webnovel

16. Wahyu disidang

“Ada apa, Bu? Tumben ngajak saya ngomong, gak biasanya nih” tanya Wahyu dengan wajah cerah kepada Nisa ketika di kantor sekolah, yang juga disaksikan oleh Deden, serta Riri, sebagai sahabatnya.

Sebenarnya ingin sekali Nisa marah dan mencaci maki lelaki yang ada di hadapannya itu, akan tetapi ia urungkan kembali setelah mengingat pesan lelaki tua yang ia temui kemarin di kereta, agar bersikap baik kepada orang yang menjampi-jampinya.

Dengan tujuan, tentu saja, agar lelaki itu rela dan ikhlas jika Nisa menolak cintanya, serta agar lelaki itu pun mau menghentikan niat jahatnya dan mencabut jampi-jampi yang sudah ia lakukan.

Nisa mengembuskan nafasnya berat, berulang kali, bukan sekali saja, sebab ia sedang mencoba untuk mengendalikan emosinya, agar tidak berlarut-larut dan meluap.

“Saya mau tanya, tapi jawab dengan jujur,” ucap Nisa yang kini terhenti lagi, sehingga menjadikan Wahyu hanya mengerutkan dahinya saja, tak mengerti dengan sikap Nisa yang berbeda kepadanya, bahkan lebih hangat, tidak seperti biasanya yang selalu sewot.

‘Ah, apa mungkin pengaruh jampi-jampi dari si Mbah Mijan itu sudah berhasil? Maka sekarang Bu Nisa sudah luluh hatinya dan mau menerima cintaku,’ bathin Wahyu dalam hatinya yang kini nampak begitu senang.

“Apa benar kalau Pak Wahyu itu menjampi-jampi saya?” tanya Nisa singkat dan padat, akan tetapi mata wanita itu begitu tajam, seolah sedang mengulik hati Wahyu untuk berkata jujur.

DEG

Sementara itu, Wahyu sendiri terkejut bukan main ketika mendengar pertanyaan dari Nisa demikian, bagaimana pula wanita muda itu bisa tahu dengan apa yang dilakukan olehnya? Wahyu masih membelalakan matanya tak percaya, lalu buyar oleh ucapan Deden.

“Ayo jawab, Pak Wahyu! Apa memang benar kalau Pak Wahyu itu sudah menjampi-jampi Bu Nisa?” Wahyu menoleh ke arah Deden, dan juga Riri bergantian, ia kini terdesak, seperti sedang disidang oleh ketiga orang sekaligus.

Ketiganya sama-sama hanya menatap Wahyu dengan tatapan tajam saja, seraya menyedekapkan tangannya pada dadanya masing-masing, menunggu jawaban dari Wahyu, tidak sabar.

“Eh, jangan asal nuduh begitu, Bu Nisa! Mana buktinya kalau saya sudah menjampi-jampi kamu!” Wahyu masih membantah, akan tetapi perubahan pada wajahnya tentu saja tidak bisa disembunyikan, is nampak kak, bahkan suaranya pun sedikit bergetar karena usaha buruknya itu malah tertangkap basah oleh Nisa.

“Bukan nuduh, tapi saya ada yang ngasih tahu kemarin di kereta bapak-bapak, katanya ada yang sedang menutup aura saya, awalnya mau memelet saya, tapi katanya karena pertahanan bathin saya cukup kuat, maka hanya mampu menutup aura saja….

“dan katanya itu dilakukan oleh lelaki yang tidak terima kalau cintanya ditolak, dan orangnya pun ada di sekita saya. Lagi pula mata Pak Wahyu gak bisa berbohong, penuh dengan ketakutan itu kayak maling yang ketangkap basah,” tutur Nisa menjelaskan kepada Wahyu.

‘Astaga! Kenapa bisa Bu Nisa sampai tahu kalau dia berniat hendak memeletnya, tapi katanya malah gagal, aduh kenapa si Mbah Mijan gak ngasih tahu kalau gagal untuk memelet Bu Nisa,’ gerutu Wahyu dalam hatinya, mengaduh.

“Jawab dengan jujur, Pak Wahyu! Jika memang kamu melakukan itu kepada Bu Nisa, wah jahat sekali! Sampai menutup jodoh orang segala agar bisa dimiliki oleh kamu, padahal perasaan itu gak bisa dipaksa, payah kamu! Gak gentle jadi cowo! Malu-maluin cowo aja,”

“dan gak usah mengelak lagi, benar apa yang dikatakan oleh Bu Nisa tadi, bahwa wajah dan mata Pak Wahyu tidak bisa berbohong.”

Deden kini ikut menimpali, bahkan mencaci maki Wahyu jika memang benar dengan tuduhan Nisa. Sementara Nisa dan Riri hanya diam saja, menunggu jawaban dari Wahyu.

“Jika memang benar, tolong segera hentikan tindakan itu! Gak ada untungnya sesuatu yang dipaksakan, percuma! Yang ada malah akan merugikan diri sendiri,” ucap Nisa lagi dengan datar kepada Wahyu.

“Jika memang penolakan saya pada malam itu menyakiti hati Pak Wahyu, saya minta maaf, akan tetapi bagaimana pun saya tetap tidak bisa memaksakan diri saya untuk menerima Pak Wahyu.” Nisa terus saja mendesak Wahyu dengan kalimat-kalimatnya.

Wahyu masih saja diam, dengan wajah pias tak karuan, sementara Deden dan Riri pun sudah sangat tidak sabar ingin mendengar pengakuan dari Wahyu.

“Ayo dong cepat jawab, Pak Wahyu! Tinggal jawab iya atau tidak saja kok lama banget sih,” timpal Riri yang kini ikut nimbrung pula.

Nisa masih menatapnya dengan tajam, ternyata dugaan Wahyu salah, ketika ia pergi ke orang pintar untuk memelet Nisa, bukannya rasa cinta yang ia dapatkan dari Nisa, akan tetapi malah rasa benci dan tidak suka yang semakin besar saja.

“Duh, iya, iya, saya ngaku! Saya minta maaf.” Wahyu kini memohon ampun kepada Nisa setelah mengakui bahwa ia memang sudah melakukan hal yang dituduhkan oleh Nisa.

Nisa menghela nafasnya lagi lebih dalam, ternyata dugaannya memang benar, meski butuh waktu pula untuk mendesak Wahyu agar dia mau mengakui tindakan jahatnya itu.

“Astaga, parah banget sih kamu, Pak Wahyu pake jalan pintas begitu,” timpal Riri, dan Deden pun hanya geleng-geleng kepala saja tak percaya dengan pengakuan gila Wahyu.

“Tapi niat saya baik, dari pada Bu Nisa menikah menjadi istri kedua, saya gak ikhlas, lebih baik dengan saya, menjadi istri satu-satunya,” bantah Wahyu lagi dengan lantangnya.

Nisa hanya mengerutkan alisnya ketika mendengar alasan dari Wahyu seperti itu, yang juga ternyata sudah tahu dengan hubungan terlarang dirinya bersama dengan Dani, seketika entah dari mana datangnya, Nisa malah menyalahkan Wahyu atas kegagalan cintanya bersama dengan Dani.

“Saya mau menjadi istri kedua atau gak, sama sekali bukan urusan kamu, Pak Wahyu! Dan tidak semestinya juga kamu ikut campur dengan urusan saya,” jawab Nisa lagi menimpali ucapan Wahyu.

“Iya, Bu, maaf, saya minta maaf.” Wahyu meminta maaf lagi kepada Nisa.

“Ya sudah, kamu juga segera lepas jampi-jampi itu dari Bu Nisa, agar auranya terbuka lagi, yang tentunya malah akan membuatnya susah untuk mendapat jodoh. Beneran, ya kamu itu licik banget, Pak Wahyu! Sampai tega menghalangi jodoh buat Bu Nisa, awas nanti malah berbalik pada kamu sendiri,” ucap Deden lagi.

“Iya, Pak, saya minta maaf, saya akan segera cabut jampi-jampi itu kok,” ucap Wahyu lagi kepada Deden dengan wajah yang masih tidak karuan, malu, dan takut, semuanya menjadi satu.

Keempat orang itu kini hanya saling diam saja, lengang sejenak. Kemudian dibuyarkan oleh kedatangan seseorang.

“Eh, Pak Wahyu tumben ada di sini!” seru Firman, lelaki yang juga sempat menarik hati Nisa, ya lebih tepatnya Nisa hanya sebatas kagum saja kepada lelaki itu atas sikapnya yang memang terpuji dan bertanggung jawab, berbeda jauh dengan Wahyu.

Wahyu masih saja diam, kemudian Nisa pun kini pergi meninggalkan ruangan itu, ya meninggalkan yang lainnya di sana.

“Ada apa sih, Pak Deden? Kok kayaknya angker banget?” tanya Firman lagi kepada Deden karena tidak mendapat jawaban dari Wahyu.

“Itu teman Pak Firman tuh sampe nekat melet Bu Nisa!” celetuk Deden menjawab pertanyaan Firman, sama halnya dengan yang lainnya, Firman pun ikut terkejut, membelalakan matanya tak percaya jika Wahyu sampai nekat seperti itu.

Meski pada awalnya memang ia sudah mendengar ucapan Wahyu bahwa ia akan memelet Nisa, akan tetapi Firman tidak menanggapinya dengan serius, ia pikir hanya sebagai candaan saja, akan tetapi ternyata beneran terjadi.

“Untung saja pertahanan bathin Bu Nisa kuat, jadi gak mempan tuh peletnya, hanya bisa menutup aura Bu Nisa saja, dukunnya itu kurang pintar ternyata!” seru Deden lagi yang juga ikut dongkol kepada Wahyu.

“Serius? Pak Wahyu melakukan itu kepada Bu Nisa?” tanya Firman lagi kepada Wahyu memastikan.