webnovel

Pindah tugas?

"Sya, ayo makan!" panggil Ibu saat aku berada di dalam kamar.

"Sebentar, Bu, aku lagi ganti baju," sahutku.

Tak lama kemudian, ibu membuka pintu kamar dan menghampiriku.

Aku menjelaskan pada ibu jika tidak ingin memakai gamis sesuai keinginannya. Awalnya ibu menolak, tapi karena aku terus merengek, akhirnya ibu mengalah dan menuruti permintaanku.

"Yasudah, Ibu tidak akan memaksamu memakai gamis, Sya. Tapi, untuk sekolah di pesantren, Ibu harap kamu tidak menolaknya."

Mungkin ini naluri seorang ibu, baru saja aku ingin mengatakannya, tapi terlebih dulu ibu mencegah.

"Aku lapar, Bu, makan yuk!" ucapku mengalihkan perhatian.

Ibu menggandeng tanganku menuju dapur, terlihat beberapa masakan sudah dihidangkan di atas meja. Aku menyantap makanan itu dengan lahap.

"Pelan-pelan, Sya, nanti keselek," ujar Ibu sambil menatapku.

"Aku suka banget sama masakan Ibu, gimana kalau aku kangen masakan Ibu saat di pesantren nanti?"

Ibu tersenyum simpul sambil membelai rambut panjangku.

"Ini semua demi kebaikanmu, Sya, nanti Ibu akan sering-sering bawa masakan ke pesantren, ya."

Hatiku sedikit pilu mendengarnya. Kasih sayang ibu terhadapku begitu besar. Aku pikir karena ibu dan bapak tidak sayang padaku, nyatanya setelah mendengar ucapan ibu, aku memahami maksudnya.

"Mau nambah lagi, Sya?" tawar ibu saat melihat makanan yang ada di piring sudah mulai habis."

"Nggak, Bu. Aku sudah kenyang," jawabku sambil menaruh piring itu ke dapur.

Saat aku sedang mencuci piring, terdengar suara kak Sabrina memanggil. Aku pun menunda cucian piring dan segera memenuhi panggilan kak Sabrina.

"Ada apa, Kak?" tanyaku sesaat setelah menemuinya.

"Sya, di sekolahmu ada yang namanya Axel, kan?" 

"Ada. Memang kenapa, Kak?" 

"Kamu punya nomornya, nggak? Kampus kakak lagi ngadain event buat anak sekolah. 

Aku penasaran mengapa kak Sabrina bisa mengenal Axel.

"Kakak kenal Axel dari mana?" 

"Dari setiap event yang diadakan kampus, Sya, dia tahu nggak kalau kamu itu adik dari kakak?"

"Nggak, Kak, aku sama Axel nggak terlalu akrab sih."

"Kakak minta nomor Axel dong?"

"Nanti aku tanyakan ke Naomi, ya. Kebetulan aku nggak punya nomornya."

"Nanti kirim ke kakak nomornya, ya."

Event? Aku tidak pernah tahu setiap acara yang diadakan sekolah. Apa karena aku murid biasa sehingga setiap ada acara tidak pernah mengetahuinya.

Aku kembali menuju kamar untuk menghubungi Naomi. Kuambil ponsel di atas meja belajar dan menekan tombol panggilan.

"Nom, kamu punya nomor Axel?" tanyaku saat telepon sudah tersambung.

"Punya, buat apa, Sya? Jangan bilang kamu mulai naksir sama Axel, ya!"

"Nggak, Nom, aku minta nomornya untuk kak Sabrina."

"Kak Sabrina? Emang ada keperluan apa kakakmu dengan Axel?"

"Kamu kan anggota osis, masa nggak tahu acara yang diadakan sekolah?"

"Hehehe … aku kan cuma deket sama Axel, Sya, untuk kegiatan osis aku sama sekali tidak mengetahuinya."

"Huh! Dasar! Suka sama ketua osis tapi nggak tahu kegiatannya."

"By the way acara apa yang diadakan sekolah? Aku jadi penasaran, Sya."

"Nanti aku tanyakan sama kak Sabrina, ya, Nom. Kamu kirim nomor Axel, sekarang," titahku sambil menutup telepon.

Beberapa saat setelah itu, Naomi mengirimkan nomor Axel lewat pesan. Aku pun langsung meneruskannya pada kak Sabrina.

"Thank you, Sya," balas kak Sabrina setelah menerima pesanku.

Aku melupakan cucian piring yang sempat terhenti tadi. Aku kembali menuju dapur untuk menyelesaikannya. Namun, saat hendak ke dapur, aku melihat ibu yang sedang mencuci piring-piring itu.

Kupeluk ibu dari belakang, sehingga membuatnya terkejut saat mengetahui keberadaanku.

"Sya, bikin kaget saja, kenapa? Kok tumben seperti ini?" 

"Aku sayang ibu, maaf jika aku belum bisa menjadi anak yang baik," ucapku sambil memeluk ibu.

Ibu memutar badannya dan menjeda pekerjaannya sehingga membuat pelukanku terlepas.

"Syafira sayang, ibu juga sayang sama kamu, Nak, untuk itu sebagai orang tua kami menginginkan sekolah yang terbaik." Ibu menatap sambil memegang kedua pipiku.

Aku terharu dan kembali memeluk ibu. Akhirnya kuambil alih cucian piring itu dari tangannya.

"Sudah, biar aku yang kerjain, Bu."

Ibu mengangguk sambil tersenyum ke arahku. Senyuman ibu membuatku tenang. Bagaimana mungkin aku bisa melihat senyumannya saat di pesantren nanti?

Setelah menyelesaikan cucian piring, aku menuju ke kamar kak Sabrina untuk menanyakan soal event tadi. 

"Kak, aku boleh masuk enggak?" tanyaku dari balik pintu kamarnya.

"Masuk aja, Sya, enggak dikunci kok," sahut kak Sabrina.

Setelah mendapat ijin, aku masuk ke kamar kak Sabrina.

"Lagi ngapain, Kak? Aku ganggu enggak?"

"Lagi nyiapin bahan buat presentasi, Sya. Kenapa?"

"Aku mau nanya dong kak, emang ada acara apa di kampus?"

"Oh … itu, acara lomba debat. Kamu tahu nggak si Axel itu jago debat? Sudah beberapa kali dia memenangkan lomba di kampus kakak."

"Oh gitu, ya, kak. Aku baru tahu Axel sepintar itu," aku mengangguk sambil terkagum-kagum.

"Kenapa, Sya? Awas loh nanti suka," ledek kak Sabrina.

"Aku nggak nyangka aja ada cowok sepintar itu di jaman sekarang, Kak."

"Eh ngomong-ngomong, kamu jadi masuk pesantren, Sya?"

"Jadi, Kak, jangan kangen sama aku nanti, ya." 

"Kok kamu mau masuk pesantren, Sya? Kamu nggak pengen gitu main ke luar sama teman-temanmu? Apalagi di usiamu sekarang kan lagi asyik-asyiknya bermain?"

Aku tersenyum simpul menanggapi pertanyaan kak Sabrina. Wajar saja dia menanyakan hal itu, siapa juga remaja yang tidak ingin menikmati masa mudanya.

"Ih … ditanya malah senyum-senyum?"

"Hehehe … aku keluar dulu, ya, Kak. Ada PR matematika yang harus aku kerjakan," kataku  beralasan. Padahal hanya ingin mengalihkan pertanyaan kak Sabrina.

"Jangan minta pulang kalau sudah di pesantren nanti!" teriak kak Sabrina saat aku keluar dari kamarnya.

Dalam benakku, benar apa yang dikatakan kak Sabrina, apa mungkin aku bisa jauh dari rumah? 

Kuhampiri Bapak yang sedang membaca koran.

"Pak, aku boleh nggak nanya sesuatu?" 

"Boleh, mau nanya apa, Sya?" Bapak melipat koran yang sedang dibacanya.

"Apa alasan Bapak mendaftarkanku di pesantren?"

"Sebenarnya beberapa bulan lagi Bapak dipindah tugas ke Bandung, Sya."

"Jadi kita semua akan tinggal di Bandung, Pak?"

"Benar, Sya. Ibu tidak memberitahumu soal ini?"

Aku menggeleng. Jika memang benar apa yang dikatakan Bapak barusan, lantas mengapa kak Syauqi juga tidak pindah ke pesantren sama sepertiku? 

"Mungkin ibu menunggu waktu yang tepat, Sya. Kedua kakakmu juga belum mengetahui soal Bapak yang akan pindah tugas."

"Jadi kita semua akan pindah, Pak?" sahut kak Syauqi saat dirinya mendengar pembicaraan kami.

"Loh, kapan kakak datang?" ucapku terkejut saat melihatnya berada di sofa.

Karena letak sofa saling membelakangi, aku dan Bapak tidak melihat keberadaan kak Syauqi sedari tadi.

"Nggak penting, coba jelasin ke aku, kenapa Bapak tidak memberitahu kalau kita akan pindah? Terus sekolahku gimana, Pak?"

"Ya pindah juga, Qi, sama seperti adikmu. Bagaimana jika kalian sekolah di pesantren yang sama?"

"Cukup Syafira aja, Pak, yang masuk pesantren, aku sih nggak mau," tolak kak Syauqi mentah-mentah.

"Kamu ini, lihat tuh Syafira, dia nggak pernah menolak permintaan Bapak!"

"Cukup Syafira saja yang nurut sama Bapak, aku nggak mau!" Kak Syauqi bangkit dari sofa lalu pergi.

"Tuh, liat kakakmu, Sya, orang tua mana yang nggak khawatir melihat anaknya seperti itu. Kamu satu-satunya harapan Bapak, Sya."

Aku bergeming. Harapan? Bebanku semakin berat saat mendengar bapak mengucapkannya.

Apa aku bisa mengemban tugas yang diberikan bapak terhadapku? Bagaimana aku bisa menjalaninya sementara hatiku masih ragu? Apa yang harus kulakukan agar bisa menjadi apa yang bapak harapkan?

"Sya?" Bapak melambaikan tangannya tepat di depan wajah, sehingga membuyarkan lamunanku.

"Iya, Pak, doakan aku agar bisa menjadi apa yang Bapak harapkan," ucapku saat terbangun dari lamunanku.

"Tentu. Niatkan dalam dirimu untuk menuntut ilmu lebih baik, Sya."

Aku mengangguk menanggapi pernyataan bapak. Aku pun undur diri dari hadapannya dengan alasan belajar.

Niat? Apa aku harus melakukan itu dengan niat?