5 Solusi yang Terpilih

Jingga buka lebar matanya setelah hampir setengah jam ia betah mengingat guratan khawatir dan pedih dari seorang ibu pada anaknya.

Sama seperti ibunya yang selalu memberi arahan kala mengambil langkah yang salah dan tidak bisa ia pertanggung jawabkan.

Sore itu, ia lihat wajah manis ibunya mengantar kepergian untuk pertama kali menemui keluarga pihak laki-laki. Tidak banyak yang ibunya katakan, hanya soal sopan santun dan telinga yang mau mendengar.

Keputusannya memang terlalu berani, ia tidak bisa ditentang, tapi Jingga rasa alasannya bisa diterima oleh sang ibu mengingat dia juga melakukan itu dan mengambil itu sebagai solusi atas dasar perasaan ibu baik hati yang lain.

"Andra itu salah Ibu karena nggak terlalu bimbing terus dengerin dia, jadinya dia suka di luar terus ketemu temen banyak yang Ibu nggak tahu gimana modelnya sampai dia kelam begitu, Jingga. Maaf, Andra bikin usaha keluarga Narendra jatuh, Ibu minta maaf atas kesalahan Ibu yang nggak bisa bimbing anak," ujar Wirda dengan deraian air mata.

Ada cinta kasih yang Jingga lihat di sana, barang kali dirinya bisa menyentuh titik terdalam hati Andra untuk kembali ke sebuah jalan yang lebih baik, inginnya tidak banyak, hanya terlintas di benak Jingga untuk mengembalikan senyum yang di rumahnya saja ibunya itu mendapat limpahan tak terhingga, sedang Wirda tidak mendapatkan itu selain sesal dan sesak di dadanya.

"Ibu nggak berharap lebih Jingga mau jadi sama Andra, memang orang di luar nuntut begitu, tapi Jingga punya kehidupan yang lebih baik dan Ibu yakin lebih pantas mendapatkan yang lebih dari Andra." Terakhir, kalimat itu inti dari pembicaraan sore hari itu bersama ibu Andra. Jingga mendapatkan jalan untuk pergi dari sebuah keputusan yang bisa dikatakan terlalu berani dan bodoh karena belum tentu pada akhirnya Andra akan suka padanya.

Tapi, entah kenapa hatinya yakin paea satu kalimat di mana ibu Andra mengatakan bahwa Andra pernah menangis di malam hari karena ia jenuh dengan kehidupan yang serba kelabu itu.

Hidup di malam hari dengan banyak minuman dan wanita, ternyata tidak membuat Andra merasa hidupnya lebih baik, yang ada dia selalu merasa kurang disegala waktu.

Jingga hampiri ibunya, wanita dengan tekad kuat sama seperti dia itu pasti memberikan jalan yang bijak untuk keputusan akhir yang akan ia ambil, tidak serta merta melibatkan perasaan.

"Ibu mungkin akan dianggap orang tua yang bodoh waktu membiarkan kamu mengambil keputusan ini, sama kayak kamu yang dianggep gitu juga." Rani genggam tangan Jingga. "Dulu, Ibu juga begitu. Tapi, nenek bilang selama kita dekat dengan keluarga, terutama ibunya, semua akan aman. Satu lagi, tujuan dibalik semua itu untuk apa, Ibu yakin Jingga nggak akan ambil resiko besar itu kalau nggak buat tujuan yang baik, kamu mau bu Wirda dekat dengan Andra lagi, kan? Terkadang orang memang perlu jadi gila buat bikin trobosan, kamu harus tegap di sana, dalam arti jangan mudah goyah!"

Jingga terkekeh sembari memeluk ibunya itu, pertentangan akan timbul dan muncul di mana-mana.

Julukan gila dan bodoh harus siap tersemat di kepala Jingga, itu juga hal yang dulu pernah ibunya rasakan.

Tapi, kenyataannya di dunia ini banyak orang gila dan bodoh lebih makmur karena bisa jadi ketika mereka turun, sudah memikirkan semuanya dengan baik.

***

Janda, mungkin itu yang akan tersemat di depan namanya kalau misi mendekati Andra gagal.

"Ngapain lo ke kantor?" Andra tidak menyangka Jingga akan menjadi tamunya hari ini, dia kira akan ada rapat penting.

"Kak Andra kapan sih nggak marah-marah kalau ketemu aku?" Jingga berbalik memutar kursinya.

"Ck," decak Andra lirih, ia ambil kursi duduk tepat di depan Jingga. "Mau apa?"

"Kasih tahu Kak Andra kalau pers akan diadakan besok siang di depan kantor ini, solusi yang udah diambil adalah kita menikah, jangan lupa bikin rangkaian kalimat yang bagus ya ...."

"Lo gila ya?" Andra tahan suaranya, hampir saja meledak di depan Jingga. "Jingga, gue itu-"

Pernikahan itu menjadi solusi yang terpilih.

"Kak Andra cinta sama Amel, nggak mau nikah sama aku, maunya sama Amel karena kalian sama-sama nakalnya terus mau tobat. Kak Andra pernah mikir nggak sih kalau aku bisa nakal juga?" potong Jingga berkacak pinggang.

"Ya, lo kan udah baik, nggak perlu begitu dong!" elak Andra.

"Kenapa nggak perlu, aku bisa kok kalau Kakak mau, aku bakal dateng ke club terus minum sampe mabuk, bisa-"

"Nggak, Jingga!" potong Andra, suaranya meninggi tanpa sadar.

Dia memang buruk, tapi tidak akan ia biarkan orang baik seperti Jingga jatuh ke lembah yang sama sepertinya.

Dia tahu bagaimana rasanya hampa dan kehilangan arah saat kepuasan didapat, tapi tak ada yang nyata di depannya.

Bisa Jingga lihat bola mata pekat panik di sana, Jingga simpan senyum tipisnya.

"Kita udah sepakat buat yang aturan nikah, kan? Besok Kak Andra jawab yang baik, jangan buat keluarga Kak Andra semakin terpuruk, oke!" Jingga tepuk bahu kiri Andra sebelum melangkah pergi.

Andra mengesah pelan, "Kenapa harus gue, Jingga?" Ia tatap nanar punggung kecil itu.

Jingga tidak berbalik, tapi dia tersenyum di sana.

"Kenapa juga harus kamar Jingga yang Kak Andra datengin malam itu?" balas Jingga.

Andra tidak mampu membalasnya, sesak dan pusing ia rasakan dalam satu waktu.

"Lo bisa biarin keluarga gue hancur, daripada lo nyebur nggak jelas kayak gini. Masih banyak cowok baik-baik yang mau ngelakuin apapun buat lo di luar sana," ujar Andra.

Jingga lanjutkan langkahnya, sampai tangan itu memutar handle pintu, lantas ia berbalik sejenak.

"Kak Andra jadi baik ya, plis, jangan buat keluarga Kak Andra semakib terpuruk. Baik-baik aja sama Jingga nanti, oke, ganteng, sayang, bye!"

Klek,

Hilang, Andra pejamkan matanya dalam.

Keluarganya sudah hancur dengan berita itu, tak mungkin dia buat hancur orang seperti Jingga sekali lagi, yang ada hidupnya tidak bermanfaat sama sekali.

Malam itu, sepulang kerja Andra lihat ibunya yang tengah mencoba banyak adonan untuk usaha terbaru.

"Ma, apa kurang yang Andra kasih?"

Wirda menoleh, "Mama sisihkan buat kamu juga, Ndra. Kalau kamu sakit, terus siapa yang handle, biaya rumah sakit dari kantor, tapi makan kamu dan lainnya, Mama nggak mau kamu kurang nanti, Nak."

Kalau orang bisa tidak egois, kenapa dirinya begitu egois menjadi manusia selama ini? Sejenak, ucapan Kale waktu itu berputar lagi di kepalanya.

Amel mungkin mempunyai waktu untuk tidak peduli padanya, tapi ibunya meskipun diam dan tidak banyak bicara, semua waktunya hanya untuk memikirkan dirinya saja, bahkan hal terkecil yang menurutnya sepele itu.

"Oiya, tadi Mama dikasih resep sama Jingga, nanti kalau bisa mau Mama kirim ke dia ya ...."

Jingga, Jingga dan terus Jingga. Andra mengangguk, ia lantas berjalan tertatih ke kamarnya.

Wirda pandangi punggung putranya itu, baru malam ini mereka bicara cukup banyak.

avataravatar
Next chapter