webnovel

10-DIBOYONG KELUARGA ARTHAN

Wajah tampan tampak terlelap dengan kedua mata yang masih tertutup, sebuah pupil yang tersembunyi di dalamnya pun sama sekali tak bergerak ketika sebuah gerakan menggoyangkan tempat tidur.

Hidung Arthan terus menjadi jalan tukar oksigen dan karbon dioksida dengan suara dengkuran halus yang dia keluarkan. Ya, aku bisa medengarnya karena sekarang posisiku sedang berhadapan dengan laki-laki itu.

Wajah tampannya menjadi hal pertama yang kulihat di jam empat pagi ini ketika kedua mataku terbuka. Kami tidur miring saling berhadapan dengan satu tangan dilipat sebagai bantal. Jarak kami memang tidak terlalu dekat, aku bisa melihat dengan jelas seperti apa bentuk alis tegas seorang Arthan.

Jangan tanya kenapa kami bisa tidur berdua satu ranjang begini, semua itu berawal saat aku keluar dari kamar mandi sehabis berganti baju.

Aku langsung berjalan ke sofa setelah melihat Arthan meringkuk di kasur, tapi baru hendak terlelap, laki-laki itu malah bersuara yang membuatku cukup kaget juga.

"Pindah," kata Arthan dingin.

Jelas aku langsung terduduk waktu itu, menatap Arthan yang juga sedikit menyandarkan bahu di kepala ranjang. "Pindah? Ma—maksudmu pindah ke—"

"Iya, pindah ke kasur," sela Arthan semakin membuatku bingung.

"Tapi 'kan—"

"Tidak usah tapi-tapi, pindah saja kesini."

Antara bingung dan heran, tapi kaki tetap melangkah ke kasur bagian kiri untuk merebahkan diri disana. Arthan juga kembali membaringkan tubuhnya dan berselubung di balik selimut.

Apa dia tidak ada niatan untuk memberiku sebuah penjelasan? Apa dia pikir aku tak heran dengan keputusan yang dia ambil? Tadi 'kan kami sudah sepakat untukku tidur di sofa malam ini, tapi kenapa sekarang dia memintaku tidur di ranjang?

"Sudahlah, tidak usah bingung. Kita berdua sama-sama lelah malam ini, lebih baik tidur di kasur saja supaya tidurnya lebih nyenyak." Seolah tahu isi kepalaku, Arthan berkata demikian dan menjawab semua kebingungan.

Dan inilah akhir dari percakapan singkat tadi malam. Aku dan Arthan tidur bersama, namun tetap saja kami tidak bisa saling memeluk. Jangan mengharapkan yang macam-macam, apalagi sampai melakukan ritual malam pertama yang Arthan sebutkan semalam. Itu jelas tidak akan terjadi.

"Arthan, Arthan ... bangun. Sebentar lagi subuh, kamu tidak sholat?" kataku pelan berusaha membangunkannya.

Mimpi apa, sih Arthan ini? Sampai-sampai dia tidak terusik sama sekali dengan suaraku.

"Arthan ... bangun, subuhan!"

Yang dibangunkan hanya melenguh sambil memperbaiki posisi tubuh agar mendapatkan posisi yang lebih nyaman. Selimutnya juga semakin ditarik ke atas, menutupi kepala sampai tak terlihat rambutnya.

"Arthan!" Kusibak selimutnya dengan paksa dan menyalakan lampu di samping nakas.

"Apa, sih?" protes si empu.

"Kamu tidak sholat subuh? Bangun!"

"Eum ... aku lelah, kamu sholat sendirian saja."

Ah, ya sudahlah. Kalau dia tak mau, aku bisa apa? Tugasku sebagai manusia hanya mengingatkan, soal mau atau tidaknya, itu terserah padanya. Karena aku tidak punya kewajiban untuk memaksa seorang hamba beribadah kepada tuhan, itu pelanggaran HAM namanya.

Pagi harinya, kami segera beberes untuk pulang ke rumah. Tentu saja aku langsung di boyong keluarga besar Arthan ke rumah mereka, sementara ibu dan bapak harus pulang ke rumah lama kami.

Di area lobby, aku memeluk ibu dan bapak dengan bercucuran air mata. Mobil yang di sewa papa Gavin sudah datang lebih dulu menjemput mereka, jadi ibu-bapak juga harus pulang lebih dulu.

"Jaga suamimu, perlakukan dia dengan baik, jaga kehormatannya dan layani dia sebaik mungkin," kata bapak memberi wejangan.

"Setelah menikah, kamu jangan lupa berkunjung ke rumah Bapak dan Ibu, sering-seringlah mampir ke laundry kalau sempat," pesan ibu pula.

"Iya, aku akan ingat semua pesan kalian. Tolong jaga diri, terutama Bapak jaga kesehatan juga. Jangan sampai ginjalnya kambuh lagi, itu jantungnya juga di jaga." Sekarang giliran aku yang berpesan pada mereka.

Ibu dan bapak juga sempat berpamitan pada oma, mama dan juga papa. Tapi sedikit cuek ketika harus berpamitan pada Windi, ibu memang sudah tak suka pada gadis itu sejak semalam. Katanya Windi tidak punya sopan santun.

"Ya sudah, sana pulang. Tunggu apa lagi? Itu mobilnya sudah menunggu dari tadi," tukas Windi yang mendapat pelototan dari ibu.

Mobil avanza putih melaju keluar area hotel setelah ibu dan bapak ada di dalamnya. Tak lama berselang, mobil keluarga Mahardika pun tiba. Tentu saja ini bukan mobil sewaan, dua mobil mewah jenis van dan mini bus ini milik pribadi.

Papa Gavin, mama Rani, oma dan Windi masuk ke mobil van, sementara aku dan Arthan masuk ke mobil mini bus dengan seorang supir dibalik kursi kemudi. Selama perjalanan, kulihat Arthan selalu tersenyum ketika mendapat sebuah notifikasi pesan whatsapp.

Chattingan sama siapa? Itulah yang ada di kepalaku, tapi hanya stak di kepala tanpa berani di utarakan.

"Kenapa?" Rupanya sebuah helaan napas panjang membuat Arthan peka dan bertanya juga padaku.

Kupikir dia tidak peduli. "Tidak ada, aku hanya ... lelah."

"Apa tadi malam kamu tidak tidur dengan nyenyak?" tanya Arthan lagi.

Aku menggeleng. Tentu saja aku tidur dengan nyenyak, untuk pertama kalinya aku tidur diatas kasur yang empuk. Meski agak aneh karena harus di selimuti tapi AC tetap menyala. Membuat seisi hidung dingin semua rasanya.

"Lalu kenapa kamu menghela napas begitu panjang?" Duh, apakah hal semacam itu pun harus ada alasannya?

"Aku hanya ... masih belum percaya kalau sekarang aku sudah menikah." Mataku tertunduk. "Tapi pernikahanku atas dasar kesepakatan," imbuhku lagi dengan senyum miris.

Arthan tidak langsung menjawab, dia bahkan bisa diam untuk beberapa menit ke depan. Tidak, mungkin dia akan diam selamanya sampai kami tiba di rumah.

Rumah bergaya eropa dengan halaman penuh rumput hijau menjadi istana yang akan kutinggali. Rasanya sulit di percaya, tapi sekarang aku sudah berada di dalam rumah itu. Ada foto keluarga Arthan yang menjadi hal pertama yang kulihat ketika memasuki ruang tamu.

"Selamat datang di keluarga Mahardika! Semoga kamu betah tinggal disini," kata oma memberi sambutan.

"Ah, insyaAllah aku pasti betah, Oma."

"Ya jelas betah lah, namanya juga tinggal di rumah mewah. Kamu pasti dulunya tinggal di gubuk reyot 'kan?" kata Windi menyambar ucapanku seperti petir.

Papa yang kelihatan begitu menyayangi Windi, segera menegur anak gadisnya. "Windi sayang, kamu tidak boleh berkata seperti itu pada kak Nadia, ayo minta maaf."

Wajahnya saja sudah kelihatan malas dan tak ikhlas, tapi Windi tetap mengucap kata maaf dari bibirnya dengan pupil yang bahkan enggan untuk memandangku.

Setelah mendapat maaf dariku, papa langsung membawa Windi naik ke atas dengan alasan akan mengajak gadis itu bermain ps. Mereka terlihat sangat dekat, bahkan papa juga sampai tak segan mencium pipi putrinya seraya naik ke atas tangga.

"Gavin dan Windi itu sangat dekat, sebab Windi anak kesayangan di keluarga ini," info oma seraya mengantarku ke kamar. Sementara Arthan sedang mengambil barang-barangku yang masih ada di bagasi mobil.

"Gavin begitu menyayangi Windi, saking sayangnya dia bahkan tak ragu memberi apapun yang Windi minta. Hal itu juga yang membuat Windi jadi manja, dan kadang malah suka berlaku seenaknya."

"Kasih sayang yang berlebihan memang selalu di mafaatkan, tapi aku yakin Windi bisa mandiri pada saatnya nanti," balasku.

Oma mengangguk paham. "Iya, Oma harap begitu. Ya sudah, Oma tinggal, ya? Kamu istirahat saja, kalau perlu apa-apa, panggil pelayan rumah ini saja."

"Iya, terima kasih, Oma," jawabku ketika sampai di kamar.

Next chapter