webnovel

17-KEMBALI KE KAMPUS

Menjadi istri itu bukan hanya sekedar status semata, tapi juga harus bisa melakukan tugasnya lahir dan batin. Begitu juga suami yang bukan hanya sekedar menyandang status, tapi juga harus bisa menafkahi istri lahir dan batin.

Suami istri itu ibarat sepasang kaki yang saling membutuhkan. Mereka tidak akan bisa berjalan tanpa kaki lainnya. Meski bisa dibantu dengan tongkat, tetap saja akan tersandung dan lebih mudah terjatuh.

Sebagai seorang istri, aku ingin memperlakukan suami layaknya seorang raja dan mencintainya seperti seorang pangeran, tapi aku juga tidak lupa untuk terus mengingatkan suamiku bahwa dia hanyalah hamba Allah.

Pagi ini aku membuatkan sarapan roti bakar untuk Arthan. Katanya dia bangun kesiangan karena sempat tidak bisa tidur semalam, jadi kubawakan rotinya serta segelas teh hangat ke kamar.

"Lain kali, kamu tidak perlu membawakan sarapan ke kamar," kata Arthan cuek sambil memakai sepatu.

"Apa salahnya kalau aku melakukan tugasku sebagai seorang istri?"

"Saya 'kan sudah pernah bilang sama kamu, kalau kamu tidak perlu melakukan tugasmu sebagai seorang istri kecuali didepan keluarga kita." Penegasan itu seolah memberi jarak padaku agar mundur selangkah dari Arthan.

Dia sama sekali tidak menyentuh sarapannya, dan langsung keluar kamar begitu saja. Tapi ada satu hal yang tertinggal, maka dari itu aku segera mengejar Arthan sebelum dia menutup pintu.

"Arthan, boleh aku ... mencium tanganmu?" tanyaku.

Bukannya menjawab, laki-laki itu malah terdiam sambil mengernyit. Mungkin dia heran, sebab selama ini tidak pernah ada wanita yang mau mencium tangannya sebelum dia berangkat bekerja. Aku pun menarik tangan kanan Arthan dan menciumnya dengan hangat.

"Hati-hati dijalan, jangan lupa sarapan dan makan siang," pesanku padanya.

Arthan menarik tangannya setelah mendapat ciuman dariku. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, dia pun pergi. Aku hanya bisa mendo'akan semoga arsitek itu diberi kemudahan dalam setiap pekerjaannya.

Pandangan mataku beralih ketika mendengar suara pintu dibanting dari arah belakang. Itu pintu kamar Windi, gadis itu baru saja keluar dengan seragam sekolah yang sudah melekat di tubuhnya.

"Kamu mau langsung pergi sekolah?" tanyaku.

"Iya, aku sudah telat. Minggir!" Windi mendorongku dari hadapannya.

Untung aku tidak sampai jatuh, hanya punggung yang membentur tembok dengan sedikit keras. Ya, ampun. Kenapa semua orang jadi bangun kesiangan hari ini? Padahal aku selalu bangun tengah malam untuk sholat sunnah, tapi tidak pernah bangun kesiangan.

Ah, sebaiknya aku juga bersiap, karena sebentar lagi harus berangkat ke kampus untuk memulai kuliah pertamaku setelah beberapa bulan berhenti.

Oma sudah selesai sarapan, mama dan papa juga sudah berangkat ke air port sejak tadi, kini waktunya bagiku untuk berangkat ke kampus. Oma membekaliku beberapa lembar uang merah, padahal aku bilang tidak usah, tapi dia tetap memaksa.

"Terima kasih, Oma. Kalau begitu aku berangkat. Aku janji, sebelum makan siang nanti aku sudah ada di rumah," kataku sambil mencium punggung tangannya.

"Jaga dirimu baik-baik. Nanti Oma akan suruh Arthan untuk menjemputmu," katanya pula.

Mobil di rumah ini ada tiga, satu di pakai Arthan, satu di pakai papa dan mama ke air port, dan satu lagi di pakai Windi ke sekolah. Tentu saja bukan Windi sendiri yang menyetir, karena masih belum di perbolehkan oleh orang tuanya.

Berhubung semua mobil di pakai, jadi aku terpaksa memanggil taksi. Untungnya hari ini macet, jadi aku bisa sampai di kampus dengan cepat. Sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kaki di gedung ternama ini, dan sekarang akhirnya aku bisa kembali berada disini.

Segeralah aku masuk dan mencari kelas yang harus kuikuti pagi ini. Untungnya hari ini hanya ada satu kelas, jadi aku bisa pulang lebih cepat.

"Nadia?" Seseorang menyebut namaku dengan posisinya yang berdiri di belakangku.

"Ridho?" Aku tersenyum ketika melihat siapa orang itu. Dia adalah teman dekatku di kampus, sudah lama sekali aku tidak melihatnya, sampai-sampai aku pangling melihat gaya rambutnya yang baru di cat cokelat.

"Ya ampun, kamu masuk kuliah lagi? Kupikir kamu sudah berhenti kuliah," katanya yang kini berjalan di sampingku.

"Iya, aku memang sempat berhenti kuliah, tapi sekarang aku bisa menyambung kuliah lagi," jawabku antusias.

"Alhamdulillah, aku ikut senang mendengarnya. Kamu tahu? Aku rindu sekali padamu, sejak kamu berhenti kuliah, tidak ada lagi orang yang bisa kujahili."

Kami mengobrol banyak selama perjalanan menuju kelas. Kebetulan aku dan Ridho mengikuti kelas yang sama, sebab kami memilih jurusan yang sama. Ridho itu sangat baik, dia selalu ada di dekatku setiap kali aku membutuhkannya.

Begitu juga sebaliknya. Hal itu membuat kami sangat dekat. Bahkan aku tidak segan-segan bercerita masalah kehidupan pribadiku padanya.

"Eh, Nadia. Kamu masuk kuliah lagi?" tanya salah satu teman wanitaku yang bisa dibilang cukup dekat denganku.

"Iya, May. Alhamdulillah akhirnya aku bisa kuliah lagi," jawabku ramah.

Wanita bernama Maya itu duduk di depanku, sementara Ridho duduk di sampingku. Kebetulan bentuk kelas yang kuikuti sekarang ini memiliki susunan kursi yang mirip seperti tribun stadion, jadi Mayar harus mendongka ke atas ketika melihatku dan Ridho.

Entah kenapa, aku merasa Maya menatap Ridho dengan aneh. Mereka menggunakan kode mata yang sama sekali tidak kuketahui artinya. Tapi aku berusaha cuek dan fokus pada mata kuliah sampai selesai.

"Baiklah, sepertinya aku harus pulang duluan," kataku ketika kelas berakhir.

"Lho, kok pulang? Buru-buru sekali." Ridho kelihatan kecewa.

"Iya, aku masih ada urusan. Aku duluan, ya!"

"Yah, Nad. Padahal Ridho mau ngomong sesuatu sama kamu," sesal Maya pula.

"Lain kali saja, deh. Aku buru-buru, nih. Assalamu'alaikum!"

Setelah mendengar jawaban salam dari mereka, aku pun bergegas keluar gedung. Hijab pasmina yang kugunakan berkibas kesana-kemari ketika terkena hembusan angin. Di area depan lobby memang selalu banyak angin yang berhembus, jadi rok ku juga ikutan bergoyang.

Disaat aku sedang memesan taksi, tiba laman ponsel berganti sendiri ke aplikasi whatsapp ketika ada orang yang melepon. Bukan bapak atau ibu, tapi Arthan yang menelepon. Tanpa menunggu lagi, segeralah aku tekan tombol hijau di layar.

"Halo, assalamu'alaikum. Kenapa, Arthan?" tanyaku.

[Kamu dimana? Saya sudah menunggu kamu di parkiran]

Sontak, aku langsung menoleh ke parkiran. "Lho, ngapain kamu disana? Bukannya kamu harus kerja?"

[Oma suruh saya jemput kamu, sekalian saya mau ngomong sesuatu. Kamu dimana?]

"Aku di depan lobby," jawabku polos.

[Diam disitu, saya akan kesana sekarang]

Sambungan telepon terputus, padahal aku belum sempat menjawab iya atau mengucap salam. Hm, dasar Arthan.

Tak perlu menunggu lamar, mobil Arthan pun terparkir di depan lobby. Kebetulan jarak lobby dan area parkir tidak terlalu jauh, kecuali kalau parkirnya di basement. Mungkin akan membutuhkan waktu lebih dari lima menit.

"Masuk!" titah Arthan dari dalam mobil.

Aku pun menurut dan masuk untuk duduk di samping kursi kemudi. "Padahal aku udah bilang sama oma kalau aku bisa pulang sendiri," kataku.

"Ini juga kebetulan, karena sebenarnya saya mau ketemu sama kamu."

"Hm? Tumben, kangen, ya?" tanyaku sedikit kege-eran.

"Jangan kepedean. Saya mau ketemu sama kamu karena saya mau ngasih tau, kalau nanti malam ada acara perayaan usahawan muda, dan saya mau ajak kamu kesana."

Bingung, aku pun kembali bertanya, "Kenapa harus ajak aku? Kenapa nggak ajak pacar kamu aja?" Nada bicaraku sedikit berubah ketika melihat gantungan didepan dash board mobil yang bertuliskan nama Olivia.

"Disana ada om saya, dan dia tahunya saya sudah nikah sama kamu. Dia bisa curiga kalau saya ajak Olivia ke sana."

Mengangguk paham, aku pun menuruti permintaan Arthan. Meski ada rasa sedikit tak suka dengan keberadaan gantungan itu, tapi aku tak bisa apa-apa. Sebab aku tak punya kekuasaan apapun untuk marah pada Arthan.

Next chapter