1 Chapter I Yohana Haremba

Suatu siang di sebuah kelas esema negeri satu Puncak Kapas Kota Eksotik. Baru saja bunyi serine memekakkan kuping pertanda siswa-siswi wajib masuk kelas dan menutup pintu. Mereka siap menerima pelajaran dari bapak dan ibu guru. Hari senin ini adalah pertama kalinya mereka di esema. Beberapa bulan lalu mereka masih mengenakan putih biru esempe. Akhirnya mereka sampai juga pada dunia putih abu-abu. Konon katanya masa putih abu-abu merupakan hal yang terindah serta paling romantis seumur hidup. Perasaan setiap siswa-siswi di kelas itu beragam, tetapi semuanya senang dan bahagia. Wajah-wajah sumringah, senyum yang tersunging serta diam-diam memperhatikan sosok-sosok teman sekelas. Barangkali ada yang menawan hati, roman-romannya semua masih jomblo, alias belum memiliki pacar.

Saat esempe rasa suka itu berbeda, kata orang cinta monyet, mudah dilupakan dan tak berkesan. Sehingga gadis-gadis remaja menunggu saat putih abu-abu memasuki kehidupan mereka. Saat ini mereka bukan lagi gadis kecil melainkan telah menjadi gadis remaja yang ranum, segar dan berseri. Anak-anak esempe memanggil mereka dengan kakak, sebuah panggilan yang membanggakan.

Hingga beberapa menit berlalu guru belum ada yang memasuki kelas, beragam yang dilakukan anak-anak itu. Ada yang mengipasi tubuhnya dengan kertas tipis yang dilipat. Beberapa hanya diam di bangkunya menunggu dan tak melakukan apa-apa. Terdengar sedikit gerumit-gerumit serta kikik kecil antar teman sebangku, celoteh yang dipelankan tentang hal yang viral di kota itu. Kemana ya gurunya? Mungkin menyempatkan pulang, mandi dan mengosok gigi biar wangi napasnya harum dan segar.

Meski sekolah itu cukup besar serta memiliki ruang yang banyak tetap saja tidak bisa menampung keseluruhan siswa. Sehingga anak-anak yang baru masuk atau kelas satu seluruhnya masuk siang. Guru-guru bisa jadi mengajar pada pagi harinya atau siang, bahkan mengajar pagi sekaligus siang. Mungkin sebab itu terjadi keterlambatan. Sudah sepuluh menit sejak sirene tanda masuk berbunyi belum ada tanda-tanda guru yang datang untuk mengajar. Perlahan keadaan itu mulai membuat gelisah anak-anak. Tetapi tidak ada yang berani untuk menyuruh seseorang ke ruang guru. Karena anak-anak itu belum saling mengenal, takut salah langkah.

Tuk...tuk...tuk... bunyi sepatu berlari-lari di tangga. Anak-anak cepat menyiapkan buku di atas meja dan melipat tangan serta duduk tegap. Handle pintu terlihat bergerak dan pintu terkuak. Punggung seseorang terlihat di sana, membuat semua mata dan kepala berpikir punggung siapakah itu? Setelah menunggu beberapa detik sosok itu semakin jelas, semua menghembuskan napas lega. Sebab sosok itu sama seperti mereka, siswa yang baru masuk yakni kelas sepuluh.

"Yohana Haremba? Torangkah itu ha ha ha, kita semua berpikir itu Bapak Guru." Suara bas yang berasal dari belakang, kelompok anak-anak pribumi asli, yakni anak Papua. Kelompok mereka cukup banyak, setengah dari anak-anak di kelas itu terdiri dari anak pribumi asli Papua, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Sedangkan sebagian lagi anak-anak pendatang, orang tua mereka bertugas di kota eksotik tersebut untuk jangka waktu tertentu.

Tak banyak bicara sosok tinggi langsing berkulit hitam, rambut gimbal yang diikat kebelakang menutup pintu dan menuju bangkunya. Tidak ada bangku kosong kecuali di sudut persis berhadapan dengan meja guru. Ke sanalah sosok itu pergi dan duduk. Tidak ada yang mau berhadapan langsung dengan guru. Tak bebas dan tak bisa mencontek, begitu pikiran anak-anak itu. Apa boleh buat, gadis remaja yang tadi dipanggil temannya Yohana duduk di sana.

"He Yohana! jadi torang tidak naik kelas hah? Sama dengan Beta ha ha ha." Terdengar suara dari belakang. Anak-anak mau tak mau mendengar hal itu, sementara gadis yang dipanggil Yohana menoleh dengan sikap tidak suka. "Kurang ajar torang Husein buka-buka rahasia." Gadis itu mengepalkan tangannya. Kelas kembali berisik, tidak ada satu pun yang memiliki kesadaran untuk menjemput guru, malah asyik masyuk bercengkrama.

Tuk...tuk...tuk... suara sepatu. Anak-anak diam dan menunggu dengan sikap tegak. "Selamat siang, maaf Bapak terlambat." Seorang laki-laki yang tegap dan berkharisma berdiri di depan kelas. Ia mengapit tas berwarna hitam mengedarkan pandangan ke setiap penjuru. Agaknya semua bangku terisi penuh. Anak-anak didiknya yang berkulit hitam bertambah banyak mengisi kelas. Sementara yang berkulit coklat dan langsat juga ada separo. Tahun ajaran ini anak didiknya seimbang.

Hal yang membuatnya tersenyum. Pak Guru terlihat segar, rambutnya masih basah dan anak-anak yang duduk paling depan menghirup wangi sabun mandi yang merebak dari tubuhnya. Hemmm wangi. Di sudut bibir pak guru bahkan tersisa sedikit odol yang lama-kelamaan hilang oleh lidah Pak Guru.

"Hari ini, terlebih dahulu kita berbincang-bincang santai ya, memperkenalkan diri biar saling mengenal." Pak Guru lantas ke mejanya menaro tas dan duduk di pinggiran meja. "Baiklah perkenalkan nama saya Oe Saputro, mengajar biologi dan saya sekaligus menjadi wali kelas kalian." Anak-anak mendengarkan dan merasa akan menyukai wali kelas mereka ini, sebab terlihat familiar. Ia lantas mengambil buku absen dan mulai memanggil satu demi satu, setiap kali ia memanggil dan ada yang menunjuk tangan ia memandangi wajah si anak.

Hingga tiba pada Yohana Haremba, Pak Guru memandangi gadis asli Papua tersebut. "Yohana, saya senang melihat kamu." Pak Guru tersenyum, menatapi anak didiknya. "Kenapa saya senang? Sebab Yohana salah satu anak perempuan dari pedalaman yang mau bersekolah." Pak Guru mengerutkan keningnya lantas mengingat-ingat sesuatu. "Saat Bapak pertama kali datang dari Jawa dan bertugas di sekolah ini, sangat sedikit anak-anak Papua yang bersekolah. Bisa dihitung dengan jari. Tetapi perlahan anak-anak dari pedalaman mau bersekolah, kebanyakkan berhenti di esempe. Luar biasa Yohana lanjut ke esema."

Pak Guru memandangi gadis berkulit hitam dengan rambut gimbal tersebut. Ia merasa kagum akan perjuangan anak-anak pedalaman ke sekolah. Sedangkan gadis yang tengah dibicarakan hanya tertunduk, agaknya ia tidak senang mendapat perhatian dari semua anak-anak teman sekelasnya. Yohana Haremba merupakan putri sulung seorang kepala suku pedalaman. Ayahnya yang sederhana ingin sekali putrinya bersekolah seperti gadis-gadis muda pendatang yang memenuhi daerah mereka. Karena itu sejak kecil Ayahnya telah naik kapal menyebrang lautan untuk mengantar putrinya ke sekolah. Mulai dari sekolah dasar hingga akhirnya esema.

Yohana melewati sekolahnya dengan susah payah, sering tinggal kelas, tetapi ayahnya terus membujuk agar ia mengulang agar lebih pintar. Kali ini pun sebenarnya Yohana tidak mau sekolah, alasannya cape belajar. Tetapi Ayahnya membujuk dan akan membelikan Yohana handphone jika ia mau berangkat ke sekolah. Jadilah dia sekarang ada di kelas.

"Baiklah, jadi kalian sekarang sudah memiliki wali kelas, ketua murid dan sekretaris. Ok! Kalian yang telah memilih jadi harus mematuhi mereka, agar proses belajar dan mengajar berjalan dengan baik." Pak Guru yang merupakan wali kelas mereka banyak berbincang mengarahkan anak-anak didiknya agar belajar tekun dan penuh tanggung jawab. Dua jam terlalui dengan cepat. Pak Guru selesai tanpa memberikan materi pelajaran apa pun tetapi meminta anak didiknya selanjutnya untuk siap belajar biologi bersamanya.

Kelas kembali gaduh, anak-anak tentu saja baru berani berkomentar tentang wali kelas dan apa yang dipesankan oleh beliau. Ketua murid mengetuk-ngetuk meja menghentikan kegaduhan. Yohana menolehi teman-teman sekelas di belakang. Ia ingin sekali mengenal mereka. Seperti apa teman-temanya sekarang? Apakah acuh dan tak perduli padanya? Setahun yang lalu ia sudah menjadi siswa sekolah itu. Ia sama sekali tidak memiliki teman. Gadis-gadis remaja pendatang di kota itu hanya melihatnya sebagai sesuatu yang unik. Dipandangi sejenak lantas pergi meninggalkannya.

Yohana teringat ayahnya, laki-laki asli tanah Papua yang perkasa. Ia yang memimpin upacara adat setiap kali bulan bersinar terang. Ayahnya yang ingin dirinya sekolah setinggi mungkin. "Yo, torang harus sekolah tinggi, menjadi orang pintar dan bekerja di kantor, Beta akan urus semua keperluan sekolah torang hingga titik darah penghabisan, jangan kecewakan beta!" Wajah laki-laki itu bersungguh-sunggah. Rahangnya mengatup keras, dan tombak di tangannya di hujamkan ke tanah. Yohana takut pada laki-laki itu. Terpaksa ia menuruti kepala suku dari daerah pedalaman di sebrang lautan.

avataravatar
Next chapter