webnovel

BAB 6 - CELINE

Melihat diriku di cermin besar, aku menoleh ke samping dan memastikan kalau aku terlihat baik-baik saja. Karena aku bekerja dengan Rain yang bisa dilihat tidak mengenakan apa-apa selain jas. Aku memilih untuk mengenakan kemeja hitam tanpa lengan dengan kerah tinggi yang diikat dengan pita di leher. Rok high waisted warna krem ​​yang ku kenakan pas dengan lekuk tubuhku, sehingga kakiku yang telanjang memamerkan salah satu pasang sepatu hak tinggi bermotif macan tutul favoritku yang memiliki ujung lancip dan tumit tipis berduri.

Aku membiarkan rambut panjangku tergerai kecuali poni, yang kusapu ke samping dan disematkan menjauh dari wajahku. Aku menjaga riasan yang minimalis, hanya dengan maskara dan sedikit perona pipi, tidak benar-benar ingin melakukan riasan wajah penuh.

Aku mengambil tas dari tempat tidur, dan langsung menuju ke ruang tamu menemui adik perempuanku. Cindy, duduk di sofa sambil menonton TV. Dia telah banyak pulih selama beberapa minggu terakhir, tetapi dia masih membawa memar yang mengingatkan ku tentang apa yang terjadi, ketika aku hampir saja kehilangan dia.

"Apakah kamu akan bekerja?" dia bertanya, menekan jeda di acara yang dia tonton.

"Ya, ada sisa makanan di lemari es jika kamu lapar. Aku tidak yakin jam berapa pulang, tetapi jika kamu butuh aku, aku membawa ponsel." Kataku padanya saat mengambil kunci mobil dari Kotak yang ada di dapur.

"Aku bisa menjaga diriku sendiri." gerutunya, mengambil sekantong Cemilan dari meja.

"Aku tahu." Aku setuju dan tidak ingin menunjukkan bahwa sejauh ini dia telah melakukan pekerjaan yang buruk dalam mengurus dirinya sendiri.

"Aku mungkin akan pergi keluar malam ini." Katanya dengan santai saat dia melanjutkan jeda acara yang dia tonton.

"Kemana?" Aku bertanya.

"Aku tidak tahu. Dini menelepon dan mengajakku keluar, dan aku menyetujuinya."

Aku benci sahabat adikku. Aku tidak pernah mempercayainya, dan kapan pun Cindy mendapat masalah, Dini terlibat di dalamnya. "Kamu masih memiliki memar sejak terakhir kali kamu pergi dengannya." Aku menunjukkan dengan harapan dia akan melihat sendiri seperti apa temannya itu sebenarnya.

"Tidak adil bagimu, seolah apa yang terjadi semuanya tampak seperti kesalahan Dini."

"Maukah kamu menelepon dan memberitahuku kemana kamu pergi?" Aku bertanya, aku tahu betul tidak ada guna berdebat dengannya tentang hubungannya dengan Dini. Aku tidak berpikir dia akan melihat bagaimana temannya itu akan mempengaruhinya.

"Aku akan menelepon." Katanya sambil memasukkan tangannya ke dalam kantong Cemilan di pangkuannya dan melihat ke TV.

"Aku sayang kamu." Kataku padanya, mendapat anggukan sebagai balasannya sebelum keluar dari pintu depan dan menuruni tangga menuju mobil.

Saat berjalan ke kantor Rain, aku melawan naluri untuk berbalik dan langsung berlari keluar ketika aku melihat dia sedang menelepon. Aku tidak tahu apa yang ada dipikiranku untuk setuju datang bekerja untuknya. Tetapi sekali lagi, hidupku telah menjadi rangkaian acara seperti ini.

"Tunggu, Sesil," katanya, membuatku terkejut.

Aku menarik ponsel dari telinganya, dia memberi isyarat agar aku duduk di salah satu dari dua kursi bersandaran tinggi beludru biru tua di depan meja besar miliknya.

Aku memutar mataku padanya lalu duduk dan memperhatikan sudut mulutnya terangkat sebelum dia menutupinya dengan tangannya. Aku benci dia memanggilku Sesil, atau nama itu yang aku katakan pada diriku sendiri. Tapi sekali lagi, itu lebih baik daripada nama panggilan yang diberikan orang tua ku pada saat aku kecil. Ketika mereka memanggil saat ulang tahun kesepuluhku. Aku rasa aku masih trauma dengan pengalaman itu.

Aku menyilangkan satu kaki di atas kaki lainnya, aku menarik napas saat aku mempelajarinya. Rain terlihat tampan dengan cara yang sama sekali tidak adil bagi orang lain di Bumi. Dia cukup tinggi sehingga aku bisa memakai sepatu hak enam inci ku dan dia akan tetap menjulang tinggi di atas ku. Tubuhnya ramping, dengan jumlah otot-otot yang kekar. Rambut pirangnya yang gelap tumbuh di bagian atas dan sedikit lebih pendek di bagian samping, seolah penampilan yang tidak terawat dan seksi. Matanya berwarna biru terang yang terlihat hijau saat dia marah, dan bulu mata panjang dan gelap yang mengelilingi membuatnya tampak jauh lebih menarik.

Hidungnya lurus mancung, tulang pipinya tinggi, dan bibirnya penuh dan dikelilingi oleh bayangan jam lima yang membuat panasnya naik beberapa tingkat.

Dia terlihat seperti berada di sampul depan buku cerita neraka. Sejauh yang aku tahu, dia pernah tampil di sampul depan sebuah majalah.

Beberapa malam aku duduk di bar. Aku mendengar wanita berbicara tentangnya dan dari apa yang saya dengar, sebagian besar penduduk wanita di Kota ini tahu siapa dia. Aku bersumpah setiap orang berambut pirang, berambut merah, dan berambut cokelat tahu persis siapa dia dan namanya. Dan menilai dari cara mereka berbicara tentang Rain, mereka seperti berteriak histeris seperti melihat seorang aktor.

"Senang kamu datang, Sesils." Katanya, lalu menarikku masuk ke ruangan dan meletakkan teleponnya di atas meja. Aku duduk sedikit lebih tinggi, aku menyempitkan mata dan melihat saat dia berjalan mengelilingi meja ke arah ku, membuka kancing jasnya dan duduk di atas kursi, bersandar sedikit lebih dekat ke arah ku.

Kamu bilang datanglah jam lima sekarang jam lima. aku mengangkat tangan ketika dia seperti akan mengatakan sesuatu yang lain. "Dan kita perlu membahas soal gaji ku." Kataku, membuka kakiku lalu menyilangkannya kembali ke arah lain, mengabaikan cara matanya melihat gerakanku.

"Gaji?" Dia mengerutkan kening, dan aku tidak bisa menahan senyum yang terbentuk di bibirku karena kebingungan di wajahnya.

"Ya, gaji ku. Maksudku, kamu sebenarnya tidak berpikir aku akan bekerja untukmu secara gratis bukan?" Aku bertanya, mengangkat alisku.

"Tentu saja tidak. Aku akan mulai dengan mu di angka tiga juta lima ratus"

"Ya, itu tidak akan berhasil untukku. Di pekerjaan lama ku, yang baru saja aku berhenti untuk Anda. Aku menghasilkan lima juta sebulan, dengan dua minggu dibayar untuk hari libur." Kataku, memotongnya. Aku sebenarnya melebih-lebihkan gaji di pekerjaan lamaku, tapi dia tidak perlu tahu itu.

"Di mana kamu bekerja?" Dia menggeram, membuat bagian kewanitaanku tergelitik.

Aku mengabaikan reaksi tubuh padanya, aku melambaikan tangan di depan Rain dan melanjutkan, "Itu tidak masalah sekarang, jadi karena aku baru memulai kerja di sini, aku akan meminta gaji empat juta di sini. Tapi aku ingin sama untuk hari libur ku di bayar. Termasuk hari jika aku sakit."

"Tidak."

"Iya."

"Astaga, apa yang kupikirkan?" Dia bertanya, memiringkan kepalanya ke belakang dan melihat ke arah langit-langit untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaannya.

"Kamu mengira kamu baru saja mendapatkan asisten terbaik yang bisa dibeli dengan uang." b

Balasku lalu menggigit bibirku agar tidak tersenyum melihat kesuraman di wajahnya saat matanya bertemu denganku.

Tangannya mengusap rambutnya, matanya mengamati ku dan dia menggelengkan kepalanya. "Baik, tapi harus kamu siap sedia. Itu berarti dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, jika aku menelepon kamu harus datang."

"Aku tidak mau bekerja di akhir pekan." Aku menyeringai lalu bertanya-tanya mengapa aku sangat suka bertengkar dengannya.

Matanya mengamatiku untuk waktu yang lama, begitu lama hingga aku melawan keinginan untuk menggeliat di kursiku. "Baik, tapi lima hari seminggu, kamu milikku dua puluh empat jam."

"Tentu." Aku mengangkat bahu, tahu tidak tahu untuk apa aku sebenarnya bagi dia. "Jadi, apa yang kamu ingin aku lakukan hari ini?" Aku bertanya seraya melihat sekeliling kantornya, memperhatikan semua barang terlihat rapi. Bagian atas mejanya bersih dan bagian atas komputernya ada setumpuk kertas tersusun rapi.

Lemari atas dan bawah di sebelah kanan mejanya dengan kotak kosong, hanya botol kristal yang setengah penuh cairan gelap dan dua gelas ada di atasnya. Sofa kulit di belakangku dengan meja bewarna kopi kayu bulat bergaya pedesaan yang bersih dengan tumpukan buku di atasnya, yang aku yakin belum pernah dibaca siapa pun dan hanya untuk pajangan.

Semuanya tampak memiliki tempat tersendiri, tetapi tidak ada yang terlalu pribadi dalam ruang tersebut. Tidak ada satu pun foto keluarga atau teman dan tidak ada kenang-kenangan tentang tempat-tempat yang dia kunjungi.

Sepertinya hanya ada iklan majalah untuk kantor pria. Setan kecil, yang telah mengambil tempat di pundakku sejak bertemu Rain. Dia memintaku untuk memindahkan barang-barang hanya untuk melihat apa yang akan terjadi jika aku melakukannya. Sementara sisi baiknya menggelengkan kepalanya dengan ketidaksetujuan.