webnovel

14-PACAR ARTHAN

Sore-sore begini memang paling enak menikmati waktu bersantai, aku juga tak mau membuat oma tak nyaman dengan keberadaanku di rumah ini. Untuk itu aku membantu dia menikmati waktu bersantainya dengan maksimal.

Sambil duduk di kursi goyang, aku pun memijit kakinya dengan pelan, berharap bisa mengurangi sedikit rasa pegal akibat seharian beraktivitas.

Pikiranku masih terus melayang pada sebuah kalimat singkat yang sempat terbaca di buku diary Windi. Sebenarnya aku tidak berniat membaca, tapi semua itu terjadi karena ketidaksengajaan dan aku tidak bisa menghentikannya.

Dalam islam sendiri, mencintai lawan jenis yang masih menjadi keluarga adalah haram. Kecuali saudara sepupu, itu masih di perbolehkan. Tapi tetap saja, ada konsekuensinya masing-masing. Tapi aku tidak tahu, apakah Windi benar-benar mencintai sepupunya sendiri atau ... entahlah, aku tak mau menduga-duga.

"Nadia, kamu dengar 'kan apa yang Oma bicarakan?"

Aku tersentak ketika oma berkata sambil menepuk pundakku sedikit keras, membuat lamunanku terhenti dan langsung mendongak ke atas untuk memperhatikan lebih jelas apa yang oma katakan.

"Eh, maaf, Oma. Aku tidak fokus, tadi Oma bilang apa?" Sedikit malu, takut oma merasa tidak diperhatikan.

"Apa yang kamu pikirkan? Kelihatannya masalah berat. Kamu dan Arthan tidak ada masalah apa-apa 'kan?"

Aku menggeleng. "Tentu saja tidak, Oma. Aku hanya ... kepikiran soal bapak." Lagi, aku kembali mengatakan hal yang bertentangan dengan kebenaran.

Alhamdulillah, oma tipe orang yang langsung percaya dan tidak mau bertanya lebih lanjut tentang apa yang baru saja kuucapkan. Dia malah tersenyum dan kembali memejamkan mata, meski aku tahu kalau dia tidak tidur.

Aku juga tidak mau memilirkan ini, tapi tentang foto di bawah bantal Arthan juga memuatku jadi kurang fokus. Seharusnya aku tidak begini, lagi pula itu urusan Arthan yang sama sekali tidak ada hubungannya denganku. Ingat, Nad. Kamu tidak boleh ikut campur urusan pribadi satu sama lain. Itu isi surat perjanjiannya.

"Oma senang sekali melihat Arthan menikah dengan kamu, Oma merasa kamu memang istri yang tepat untuk Arthan," kata oma yang kali ini bisa kudengar dengan baik.

"Untungnya Arthan lebih sayang pada Oma-nya ketimbang pacarnya yang kurang ajar itu, jadi dia mencari wanita lain untuk dijadikan sebagai istri. Dan terbukti, kamu jauh lebih baik dari pada wanita itu," sambung oma lagi mengelus kepalaku.

"Pacar? Arthan punya pacar, Oma?" tanyaku yang mulai penasaran dengan cerita oma.

"Iya, Arthan punya pacar. Pacarnya itu teman sekampusnya dulu." Oma pun memulai ceritanya mengenai wanita yang katanya pacar Arthan.

Nama wanita itu adalah Olivia, dia termasuk wanita berprestasi di dunia perkuliahan dengan mengambil jurusan dibidang modeling. Mereka sudah berpacaran kurang lebih tiga tahun, dan Arthan sudah menyiapkan diri untuk menikahi Olivia.

Oma mengaku, semua anggota di keluarga ini sangat menyukai Olivia kecuali dirinya. Alasannya? Ya karena oma tidak suka pada wanita yang suka main ke klub. Tempat itu identik dengan orang-orang buruk, dan sudah tentu Olivia juga termasuk diantaranya.

Selain itu, oma juga tidak suka pada Olivia karena sering membawa Windi keluar dan pulang larut. Baginya wanita itu sudah membawa pengaruh buruk untuk si cucu bungsu.

"Makanya, Oma itu bersyukur sekali kalau Arthan menikah sama kamu. Jangan pernah tinggalkan Arthan, ya? Kamu sangat dibutuhkan di keluarga ini," pesan oma di akhir ceritanya.

Melebarkan senyum, mengangguk dan berkata jika aku memang benar-benar akan selalu berada di sisi Arthan. Meski aku tahu bahwa pada kenyataannya, aku dan Arthan tidak akan bisa bersatu. Terlebih lagi setelah mengetahui fakta kalau sebenarnya Arthan sudah memiliki tambatan hati, dan bisa jadi foto wanita yang disimpan di bawah bantal adalah kekasih Arthan yang dia sembunyikan dariku.

"Eh, sudah-sudah. Nanti Oma jadi keenakan, sebaiknya kamu menyiapkan makan malam, karena sebentar lagi pasti semua anggota keluarga pulang," kata oma lagi menyuruhku berhenti memijitnya.

"Kalau begitu, aku permisi dulu, ya? Kalau Oma perlu sesuatu, panggil saja aku."

Melihat persediaan makanan yang ada, aku jadi bingung mau masak apa untuk makan malam. Tapi kata pelayan di sini, lebih baik masak sambal terong dan orek tempe. Untuk camilannya, biar dia yang menggoreng pisang nanti.

Menjelang maghrib, para anggota keluarga pun mulai berdatangan. Mulai dari mama dan juga papa. Tapi Arthan pulang lebih dari jam yang kuduga, bahkan setelah aku selesai sholat maghrib pun dia belum tiba juga.

Kalau kata mama, Windi memang sering mengikuti ekstrakulikuler musik di sekolahnya, jadi sudah wajar kalau anak itu pulang lebih dari jam enam sore.

"Kemana mereka? Padahal Papa sudah lapar sekali," gerutu papa yang sejak tadi sudah mengelus perut.

"Iya, Pa. Mama juga jadi kepikiran, biasanya Arthan itu selalu ngasih kabar kalau mau pulang malam. Windi juga, kenapa tidak bisa dihubungi, ya?" Mama ikutan gelisah sambil berulang kali mencoba menghubungi anak bungsunya.

Sama seperti mama, aku juga jadi khawatir menunggu kepulangan kedua kakak beradik itu, terutama Arthan yang tak pernah pulang melewati jam enam. Rasanya jadi gelisah sendiri, tak tenang.

"Oma, Ma, Pa. Aku mau kedepan sebentar, ya? Siapa tahu mereka sudah pulang," ijinku pada semua orang sebelum pergi ke pintu utama.

Matahari sudah terbenam, dan Arthan baru tiba setelah aku menunggu cukup lama di depan pintu. Ekspresinya kelihatan kaget saat melihatku berdiri, mungkin kah bukan aku yang dia harapkan untuk berdiri disini?

Raut wajahnya sama sekali tidak pernah menunjukkan ekspresi selain datar, bahkan dia tidak menyapaku sama sekali ketika melewati pintu yang sudah jelas-jelas ada aku disana.

"Arthan, kenapa pulangnya malam? Mama bilang kamu tidak pernah pulang melewati jam enam," tanyaku khawatir ketika Arthan baru saja masuk beberapa langkah ke dalam rumah dengan posisi tubuhnya yang kini sudah membelakangiku.

Arthan berhenti, tanpa menoleh dia pun menjawab, "Jangan terlalu peduli sama saya. Ingat, status kita memang suami istri, tapi saya tidak pernah mencintai kamu."

Ucapan Arthan selalu bisa membuatku terdiam dengan bantahan kenyataan yang pahit. Miris, statusku adalah seorang istri tapi sama sekali tidak bisa mencium tangan suami ketika pulang kerja. Dia bahkan tidak mengijinkanku untuk menyentuh tangannya.

Aku berbalik badan setelah Arthan menghilang di ruang tengah, saat itu aku melihat Windi berdiri di halaman sambil menggendong tas punggung berwarna pink kesukaannya. Aku pun tersenyum, akhirnya dia pulang juga.

"Bagaimana ekstrakulikulermu? Apa semuanya lancar?" tanyaku basa-basi saat dia melewatiku.

Sama halnya seperti Arthan, Windi juga bersikap dingin padaku. Tapi untungnya dia masih mau berbalik badan ketika menjawab pertanyaan yang keluar dari mulutku.

"Suami kamu saja tidak ingin di pedulikan olehmu, jadi untuk apa kamu susah payah mencari muka padaku?" Tatapan itu, senantiasa diberikan Windi setiap kali dia bicara padaku. "Jadi, jangan sok peduli. Karena aku, tidak butuh kepedulian darimu!" sambungnya lagi setelah menghentakkan kaki lalu berlalu pergi.

Pedih, sakit, rasanya seperti ada sesuatu yang membuatku lemas. Baik suami dan adik iparku, keduanya sama-sama tidak menerimaku disini. Mereka tidak pernah bersikap baik padaku, ataupun menunjukkan sebuah senyuman.

Meski ini hanya sandiwara, tapi kenapa rasanya seperti ini? Bagaimana pun pernikahanku, mereka tetap keluargaku yang sah di mata hukum dan agama. Kalau satu hari saja aku sudah mendapat tekanan batin seperti ini, apalagi sampai satu tahun ke depan. Bisa-bisa aku jadi gila.

"Sabar, Nadia. Mereka hanya perlu menyesuaikan diri dengan keberadaanmu disini. Sabar," kataku mengelus dada yang ditutupi hijab.

Next chapter