1 1. Kembali ke sekolah

**Cinta dan Kebencian adalah 2 hal yang setara. Disaat kau mencintai seseorang secara berlebihan, maka disaat ia akhirnya mengecewakanmu, kebencian yang akan tumbuh di hatimu juga akan sebesar rasa cintamu terhadapnya.**

Di sebuah kediaman, waktu sudah menunjukkan pukul 06:30. Sementara itu, 2 orang gadis sedang mempersiapkan perlengkapan MOS dengan tergesa-gesa.

"Tunggu dulu! Itu topi gue!" teriak Aya, menyaut topi yang sedang dipakai kakaknya, Alice.

"Pala lu! Itu topi Saya yang gue pinjem tadi malem!" seru Alice, mencoba merebut kembali topi tersebut dari Aya.

"Elu yang pala lu! Semalem lu minjem ke gue!" seru Aya, menjauhkan topi yang ia pegang dari Alice.

Dikarenakan Saya dan Aya adalah anak kembar identik, Alice pun mulai merasa bingung akan ingatannya semalam. Dia berhenti merebut topi tadi dan berjalan keluar kamar menuju ke lantai 1.

"Say, kamu kemarin malem minjemin aku topi nggak?" kata Alice sambil berjalan menghampiri meja makan.

"Topi apa kak? Nggak tuh." jawab Saya, menyilangkan sendok dan garpu diatas piring. "Aya mungkin tuh." imbuhnya yang kemudian meminum jus buah naga yang tersaji di hadapannya.

"Adek kalian mana? Dah di tungguin kak Al ituuk..!" seru seorang wanita paruh baya yang masih terlihat sangat seksi.

"Mi, mami nggak jadi beliin aku topik?!" kata Alice, agak kesal.

"Alah nggak usah pake topi gapapa. Lupa mami. Udah jam segini, telat loh kalian nanti." kata sang mami, berjalan mendekat.

"Tsk, Mi.. Mi. Masak hari pertama dah harus dihukum." keluh Alice, menghela nafas. Karena kesal, Alice pun menyaut sepotong roti yang ada di atas meja dan berjalan keluar.

Beberapa saat kemudian. Dengan cukup santai, Aya keluar dari dalam lift elevator, mengambil roti di atas meja makan dan memilih beberapa buah untuk dibawa sebagai bekal.

"Ini lagi tuan putri, dah tau telat masih santai gitu." tegur seorang pria paruh baya yang duduk di teras depan bersama dengan 2 orang lain.

"Yang namanya telat, 1 menit sama satu jam mah sama aja paduka." kata Aya, menarik tangan papanya dan menciumnya. Aya sejenak menghabiskan anggur yang ia pegang dan kemudian mencium tangan kedua wanita paruh baya yang duduk di sebelah papanya.

"Kamu juga ga punya topi? Bukannya kemarin kamu dah beli?" tanya lembut salah satu wanita paruh baya itu, penasaran melihat anak bungsu mereka juga tidak mengenakan topi khas koboi yang diwajibkan untuk mengikuti kegiatan MOS di sekolah.

"Males bun. Tadi pas ngaca malah keliatan kaya tukang susu zaman penjajahan." jawab Aya dengan santai, balik badan dan perlahan menghampiri mobil yang sudah sejak tadi menunggunya.

Ketiga orang tua Aya tersenyum tipis melihat anak bungsu mereka memasuki mobil. Mereka sadar jika Aya sengaja tidak mengenakan topi yang sudah dibelinya karena tidak ingin kakaknya dihukum seorang diri. Walaupun mereka berdua hampir tidak pernah akur, tapi mereka masih tetap saling peduli. Begitulah pikir ketiga orang tua Aya.

Mobil sudah kian menjauh, namun papa Aya masih tersenyum, menutup pelan matanya, merasa sangat bahagia dengan kehidupannya saat ini. Dalam hati ia sangat bersyukur karena telah dianugerahi sebuah keluarga yang selalu ia idam-idamkan sejak dulu.

"Namaku Shiro, setidaknya itulah namaku dulu, sebelum aku harus mati dan menjadi Al Abbas. Dulu aku sama sekali tidak mempunyai semangat untuk hidup dan bahkan menyesal karena telah terlahir ke dunia. Namun aku terus bertahan karena aku yakin jika suatu saat nanti aku pasti akan berkata, 'Aku sangat bersyukur untuk dapat hidup di dunia ini'."

===============

32 tahun yang lalu

===============

Pada hari pertama tahun ajaran baru, di sebuah sekolah favorit di Nusantara. Seperti biasa, sebelum aku pergi ke kelas, aku langsung masuk ke ruangan BK untuk absen rutin yang sudah menjadi kewajiban bagiku di setiap pagi dan siang selama sekolah masuk.

"Loh, Shiro?! Saya kira tahun ini enggak bakal liat kamu lagi." seru pak Wahab, menyambut kedatanganku.

"Dah kaya jin, masuk nggak salam." kata pak Mus, seorang guru BK senior yang ditakuti oleh para siswa karena wajahnya yang nampak seram.

"Sudah pak, di dalam hati tadi. Anda saja yang tidak dengar." kataku lirih sambil berjalan menuju ke meja bu Ririn.

Mendengar perkataanku tersebut, bu Ririn dan pak Wahab sedikit terkekeh, dan sambil membukakan buku besar yang ada di atas meja, bu Ririn berkata, "Sini tanda tangan."

"Dari dulu suka banget sih minta tanda tangan saya bu." candaku sambil mengambil pena yang tergeletak di atas meja.

"Lah.. Saya kan memang ngefans sama kamu." jawab bu Ririn, tertawa kecil menggodaku.

Mendengar perkataan bu Ririn yang terdengar manis membuatku agak salah tingkah. Namun aku berusaha untuk menahan senyum dan bergegas menulis tanda kehadiran di buku hitam yang telah di sodorkan bu Ririn.

"Enggak pake lipstik lagi kamu?" tanya pak Mus, menepuk pundakku dari belakang.

Bu Ririn dan pak Wahab tertawa kecil, mungkin perkataan pak Mus telah mengingatkan mereka akan kejadian tahun lalu saat aku dan temanku yang bernama Husyen datang terlambat. Saat itu kami di geledah dan aku tertangkap basah membawa rokok, sedangkan Husyen ketahuan membawa sebuah lipstik di tasnya.

Bukan hanya dimarahi karena aku masih sering membawa rokok, pak Mus juga menuduhku telah memakai lipstik. Berulang kali aku mencoba menjelaskan jika bibirku sering terlihat agak kemerah-merahan bukan karena lipstik, tapi akibat terlalu sering mengkonsumsi fanta. Namun pak Mus dan pak Wahab terus menyangkalnya seakan mereka memang sengaja ingin mempermainkanku dan menikmatinya.

"Dah sana." kata pak Mus, mendorongku ke meja pak Wahab.

Pak Wahab berdiri dari mejanya dan menghampiriku, mulai menggeledahku dan barang bawaanku.

"Ada isinya nggak sempaknya itu??" tanya pak Mus.

Perkataan pak Mus tersebut sontak membuat Bu Ririn terkekeh hingga beliau menutup wajahnya karena tak sanggup melihatku, membuatku merasa agak malu.

"Aman pak." jawab pak Wahab, sedikit tersenyum.

Kenapa pak Mus menanyakan hal jorok seperti itu? Yap, tahun lalu aku pernah ketahuan menyembunyikan rokok di dalam celana dalamku.

Setelah absen rutin dan pemeriksaan selesai, aku pun langsung ijin pamit untuk pergi ke kelas.

.

.

"X-5, X-6, X-7... Apa ini benar kelas baruku?" Tepat di depan pintu masuk kelas X-7, aku berdiri dan memandangi papan kecil yang tergantung di atas pintu masuk.

"Kenapa nggak masuk?" tanya Sinar, seorang gadis mungil yang sangat imut. Kulitnya yang putih agak kemerah-merahan seperti bayi membuatnya terlihat sangat manis, membuatku tertegun sekian detik karena terpesona.

"Uhm... Nungguin kamu." kataku dengan senyuman.

"Oh." Tanpa sedikitpun ekspresi, gadis mungil manis itu berjalan melewatiku dan masuk ke dalam ruangan kelas.

"Judes banget..." keluhku dalam hati yang kemudian berjalan memasuki kelas mengikuti Sinar.

"Wah Ro... Ternyata satu kelas kita." Sapa Kikok, anak dari mas Yan, pemilik kost laki-laki, penyedia jasa tempat parkir dan warung makan.

"Aku kira nggak jadi sekolah sini kamu." Kataku sambil melihat-lihat sekitar untuk mencari bangku yang masih kosong.

"Biasa... Paksaan orangtua. Noh sono, duduk meja sampingnya Putri." Jawab Kikok, sedikit menoleh ke belakang.

Tanpa kembali berbasa-basi aku pun langsung pergi ke meja bagian belakang untuk mencari tempat duduk. Aku sungguh terkejut melihat beberapa siswa laki-laki di kelas ini yang terlihat sangat besar dan kekar seperti om-om debt collector. "Busyet!! Ini mereka serius baru aja lulus SMP??" teriakku dalam hati. Walaupun aku cukup terkejut melihat penampilan dari beberapa pria di kelas ini, namun aku tetap tenang dan menunjukkan raut wajah cool dengan sorot mata tajam.

"Eh put, cowok baru. Ganteng." bisik Niken, seorang gadis yang memiliki selera fashion tinggi. Seragamnya pun sangat ketat nan pendek, sehingga membuat lekuk tubuhnya yang sexy terlihat dengan begitu jelas.

Saat mengambil posisi duduk, samar-samar aku mendengar suara bisikan gosip seorang gadis dari meja sebelah.

"Kayak asing banget." jawab pelan teman sebangkunya.

"Eh, kamu kok nggak pernah keliatan pas MOS sih?" tanya Niken mencolek lenganku.

"Hmm?" Aku menoleh ke samping, tidak menyangka jika Niken akan langsung menyapaku. "Ni cewek sexy banget." kataku dalam hati, memandangi seragamnya yang serba pendek nan ketat.

"Ey.. Ditanya kok malah jelalatan?" kata Niken, tersenyum seraya menepuk pipiku pelan.

"Ehm.. Aku bukan murid baru." Kataku mengalihkan pandanganku ke depan.

"Maksudnya?" tanya Niken, agak bingung.

Belum sempat aku menjelaskan maksud dari perkataanku tadi kepada Niken, Pak Harry, seorang guru matematika senior berjalan memasuki ruangan kelas.

Aku dan pak Harry saling berkontak mata, membuat beliau menghentikan langkah kakinya seketika. Beberapa detik berlalu, dan beliau masih terdiam di tempat, membuatku sadar diri dan beranjak keluar ruangan. "Misi pak." kataku pelan sambil terus berjalan keluar kelas.

Aku tergolong sebagai siswa yang berprestasi dalam berbagai bidang dan mempunyai nilai di atas rata-rata. Bahkan saat dulu aku mendaftar di SMA Nusantara pun aku tidak perlu repot-repot untuk mengikuti seleksi dan langsung lulus tes. Hal itu dikarenakan SMP Nusantara tempat aku belajar dululah yang menempatkanku di sekolah ini.

Namun pada saat pengumuman kenaikan kelas tahun ajaran lalu, aku dinyatakan sebagai satu-satunya siswa yang tidak dapat naik kelas. Hal tersebut dikarenakan aku jarang masuk kelas dan banyak membuat masalah di sekolah. Selain itu, aku juga telah di blacklist oleh beberapa guru dan tidak diperbolehkan untuk mengikuti mata pelajaran mereka, membuat raporku tidak dapat keluar karena ada beberapa mapel yang masih kosong.

Aku sadar betul, jika keadaanya terus seperti ini, aku bisa kembali tidak naik kelas dan pada akhirnya harus di keluarkan dari sekolah. Namun walau bagaimanapun, aku masih terlalu enggan mengesampingkan egoku untuk meminta maaf atas sesuatu yang tidak sepenuhnya kesalahanku.

"Mbak! Rames ama teajus melati." Sambil menunggu mata pelajaran pak Harry selesai, tidak ada pilihan lain bagiku selain mengunjungi salah satu tempat favoritku di sekolah, yaitu kantin.

"Walah, Shiroo... Baru hari pertama aja dah disuruh keluar kelas. Haha.." seru mbak Sus terkekeh.

Mbak Sus adalah anak dari pemilik kantin yang baru berusia 20 tahun. Dia memiliki wajah yang lumayan manis dan berbadan semok, membuatnya seringkali digoda oleh para siswa maupun guru mesum yang datang ke kantin.

Beberapa waktu kemudian, terlihat pak Wahab dan bu Ririn yang berjalan kian mendekat. "Kenapa kamu disini?" tanya pak Wahab menyapaku.

"Pelajaran matematika pak." jawabku pelan.

"Masih pak Harry yang ngajar kelasmu?" tanya bu Ririn, mampir dan duduk di depanku.

"Saya duluan bu." kata pak Wahab, langsung berjalan melewati kantin.

"Iya pak." jawab bu Ririn pelan.

"Anda pesen apa bu?" tanya mbak Sus, mengantarkan pesananku.

"Teh anget aja mbak." kata bu Ririn dengan senyuman. Bu Ririn kembali menghadapku dan memandangi jari jemariku. "Itu kuku kamu kok panjang-panjang kaya gitu? Sini tangan kirinya biar saya rapikan." kata bu Ririn, membuka pembicaraan.

Karena aku tidak tahu harus berkata apa, aku pun hanya bisa menuruti perkataan beliau. Dan setelah selesai merapikan kuku di jari tangan kiriku, bu Ririn menungguku selesai menghabiskan makananku seraya melaksanakan tugasnya sebagai seorang guru bimbingan konseling.

"Apa kamu masih belum ada niatan untuk meminta maaf sama pak Harry, bu Riyanti dan bu Retno? Kalau tahun ini kamu masih tidak bisa mengikuti mata pelajaran mereka, kamu akan kesulitan untuk dapat naik kelas." kata bu Ririn, kembali mencoba untuk mengajakku berbicara.

Aku sama sekali tidak tahu harus berkata apa. Jujur saja, aku merasa kurang nyaman. Karena selain aku tidak suka jika terus-terusan didesak, aku merasa canggung harus mengobrol berdua dengan bu Ririn yang secara fisik merupakan wanita dewasa yang cantik. Beliau masih berusia 23 tahun dan baru bertugas di sekolah ini sejak tahun lalu, bersamaan dengan pak Wahab yang juga merupakan seorang guru muda.

"Dah selesai? Sini ganti yang kanan." kata bu Ririn menengadahkan tangannya.

Setelah selesai meminum minumanku, aku pun menjulurkan tangan kananku kearah bu Ririn.

"Kalau saumpama nilai matematika, kimia dan geografi saya masih kosong, apa kira-kira saya masih bisa naik kelas jika saya memperbaiki absensi saya bu?" tanyaku.

Sejenak bu Ririn melirik ke arahku dan kembali merapikan kuku di jari jemariku. "Ya kalau kamu berangkat terus dan sama sekali tidak ada masalah, saya rasa bisa. Tapi... Alangkah baiknya jika kamu coba untuk memperbaiki hubungan kamu dengan pak Harry dan yang lainnya."

"Y-Ya... Insyaallah akan saya usahakan bu." kataku agak ragu dengan perkataanku.

"Insyaallah itu juga harus didasari dengan keseriusan. Dah, gini kan cakep." kata bu Ririn, memandangi kuku di jari jemariku.

"Makasih bu." kataku pelan.

avataravatar
Next chapter