayalku terlalu tinggi, mana mungkin aku bisa berada di sana. Melihat dari jauh saja sudah membuatku cukup minder, Sandy ... Sandy ... malang sekali nasibmu," ceracaunya di tengah kesenderiannya yang menatap gadis seusianya dari jauh.

Ia pun melanjutkan perjalanan untuk mengantarkan pesanan ke pelanggan terakhir pada hari itu. Jaraknya lumayan jauh dari rumah pelanggan lainnya, yang mana membuatnya sedikit bingung karena untuk pertama kalinya ia harus menyusuri jalanan yang belum pernah ia pijak sekalipun.

Dalam waktu yang lumayan singkat, Sandy kembali beralih bekerja di kantor ekpedisi di bagian packing. Meski ia tak sekolah dan tidak ada pengalaman untuk pekerjaan barunya, tak membuat gadis berusia 27 tahun tersebut merasa minder. Di tengah gunjingan kawan seprofesinya yang dsri pertama kali Sandy masuk seperti tidak welcome dengannya.

Pengalaman baru, tempat baru, teman baru dan juga kekuatan mental pun harus lebih kuat untuk ya bisa bertahan di sana. Yang mana sebenarnya Sandy ada keinginan untuk membuka usaha kecil-kecilan seperti pekerjaannya saat ini.

Sandy memilih untuk bersabar dan tidak menanggapi yang lain demi mendapatkam ilmu dan gambaran untuknya bisa dengan yakin akan idenya untuk usaha kecil-kecilannya nanti.

Seperti hari ini, banyak sekali orang berdatangan untuk mengirimkan barang baik surat-surat penting, pakaian bahkan ada yang berupa makanan. Dan kebetulan hari ini hanya ada Sandy dan salah seorang kawannya yang berjaga dikarenakan ada jatah libur atau cuti untuk pulang kampung.

Mau tidak mau, Sandy dan temannya harus berbagi tugas dengan jumlah tenaga kerja yang sangat minim.

"Ndy, ini yan harus kmu packing sekarang juga ya! Dalam waktu dua jam kedepan, muatan barang akan datang untuk mengangkut," jelasnya seraya menyerahkan selembar kertas putih berisikan daftar nama barang dan juga alamat yang tertera.

"Baik, Mbak! Kalau ada yang baru lagi panggil aku saja ya!" ujarnya dengan santun, menilik isi coretan di kertas dan hanya tersenyum tipis.

Dengan cepat, Sandy pun segera beralih menuju ruangan berukuran 3x4 meter, di mana menjadi satu tempat penyimpanan alat dan bahan yang wajid digunakan untuk kelancaran ekpedisi.

***

"San, San! Kamu tidak pulang? Bapak perhatikan kok dari tadi kamu bengong," tegur seseorang yang seketika membuat Sandy tersadar dari lamunannya, mengingat masa-masa sulitnya dahulu.

"Hmm?" sahutnya dengan bingung, langit di atas sana rupanya sudah gelap. Untung saja ada Bapak penjaga yang menegurnya sore itu.

"Kamu kenapa San? Ada masalah?" tanyanya lagi ketika melihat Sandy masih berdiam diri.

avataravatar
Next chapter