1 Kamar 205

Titania Jingga Narend Wijaya, sebuah nama yang tersemat untuk gadis perawakan kecil dengan rambut kecoklatan dan mata sabit yang sangat aktif dan ceria itu.

Suaranya yang bagus dan cenderung keras membuatnya kerap mendapat julukan di ratu petir, Jingga panggilannya sejak kecil, setiap ada Jingga, di sana ada keramaian dan senyum berserakan.

Pribadinya yang ringan tangan dan mudah berbaur membuatnya tak sulit diterima oleh banyak kalangan teman baru yang ia temui, termasuk di sebuah acara malam ini, di mana semua anak muda terkumpul sebagai mahasiswa baru dan dia sebagai ketua acara di sana.

"Jingga, kamu jadi tidur di hotel, nggak satu vila sama anak-anak aja?" Sigit kejar langkah ketuanya itu.

"Nggak bisa, aku udah janji sama ayah kalau bakal nginep di hotel pilihannya, udah ya, bye!"

Malam semakin larut, usai sudah perjumpaannya bersama para mahasiswa baru di hari keakraban bersama itu, dia senang dan merasa hidupnya semakin berwarna.

Diusianya yang baru menginjak dua puluh tahun, banyak hal yang Jingga raih, termasuk dalam usaha kecil-kecilan yang mulai ia tekuni untuk bekal di masa mendatang.

Ia terlahir dari keluarga kaya raya, tapi tak membuat tangannya bergantung dan seenaknya pada orang di luar sana, Jingga pekerja keras dan lebih senang berpenampilan sederhana seperti apa yang kedua orang tuanya ajarkan.

Ia kemudikan mobil itu sendiri malam ini, menyusuri jalanan kota kecil dengan banyak lampu redup yang cukup seram.

Beruntung ia sudah terbiasa berpergian seorang diri, bukan hanya antar kota, tapi sudah menjadi wanita cakrawala yang selalu berpindah-pindah dudukan burung besi di bantangan langit luas itu.

"Ya, Ayah. Aku udah selesai acaranya, mau ke hotel yang Ayah pesenin, nanti aku kabarin lagi ya," ujar Jingga melalui voice notenya, ia tidak bisa menjawab panggilan sang ayah karena harus fokus pada jalanan berkelok-kelok itu.

Sampailah dia di sebuah hotel bintang lima yang ayahnya pesankan, sangat bagus dan dari luarnya saja Jingga bisa memperkirakan berapa besarnya biaya untuk proyek pembangunan hotel itu.

Bahkan, sampai pada gaji karyawannya, Jingga bisa mentaksir itu semua. Hal biasa yang sudah ia pelajari dari bisnis keluarga yang diturunkan padanya selama ini.

"Kamar no 205, oke!"

Jingga ambil kartu kamar itu, ia tarik koper kecilnya dan tak sabar untuk merebahkan diri.

Ruangan yang sangat nyaman dan lagi-lagi dia menghitung total biaya yang dibutuhkan untuk mengisi satu set kamar hotel seperti ini, lengkap dengan fasilitas mandi yang ada di sana.

Jingga bersihkan dirinya segera, sebelum akhirnya merebahkan diri setelah menerima kiriman kue dari pelayan hotel yang tadi sudah ia pesan.

"Roti bakar dengan selai coklat, hem, enak sekali!" Rindu menyeruak pada ibunya kali ini, ia ingat kalau setiap malam ibunya itu selalu membuatkannya camilan semacam ini.

Ada satu lagi kue dengan selai strawbery, sengaja Jingga letakkan di nakas samping ranjangnya. Ia ingin tidur dan nanti akan terbangun untuk melahap kue itu sebelum pagi tiba.

***

"Pintunya nggak dikunci, bagus banget idenya tuh cewek. Sayang, aku dateng!"

Andra Bagas Prasetya, pria dewasa yang sudah mengenal dunia malam cukup lama, minuman dan wanita menjadi temannya. Perawakannya tinggi, berwajah tegas dan cukup tampan, rambutnya hitam rapi nan ringan, satu lagi di mana karakter Andra yang terbilang jenaka dan santai dalam segala hal, usia tak menjadi acuannya sama sekali.

Malam ini dia sudah berjanji untuk menemui kekasihnya di sebuah hotel dengan nomor kamar 206, Andra rasa dirinya sudah masuk ke kamar hotel yang tepat karena ia kenal dengan aroma wangi yang biasa kekasihnya gunakan, tercium dari luar pintu kamar setengah terbuka itu.

Klek, tit ....

Pintu kamar itu tertutup otomatis, ia berjalan setengah sadar dan tersenyum melihat tubuh kecil sedang tertidur di balik selimut tebal.

"Pusing banget pala gue," gumamnya, acara pesta proyek malam ini membuatnya minum terlalu banyak.

Niat hati ingin membuktikan cintanya pada sang kekasih yang terus saja tidak percaya padanya, Andra justru masuk ke dalam selimut itu dan menjadi guling gadis di sana dengan mata terpejam rapat.

Minuman membuat Andra terlelap untuk waktu yang lama.

***

"Dia nggak dateng juga, dasar sialan!" gumam Amel, mengedarkan mata mencari sosok pria yang ia tunggu, tapi di deretan kamarnya sudah sangat sepi, tidak ada satu orang pun yang lewat, apalagi menemuinya, Amel lantas menutup pintunya itu kembali.

Dia benar di kamar 206, Andra tahu itu, tapi Andra tidak tidur di sana rupanya.

Andra berada di kamar 205.

Samar-sama suara alarm sebelum waktu subuh itu membangunkan Jingga, satu tangannya meraba-raba nakas dan mencari ponselnya, ia matikan, lalu beringsut duduk.

Jingga makan roti selai strawbery itu dalam keadaan gelap, mengunyah dan terus mengunyah sampai habis, ia kembali berbaring untuk memupuk kesadaran yang masih belum sempurna itu.

Hoaaam,

"Berisik!" kesal Andra kesal.

Jingga sontak menggulung selimutnya, menarik hingga ia melihat ada sosok lain yang tengah berada dalam satu ranjang dengannya semalaman.

"Kamu siapa?" teriak Jingga, ia pukul kepala pria itu.

Plak,

"Sakit, bodoh!" keluh Andra beringsut turun, ia masih mengomel karena rasa pusing dan ditambah lagi pukulan keras dari kepalan tangan Jingga.

Byar,

Lampu ruangan itu sontak menyala terang, tidak Jingga sangka kalau dirinya semalam bukan memeluk guling dan bantal besar, melainkan tidur bersama seorang pria.

Dan itu adalah Andra, teman para sepupuhnya yang bergabung di usaha keluarga dan sekaligus pria yang ia cintai sejak kecil.

Tapi, masalahnya sekarang, kenapa ada satu kamar dengannya?

"Jingga, lo?" Andra tunjuk wajah takut itu, Jingga meremat selimutnya. Andra beringsut mundur.

Mereka saling memeriksa baju masing-masing, bahkan Andra memeriksa sprei kamar itu, tidak ada yang terjadi, dia dan Jingga tidak melakukan apapun.

"Kak Andra ngapain di sini?" tanya Jingga, ia berdiri merapikan bajunya.

"Gue yang tanya sama lo, kok lo ada di sini?"

"Ish, ini kamarnya Jingga, ayah yang pesen buat Jingga istirahat di sini. Ini kamar Jingga!" Suara bak petir itu hampir saja memecahkan gendang telinga Andra.

Ia minta Jingga untuk tenang, pasalnya dia tidak sengaja dan tidak tahu kalau salah masuk kamar semalam.

"Gue sumpah banget nggak ngerti kalau lo ada di sini, gue juga nggak tahu kalau salah masuk kamar. Gue kira ini 206, cewek gue di sana, sumpah!" Andra tunjukkan kalau semalam pintu kamar itu tidak tertutup sempurna, sama seperti hal yang biasa dilakukan para kekasih malam Andra.

Tapi, malam ini dia sungguh-sungguh berjanji pada satu gadis yang ia cintai, bukan untuk sekedar bermain, Amel ada di kamar seberang kamar Jingga.

"Jingga, dengerin gue!" Andra berjongkok di depan gadis yang sudah ia anggap adik itu. "Gue semalem ada pesta di sini, gue beneran nggak sengaja dan nggak tahu kalau ada lo di sini, gue salah masuk kamar dan kita nggak ngelakuin apa-apa, oke. Lo masih perawan dan gue nggak jamah lo sama sekali," jelasnya.

"Jingga tahu, tapi apa kata orang kalau tahu Kak Andra di sini. Banyak orang di sini yang kenal sama kamu dan ayahku, yang ada dipesta itu juga tamu usaha Narendra, kan? Mereka juga nginep di sini, kan, Kak?"

Mati, habis sudah Andra kalau sampai ada yang melihatnya ke luar dari kamar Jingga. Ada beberapa tamu yang tidur satu lantai dan naik bersama dengannya semalam di sini.

Dreeet, dreeet, dreeet ....

"Halo, Andra ... kamu di mana sih?" Amel terdengar meledak-ledak di luar sana.

"Aku di kamar 205," jawab Andra. "Aku salah kamar, Mel."

avataravatar
Next chapter