webnovel

Aku Akan Selalu Menjagamu

Oke, ini memang salah Farani. Meski berusaha bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, tetap saja rasa canggung tak dapat dielakkan. Mungkin ini yang dimaksud oleh Fareza. Mau sebaik apapun Sita, tetap saja dia seorang laki-laki. Dan begitulah sikap seorang laki-laki, selalu bisa memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.

"Maaf, gue udah berusaha nahan, tapi ngeliat lo dari deket gue jadi pengen ngelakuinnya."dengan penuh penyesalan Sita meminta maaf.

Dia akui, menahan diri itu gampang gampang susah. Semua terasa mudah saat dia bertekad untuk menjaga dan melindungi orang yang disayangi. Tapi itu juga akan terasa susah saat pendiriannya yang teguh selalu mendapat godaan.

Teringat peristiwa saat dia masih kuliah, ciuman antar pasangan itu hal yang biasa dalam hal pacaran. Jangankan pacaran, mereka yang baru bertemu saja ada yang langsung main kiss penuh gairah. Sebagai lelaki yang normal, tentu Sita juga menginginkan hal yang dianggap umum dan biasa oleh beberapa orang seperti beberapa temannya itu.

"Gue nggak bakal ngulangin lagi." kali ini Sita bahkan tidak berani menatap mata Farani saking menyesalnya.

Sita sadar bahwa apa yang telah dilakukannya itu melukai perasaan Farani.

Pasrah dengan segala keputusan yang akan diambil oleh Farani, Sita hanya bisa menundukkan kepalanya. Farani yang duduk disampingnya terdiam seribu bahasa, bahkan Farani tidak merespon apa yang Sita katakan barusan.

"Kalo lo berencana marah, gue terima. Tapi jangan lama-lama ya."

Mendengar perkataan Sita, mau tak mau Farani tersenyum. Segera Farani menyembunyikan senyumnya dan berkata dengan nada marah kepada Sita, "mana ada orang marah disuruh jangan lama-lama? Suka suka yang marah lah."

""Gue nggak suka liat lo marah."

"Suka suka gue lah mau marah berapa lama. Yang marah kan gue, kenapa lo yang sewot?"

"Gue nggak sewot, gue cuma ngasih saran." sebuah senyum tersinggung di wajah Sita. Masih tidak mempan, Sita lalu mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum makin lebar.

Tak tahan melihat tingkah pacarnya, mau tidak mau Farani ikut tersenyum.

Awalnya Farani memang marah besar, tapi setelah mengetahui usaha Sita untuk meluluhkan hatinya, siapa yang tega untuk marah terlalu lama dengan pacar yang imut seperti itu? Ditambah lagi kata-katanya untuk tidak marah terlalu lama. Menerima permintaan maaf Sita, Farani memberinya pelukan penuh makna.

"Gue bukan mau sok suci, tapi gue butuh waktu untuk bisa memulai sesuatu yang serius." Farani menjelaskan alasan dia marah.

"I give my word. Gue nggak akan tiba-tiba kek gitu lagi."

Begitulah, pasangan tidak jelas itu berbaikan setelah pertengkaran kecil. Dalam menjalin sebuah hubungan, terkadang perlu ada sedikit konflik untuk mendekatkan satu sama lain.

"Ayo masak, gue udah laper." Farani bangkit dari duduknya dan berjalan ke dapur untuk memasak.

*

Agenda Farani malam ini adalah video call dengan Raffi.

Berusaha cuek dan sok berani, Farani telah mempersiapkan beberapa film dan buku yang akan dia gunakan untuk melawan rasa takutnya. Sita memang menawarkan diri untuk menemaninya selama Ayah dan Bunda pergi, tapi dengan percaya diri, Farani menolaknya.

Segala bentuk cemilan sudah berserakan di meja ruang tengah. Beberapa menit lagi Raffi dan Farani akan memulai video call mereka.

"Adek." Sapaan riang ala Raffi terdengar.

"Hahoy Raffi. Apa kabar disana?" tak kalah heboh, Farani menyapa balik Raffi.

"Kok tumben rumah sepi?"

"Iya, Ayah sama Bunda lagi honey moon ke Bali. Seminggu full coba." Jelas Farani kepada Raffi.

"So, lo di rumah sendiri?" tanya Raffi, memastikan.

Anggukan Farani menjawab pertanyaan Raffi.

"Are you sure?" sekali lagi Raffi memastikan. Dan sekali lagi pula Farani menganggukkan kepala.

Perlu usaha ektra bagi Raffi untuk memperbaikihubungannya dengan Farani. Setelah ungkapan pernyataannya kepada Farani sebelum dia berangkat ke Paris itu, baik Raffi maupun Farani berada dalam fase canggung. Beberapa minggu setelah Raffi menetap di Paris, barulah dia memiliki keberanian untuk menghubungi Farani.

"Jangan lupa kunci pintu. Trus pesen juga sama satpam buat ekstra jagain sekitar rumah."

Farani mengangguk sambil mengunyah keripik kentang yang tadi dibelinya di minimarket dekat rumah.

"Kapan lo bakal balik?" tanya Farani, mengganti topic pembicaraan.

"Kayanya 2 tahun lagi. Ongkosnya belum cukup." Jawab Raffi.

"Jam berapa disana sekarang?"

"Ini jam 2 siang. Lagi turun salju di luar."

"Woah, keren dong." Dengan mata berbinar, Farani terlihat penuh perhatian pada topic itu.

Maklum, Farani belum pernah menikmati salju. Maka dari itu, Farani bercita-cita untuk liburan ke Negara empat musim untuk menikmati salju.

"Kesini gih, nanti gue traktir siput."

"Makasih." Farani menjawab ambil mencibir. "Enak ya hidup di Negara empat musim. Gue ngiri deh."

"Lulu juga empat musim kan?"

"Iya, tapi katanya dia lagi musim panas."

"I miss you." Raffi selalu mengucapkan kalimat itu setiap kali mereka melakukan video call.

Mendengar kata-kata yang diucapkan Raffi membuat Farani tidak nyaman. Bagaimana dia bisa terus menganggap Raffi hanya sebagai teman sedangkan Raffi selalu bersikap lebih dari seorang teman.

"Gimana kabar Sita?" berusaha mengalihkan pembicaraan, Raffi mengganti topik.

"Baik." jawab Farani singkat. "Raff, gue nggak benci sama lo, tapi gue harus punya batasan karena gue udah punya pasangan. Paling nggak buat saat ini. Gue harap lo bisa menghargai keputusan gue."

Di layar laptop Farani, tampak Raffi mengangguk perlahan. "Maaf kalo gue bikin lo nggak nyaman. Gue nggak akan ngulangin. Tapi gue akan tetap punya perasaan yang sama buat lo."

"Itu hak lo untuk suka sama siapa aja. Tapi lo juga harus menghargai perasaan orang lain."

"Thank you."

Tak berselang lama, Lulu ikut bergabung dengan video call itu. Menghidupkan suasana yang awalnya canggung karena pembicaraan pribadi itu. Farani belum menceritakan apa yang terjadi antara dirinya dengan Raffi. Selain menunggu waktu yang tepat, Farani merasa dia masih bisa mengatasi apa yang terjadi dengan pemikirannya sendiri.

Pukul 11 malam di Jogja, Pukul 5 sore di Paris, dan pukul 3 pagi untuk Sydney.

Melihat jam yang sudah menunjukkan hampir tengah malam, Farani undur diri. Tadi saat bersama Sita, dia berjanji untuk tidur sebelum pukul 12 malam.

"Kayanya cuma gue yang masih terang benderang ya." ucap Raffi.

"Iya, ini udah hampir subuh disini. Rasanya tenang banget." balas Lulu menregangkan badannya.

"Dan disini jam 11 malem, hampir tengah malam."

"Ya udah, kalian istirahat dulu. Kita sambung lagi lain waktu. Jangan lupa sering-sering cek email, kali gue ngasih kabar baik buat kalian." lalu Raffi mematikan sambungan.

Setelah berpamitan, Lulu dan Farani juga mematikan sambungan video call.

Dengan langkah lemas, Farani berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Setelah selesai mencuci muka dan gosok gigi, Farani bersiap tidur saat mendengar HPnya mendapat pesan masuk.

'Kenapa jam segini baru tidur?'

Kaget, Farani lalu bangun, memeriksa keadaan di luar. Disana, didepan pintu masuk Beethoven no. 15, CRV berwarna putih terparkir. Itu mobil Sita. Setengah berlari, Farani menuruni tangga menuju pintu keluar.

"Ngapain lo disitu?"

"Patroli."

"Ini kan udah malem. Besok lo juga harus kerja kan?" dengan penuh khawatir Farani bertanya.

Tak pernah terbersit sedikitpun pemikiran bahwa Sita akan melakukan hal yang tak masuk akal ini. Perjanjian mereka tadi siang adalah Farani akan tidur di rumah sendiri, dan jam tidurnya adalah sebelum pukul 12 malam.

Oke, Farani memang tidur sendiri, Farani memang tidur sebelum jam 12 malam. Itu beberapa menit yang lalu, sebelum Sita mengiriminya pesan. Juga sebelum dia melihat mobil putih itu terparkir di depan rumahnya.