webnovel

Putri Duyung yang Menyebalkan!

Translator: Wave Literature Editor: Wave Literature

Sintia berusaha keras untuk naik ke balkon lantai dua. Untungnya, pintu balkon lantai dua tidak ditutup. Dia menepuk-nepuk debu di tangannya sebelum mendorong pintu dan masuk.

Dia membuka pintu balkon kamar Julian, tapi Julian tidak ada di kamar tersebut.

Sintia memeriksa ke sekeliling mansion, dan akhirnya mendengar suara batuk dari pintu kamar di lantai tiga.

Pintunya tidak dikunci. Dengan sedikit dorongan, Sintia pun membuka pintu tersebut dengan perlahan hingga berderit.

Meskipun Sintia membayangkan segala macam adegan di mana Julian lemah tak berdaya, tapi dia tidak menyangka ternyata adegan yang dia lihat saat membuka pintu adalah seperti ini…

Julian benar-benar merantai tangan dan kakinya. Tubuhnya yang tinggi dan besar terpaku di singgasana khusus di depan jendela besar. Di bawah sinar perak rembulan, wajahnya yang tampan tampak berkilau. Bulu matanya yang tebal sedikit bergetar, matanya yang panjang dan indah terpejam. Bibirnya yang dingin dan tipis terlipat erat, seolah sedang menahan sesuatu. Sementara giginya bergemeletuk tak terkendali.

Karena lampu yang tidak dinyalakan, cahaya redup membuat seluruh ruangan terasa suram dan menakutkan hingga membuat orang bergidik.

Mendengar suara langkah kaki yang mendekat, Julian tiba-tiba membuka matanya.

Seolah tak percaya, tatapan Julian berubah seketika.

Andai kedua tangan dan kakinya tidak dikunci, Sintia merasa Julian akan menyerbu dan melemparkannya langsung keluar jendela. Sintia tanpa sadar mundur selangkah. Ia berpikir sejenak, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya.

"Ada apa denganmu? Bukankah itu tidak nyaman? Kenapa kamu memperlakukan dirimu seperti ini?"

"Aku baru saja menemui kepala pelayan dan menelepon Tuan Fares. Mereka semua mengatakan kamu akan menggila saat mabuk. Mereka menyuruhku meninggalkanmu sendiri. Kamu tidak mengunci diri karena takut menggila, kan?"

"Aku datang kepadamu sekarang. Jangan sakiti aku. Aku tidak benar-benar ingin peduli padamu, tapi ada yang salah dengan hatiku. Aku lupa untuk mengambil hati nuraniku dan memberikannya untuk makanan anjing dulu. Aku pergi dulu, ya?"

Namun, saat dia baru mengangkat kakinya, suara rendah pria itu terdengar menggema di ruangan yang gelap dan misterius tersebut, "Keluar, menggelindinglah…."

"Sudah kubilang aku bukan bola."

Sintia dengan berani berjalan mendekati Julian, mengangkat tangannya dan menempelkannya di dahi pria itu, 'Tidak panas, bahkan agak dingin. Pria itu tidak demam, tapi wajahnya sangat pucat, dia tidak mungkin hanya mabuk.'

Sintia melihat Julian yang tampak sadar sepenuhnya, sepertinya pria itu juga tidak mabuk.

"Jangan salah paham. Aku tidak bermaksud mengorek privasimu, tapi setidaknya kamu adalah pasangan resmiku sekarang. Bahkan jika aku tidak punya hak untuk tahu, tidak berlebihan kan kalau aku hanya tahu sedikit saja? Ada apa denganmu? Apa kamu benar-benar akan menggila saat merasa tidak nyaman, jadi kamu mengunci diri? Apa kamu takut jika kamu menggila, kamu akan menyakiti orang lain?"

Julian bungkam. Pria itu hanya menganggapnya seperti udara. Julian justru bersandar malas di sofa seraya memejam mata untuk menahan dirinya.

Setidaknya dia telah mengunci tangan dan kakinya. Sekalipun dia tidak bisa menahannya, seharusnya dia tidak bisa melukai putri duyung yang menyebalkan ini!

Sintia juga tidak tahu harus apa. Lagipula, dia bukan seorang dokter. Dia duga Julian mungkin kedinginan. Akhirnya, dia berlari ke kamarnya untuk mengambil selimut, lalu menyelimuti pria itu.

Gerakannya begitu teliti, dia dengan sabar membungkus tubuh Julian dengan selimut.

Kemudian, dia duduk di sebelah manusia gunung es itu, 'Aku khawatir, tapi aku tidak tahu apa lagi yang bisa aku lakukan untuknya?'

Meskipun Julian terlihat kesakitan saat ini, jika ada yang ingin mengasihaninya, orang itu pasti cari mati. Aura dingin yang menguar di sekitar pria itu seperti angin utara yang menderu. Bahkan, sekalipun tangan dan kakinya dirantai, Julian masih terlihat seperti raja iblis yang duduk di atas singgasana, membuat orang tidak berani membuat kesalahan.