webnovel

CINTA PERTAMA (Non Exclusive)

Tumbuh besar bersama membuat Inggita Desiana dan Anggi Pratama memiliki hubungan erat. Masing-masing dari mereka sangat memahami dan juga saling melengkapi kekurangan. Seiring bertambahnya usia, perlahan rasa persaudaraan di antara keduanya mulai berubah. Inggita diam-diam menyimpan rasa lebih dari sekedar sahabat kepada Anggi. Selama ini Inggit hanya bisa memendam rasa cintanya karena tak ingin hubungan di antara mereka menjadi absurd. Ketika Anggi mulai menetapkan hati untuk Kania mantan seniornya di kampus, Inggita akhirnya memutuskan untuk mencoba mengatakan perasaannya kepada Anggi. “We’re just friend, Inggita!” tegas Anggi saat membalas penyataan cinta Inggit. Bagaimana kisah mereka selengkapnya?

Hanyeoreum_30 · Urban
Not enough ratings
1 Chs

Bab 01

Ting.

Sebuah notif muncul dilayar ponsel seorang gadis yang tengah asik mengotak-atik mengolah data dilayar komputer. Jari-jari lentiknya yang tengah asik bergerak-gerak lincah diatas keyboard seketika terhenti.

"Tumben dia wa duluan," ucapnya saat membawa nama si pengirim pesan. Wajahnya yang tengah serius seketika mengendur sejenak membaca pesan dari orang spesial.

Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas hanya karena notif dari sahabat sekaligus pria yang selama ini diam-diam ku cintai.

[Inggiiiitttt!!]

[Ya Nggi. Ada apa? Tumben wa gue duluan.]

[Jadi, gue ngga boleh wa duluan gitu? *facesad]

[:D Just kidding. Pundungan ih. Kenapa?]

[Elo ada jadwal ngga minggu depan?]

[Minggu depan? (*emot mikir) Ngga ada kayaknya. Kenapa memangnya?]

[Yes!! Gue mau ngajakin elo liburan ke Yogyakarta minggu depan. Mau ngga? Mumpung long weekend. Mau ya. Please..(emot kedua tangan bersatu)]

Inggit terdiam sejenak.

"Memang minggu depan long weekend ya? Gumamnya sambil memperhatikan kalender meja yang ada disamping layar komputer dan ternyata benar. Ada libur panjang minggu depan.

[Oke. Gue ikut. Tapi siapa aja ini yang berangkat? Cuma berdua aja, Nggi?]

[Iyalah berdua. Mau ajak siapa lagi memangnya?]

[Ya siapa tahu elo mau ajak anak-anak yang lain gabung atau mungkin gebetan.]

[Elo ngejek ya. Kalo gue punya pacar ngapain juga gue ngajakin elo. Udah ya fiks minggu depan kita berangkat. Gue mau pesen tiketnya dulu. Jangan lupa kirimin no KTP lo buat data. Bye]

Inggit merogoh dompet lalu memfoto ktp dan mengirimkannya kepada Anggi.

"Holiday I'm coming…."

[Oh iya gue hampir lupa. Ajakin Ibu Nggit. Biar sekalian kita nyekar ke makam Ayah. Ibu pasti udah kangen banget pengen nyekar ke makamnya Ayah.]

Nah kan gimana gue ngga makin cinta sama dia kalau perhatiannya sama keluarga gue tetap intens.

[Oke deh. Nanti gue tanya ibu dulu ya. Kalo Ibu setuju nanti gue kirim data-data punya Ibu.]

[*jempol]

Inggit menyimpan handphonenya di atas meja. Ia ngga sabar ingin minggu depan segera tiba. Baru membayangkan saja sudah sangat menyenangkan. Sudah lama keduanya tidak travelling bersama karena kesibukan masing-masing.

Makanya saat Anggi mengajak pergi berlibur, sudah pasti langsung Inggit mengiyakan. Kapan lagi kan liburan bareng sekalian jengukin Eyang Uti di kampung. Sudah lama juga Inggit ngga pulang ke kampung tengokin Ayah dan keluarganya di Yogya.

***

Di rumah.

"Bu Inggit mau minta ijin main ke ke Yogya sama Anggi minggu depan ya. Sekalian tengokin Ayah dan keluarga disana," ucap Inggit saat membantu Selpi memasak untuk makan malam mereka.

"Ya sudah pergilah. Titip salam dari ibu buat keluarga disana ya."

"Iya nanti disampaikan. Ibu ngga mau ikut?"

"Ibu kepengen banget ikut tapi udah tanggung janji mau bantuin Bu Mala di kampung sebelah mau hajatan. Lumayan kan uangnya."

"Yah ibu. Ayah pasti seneng Ibu datang ke rumah." Selpi tersenyum. "Ayah mu orang yang sangat pengertian nduk. Tanpa dijenguk Ibu, Ibu rajin mengirimi doa untuknya. Insya allah kalau ngga ada halangan, Ibu pergi sendiri ke Yogya buat ketemu Ayah mu."

"Ya udah deh. Berarti cuma Inggit dan Anggi aja kan yang pergi minggu depan?"

"Iya. Oh iya nanti ingetin Ibu ya beberapa hari sebelum berangkat. Ibu mau buatin Eyang mu makanan kesukaannya."

"Oke."

Ibu dan anak itu menikmati makan malam bersama diselingi obrolan dan canda tawa. Sedih rasanya sudah satu tahun Ayah meninggalkan aku dan Ibu gara-gara serangan jantung.

Purnomo Wicaksono dimakamkan di tanah kelahirannya di Yogyakarta. Karena tinggal di Bandung, Inggit dan Selpi tidak bisa sesering itu mengunjungi Purnomo. Tapi hampir setiap saat mereka selalu berdoa agar Purnomo diberi tempat yang paling indah disisi-Nya.

***

Hari keberangkatan pun tiba. Dua hari sebelum keberangkatan Inggit sudah mempersiapkan barang-barang yang akan dibawa termasuk oleh-oleh untuk sanak saudara yang ada disana.

Ia juga sudah menghubungi Pamannya mengenai kedatangannya dan Anggi ke Yogya. Selpi juga sudah menyiapkan makanan kesukaan Eyang yaitu Pais peda sambel hejo alias pepes ikan asin peda sambel hijau.

Inggit menunggu kedatangan Anggi yang baru saja pulang kerja. Rencananya malam ini dia akan menginap dirumah karena jarak dari rumah ke stasiun kereta cukup dekat. Tentu saja hadirnya Anggi dirumah disambut baik oleh Selpi.

Setelah solat subuh, keduanya pun pamitan untuk segera pergi ke stasiun karena jadwal kereta pagi hari. Setibanya di sana Inggit merasa ada yang aneh dengan sikap Anggi.

Tidak. Lebih tepatnya dia sudah bertingkah aneh sejak semalam. Inggit tidak ingin berpikiran negatif. Setelah menunggu beberapa saat, kereta api yang akan membawa keduanya menuju Yogyakarta pun tiba.

Inggit dan Anggi menggeret koper menuju gerbong dimana tempat duduk yang kami pesan berada. Setelah membereskan barang-barang kami berdua pun duduk berdampingan.

Inggit sengaja memilih kursi di dekat jendela agar bisa melihat pemandangan dari luar kereta. Lagi-lagi Anggi kembali sibuk dengan ponselnya dan mengabaikannya yang tengah bercerita.

"Anggi! Sebenernya elo dengerin gue ngomong ngga sih." Inggit memberengut kesal. Anggi menolehkan kepala ke arah gadis disampingnya.

"Eh sorry Nggit. Elo cerita apaan tadi?"

"Tuh kan!!"

"Sorry sorry. Gue lagi kagok balas chat tadi." Anggi membenarkan posisi duduknya. "Oke gue dengerin elo cerita. Jadi, elo mau cerita apa?"

Gairahnya untuk bercerita sudah menguap entah kemana. "Ayo buruan. Katanya mau cerita. Gue siap dengerin elo malah manyun. Giliran ngga di dengerin elo ngambek. Gimana sih."

Ia mendengkus. Lagi-lagi Anggi sibuk dengan ponselnya.

"Elo kenapa sih, Nggi. Dari tadi cengar cengir ngga jelas."

"Hah? Masa sih?" jawabnya tanpa sadar masih cengar cengir. "Perasaan elo aja kali."

"Iya. Elo cengar cengir kayak orang gila."

Inggit menunjuk wajahnya yang sumringah membaca pesan di ponselnya. "Awas! Entar ke samber setan lu."

"Elu dong setannya," celetuknya sambil tertawa.

"Kampret lu!!"

Inggit memalingkan wajahnya pura-pura kesal. Padahal melihatnya tertawa jantungku jumpalitan.

Sialan! gue sama sekali ngga bisa beneran marah sama dia. Di senyumin aja gue luluh. Sebel banget kan!! Rutuknya dalam hati.

Inggit masih penasaran dengan apa yang membuat Anggi terus menerus tersenyum sendiri. Ia menolehkan kepalanya pelan-pelan bermaksud untuk mengintip apa yang dikerjakannya.

"Chat sama siapa sih? kepo nih gue!!"

Tangannya sempat berhasil merebut ponsel tapi Anggi langsung mengambilnya lagi.

"Kepo lu anak kecil!" ucapnya becanda tapi entah mengapa Inggit kesal dikatai seperti itu.

"Enak aja lu kalo ngomong. Gue udah dewasa!"

Anggi malah mentertawakannya. Tangannya mengacak-acak rambut Inggit.

"Eh elu mau beli minuman apa? Gue mau ke cafetarianya nih." Anggi mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Ngga. Gue ngga haus."

"Ya sudah. Gue ke cafetaria dulu ya." Tanpa menunggu balasan, Anggi pergi menuju gerbong lain dimana Cafetaria berada. Air mata Inggit menetes tanpa aba-aba. "Cengeng banget sih, Inggit!"

Ia beranjak dari kursinya ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang mulai memerah karena air matanya yang keluar. Setelah keluar dari kamar mandi Anggi sudah duduk di kursinya. Tak lupa segelas kopi instan yang dibelinya dan beberapa bungkus snack.

"Dari kamar mandi?" tanyanya saat Inggit kembali duduk di sampingnya. "Hm.."

"Mau kopi ngga?"

"Ngga. Entar ngga bisa molor gue."

"Ck... Kagak lah. Elo kan kebo. Mau minum kopi apapun juga molor mah tetap molor."

"Ya sudah lu saja yang minum kopinya."

"Beneran nih ngga mau?"

"Ih Anggi! Bawel ah. Gue mau molor!" Lagi-lagi dia malah tertawa.

Inggit mengeluarkan peralatan perang yang dibawa dari rumah. Ada minyak telon, penutup mata dan juga bantal leher.

"Dasar! Anak kecil...Kemana-mana bawa minyak telon."

"Dibilangin gue bukan anak kecil. Gini gini gue sudah bisa bikin anak kecil tahu," ucapnya menegaskan. Anggi tertawa terbahak-bahak.

"Mana ada anak kecil bikin anak kecil."

"ANGGI PRATAMA!!"

Pria itu tertawa semakin kencang. Untungnya gerbong mereka sepi dan hanya ada beberapa orang saja yang mengisi.

Selama menikmati perjalanan dari Bandung menuju ke Yogya, tidak ada keanehan yang terjadi. Setibanya di Stasiun Tugu-Yogyakarta, barulah Inggit menyadari semua keanehan tingkah Anggi selama perjalanan.