webnovel

20. Banyak Janji

"Jadi ini, Haji Eneng, adik saya itu, Bu Aisyah, Pak Epi, dan juga anaknya Reza.” Bu Wawat memperkenalkan adiknya itu beserta dengan suami dan juga anaknya, yang akan dijodohkan dengan Nisa.

Ya, keluarga Bu Wawat kini sedang mendatangi rumah Nisa, sebagai pertemuan pertama, dan juga sekaligus sebagai tanda jadi, karena keduanya sudah sama-sama saling menerima perjodohan tersebut.

“Oh, iya, Bu Haji,” ucap Pak Epi, yang kemudian semuanya pun kini saling berkenalan satu sama lain, disusul dengan senyuman Bu Aisyah dan juga Nisa.

“Jadi adik saya ini memang sejak SMP sudah di kota, gak tinggal lagi di sini, dia sekolah di sana sampai kuliah, dan hingga akhirnya ketemu jodoh di sana juga, si Ayah Toni,” ucap Bu Wawat juga memperkenalkan.

“Oh, iya, ya, saya juga ingat bagaimana Haji Eneng itu kecilnya,” timpal Bu Aisyah seraya tersenyum lebar.

“Oh, iya, jadi ini anak saya, yang paling ganteng dan baik, Reza namanya, Bu, Pak, Nisa, kalau dia sih gimana saya aja, anaknya itu duh nurut banget sama orang tua, makanya saya sayang kalau dia dapat jodoh yang gak benar…

“kebetulan kemarin itu Erna cerita katanya di dekat rumahnya ada cewek, namanya Nisa, orangnya cantik, dan sedang lanjut S2 juga, lulusan pesantren, maka saya juga langsung tertarik, dan memang benar ternyata Nisa itu cantik juga, ya,” tutur Bu Eneng bersungut-sungut.

Bu Aisyah dan Pak Epi hanya mangguk-mangguk saja seraya merekahkan bibirnya dengan penuh ketulusan, seolah ini adalah kebahagiaan yang paling hakiki karena bisa mendapatkan besan yang juga terpandang.

Terlebih calon suami untuk anaknya yang memang menurut padangannya itu sudah sangat sempurna sekali.

“Wah, kebetulan banget memang, ya?” timpal Bu Asiyah, Nisa di sana hanya diam saja, seraya sesekali tersenyum kepada tamu, juga lelaki yang akan ia dijodohkan dengannya nampak malu-malu, perawakannya tidak terlalu tinggi, akan tetapi memiliki badan yang cukup gempal.

“Iya, benar, kebetulan sekali, ternyata Nisa itu memang cantik, jadi gak salah kalau Teh Erna bilang begitu, he he he,” sambung Reza yang kini ikut berkomentar juga tapi masih malu-malu.

“Ah, kamu tahu aja sama yang cantik, Ji,” sahut Pak Toni, suami dari Bu Eneng, yang memanggil anaknya dengan sebutan ‘Ji’ berarti ‘Haji’.

“Ayah juga gitu, kan dulu sama si Bunda, mau nikah sama si Bunda karena lihat wajahnya dulu cantik atau gak?” kelakar Reza yang kini malah terang-terangan membahas masalah ayah dan bundanya di depan orang baru.

“Ha ha ha.” Lalu semuanya pun kini ikut terkekeh saja ketika mendengar ucapan antara ayah dan anak itu.

“Si Haji Reza itu orangnya suka bikin ketawa aja, Nis, jadi nanti kamu jangan aneh, ya kalau dia banyak bercanda, orangnya lucu,” sambung Bu Wawat lagi kepada Nisa memberikan sedikit penjelasan mengenai Reza.

Entahlah dari mana segi lucunya, padahal candaan seperti itu biasa saja, dan terkesan garing, ya namanya juga keluarga, tentu saja akan membela keluarganya, dan mengagung-agungkan keluarganya itu di depan banyak orang.

“Tapi, Nis, gaji Reza itu masih sangat kecil, ya namanya juga pegawai honor, mungkin buat jajan kamu aja gak cukup! Tapi akan kami pastikan nantinya kalau kalian berdua gak akan pernah kekurangan, bahkan kami pun akan membantu untuk membiayai uang kuliah kamu, sampai S3 kalau kamu mau, atau mungkin kalau ada S4 pun, tentu saja kami sanggup untuk membiayainya…

“karena kan kalau sudah menikah, kamu juga akan jadi anak kami berdua, itung-itung biayain anak sendiri aja, sebab anak sendiri gak ada yang mau suruh lanjut kuliah, duh alasannya itu katanya udah pusing belajar terus, he he he,” tutur Bu Eneng lagi.

“Kalau untuk urusan itu sih kami juga sudah sepenuhnya percaya sama Bu Haji Eneng dan Pak Haji Toni, kami gak meragukannya lagi,” jawab Pak Epi menanggapi pernyataan Bu Eneng mengenai anaknya itu.

Ya wanita paruh baya itu, yang mungkin usianya baru saja sekitar 47 tahunan kini sudah memberikan janji-janji kepada Nisa, sehingga kalimat manis itu tentu saja membuat hati kedua orang tua Nisa sangat girang sekali, karena tahu bahwa anaknya nanti ada yang membantu.

Yaa semoga saja memang kenyataannya seperti itu, mereka akan mengingat janjinya.

“Tuh, kan benar kata saya juga bukan, Pak Epi, Bu Aisyah? Jadi gak usah khawatir kalau Nisa nikah sama keponakan saya ini, sudah pasti semuanya akan ditanggung, tenang saja,” sahut Bu Wawat yang memberikan kesimpulan.

“Iya, Bu Wawat, ternyata memang benar dengan apa yang dikatakan oleh Bu Wawat, seharusnya kami merasa sangat bersyukur sekali bisa mendapatkan calon mantu dan besan yang memang baik ini,” timpal Bu Aisyah yang juga kini malah ikut memuji calon besannya itu.

“Wah, iya jelas dong, Bu Aisyah, kan adik saya yang ini tuh beda banget, baiknya selangit sama orang lain pun, apalagi sama besan dan menantunya coba, he he he.” Bu Wawat tidak hentinya memuji adiknya itu di depan keluarga Nisa.

“Udah ahh, Teh Wawat ini suka berlebihan kalau sudah memuji Eneng, he he he,” sahut Bu Eneng yang selalu memanggil nama pada kakaknya sendiri, Bu Wawat.

“Jadi intinya sih gini, si Bunda ini kapan pun Nisa mau nikah, sudah siap, kalau mau bulan depan pun, sudah siap kok,” ucap Bu Wawat lagi memberitahu yang kini kembali pada permasalahan awal.

“Nah, mau nikahnya kapan, Ji?” tanya Bu Eneng kepada anaknya itu, anak sulungnya, karena memang ia hanya mempunyai dua anak saja, Reza adalah anak tertua, dan dia mempunyai adik perempuan yang sedang kuliah semester 2 di salah satu universitas di kota.

“He he he. Reza sih bagaimana Bunda aja, kalau Bunda maunya bulan depan, ayok aja, he he he,” jawab Reza malu-malu menjawab.

“Nah, sepertinya untuk masalah tanggalnya, kita serahkan saja dulu kepada Nisa dan Reza, mungkin nanti mereka akan memutuskan sendiri.” Pak Toni kini ikut angkat bicara mengenai tanggal pernikahan.

Mereka sudah percaya sekali pada Nisa bahwa ia adalah perempuan yang cocok untuk menjadi istri dari anaknya, terlebih dengan wajah Nisa yang cukup cantik, dan juga ia pun berpendidikan, yang tentunya tidak akan malu-maluin jika dikenalkan kepada para rekan kerjanya.

Bundanya Reza bekerja sebagai Guru PNS di sebuah sekolah dasar, dan Ayahnya adalah seorang pegawai senior di kantor BUMN, yang tentunya dapat dibayangkan bagaimana rekan kerjanya, meski terkadang sifat asli seseorang tidak bisa dinilai hanya dari pekerjaan dan jabatannya saja.

“Nah, bagus juga tuh! Udah sana, Ji, minta nomor kontaknya ke Nisa!” Bu Eneng menyuruh anaknya itu untuk meminta nomor kontak Nisa.

“Eh, iya, Bun, he he he.”

Nisa pasrah saja.