webnovel

Menolak Lamaran (2)

Translator: Wave Literature Editor: Wave Literature

Kegembiraan orang tua Xu Weilai setelah mendapat uang satu miliar berubah drastis. Terutama saat Xu Weilai berani mengatakan bahwa dirinya tidak ingin menikah dengan Gu Yu. Akibatnya, Ayah Xu tega menampar putrinya itu. Karena tamparannya cukup keras sehingga tampak ada bekas tamparan yang merah di pipinya, bahkan ketika ia pulang ke rumah bekas tamparan itu masih terlihat dengan jelas.

Sesampainya di rumah, pelayan di rumah Xu Weilai melihat bekas tamparan berwarna merah di wajah Nona Mudanya. Pelayan pun menawarkan pengobatan untuk meringankan bekas lukanya, "Nona, aku akan pergi membelikan obat untuk Anda."

"Tidak usah." Jawab Xu Weilai singkat. Ia memilih langsung naik ke lantai atas menuju kamarnya. Saat sudah sampai di kamarnya, ia langsung terduduk sedih di sofa kamanya. Kedua tangannya langsung memeluk lutut dan perlahan meringkukkan tubuh. 

Sampai akhirnya Kepala Xu Weilai menempel di lututnya sendiri. Sesaat kemudian, saku di dadanya sedikit gemetar. Tidak tahu sudah berapa lama, ternyata ponselnya yang tiba-tiba berdering.

Xu Weilai perlahan mengangkat kepalanya dan segera menghapus air mata di ujung mata. Dengan berusaha kembali menenangkan perasaannya, ia segera mengambil ponsel. Untungnya nama yang tertera di ponsel itu membuatnya merasa sedikit tenang. Xu Weilai menarik napas dalam-dalam dan berdeham untuk menjernihkah suaranya, "Halo." 

Lelaki yang menjadi lawan bicara Xu Weilai merasa sapaan Xu Weilai tidak terdengar seperti biasanya, "Kak, kau sedang menangis?"

"Tidak."

"Kau berusaha menipuku, ya?!?" Jawab lelaki itu dengan nada marah seorang bocah.

Tidak ingin membahas lebih lanjut masalah yang dipikirannya, Xu Weilai langsung mengubah topik pembicaraan, "Zhanwang, bukannya di sana sudah tengah malam? Kenapa kau belum tidur?"

Xu Zhanwang, adalah adik kandung Xu Weilai. Nama mereka berdua diberikan oleh Kakek mereka yang sudah tiada. Kedua nama mereka, Weilai dan Zhanwang, jika disatukan akan membentuk suatu harapan, yakni berharap mereka saling bergandengan tangan untuk mengembangkan perusahaan Xu dari generasi ke generasi. 

Saat ini, Xu Zhanwang yang baru saja beranjak dewasa sedang studi di luar negeri. Xu Zhanwang masih belum mengerti dengan keadaan Kakaknya saat ini. Ia pun terus bertanya, "Aku sudah tahu peristiwa hari ini. Kau ditampar Papa, kan? Pasti pipimu sakit?"

"Tidak." Ujar Xu Weilai dengan nada yang agak meninggi.

"Kau masih berusaha menipuku lagi!" Suara Zhanwang terdengar sedih, "Kalau tidak sakit, kau tidak mungkin berbicara dengan nada menangis. Ah, kau selalu saja tidak ingin membuatku khawatir. Kak, aku ini sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Aku bisa melindungimu!"

Air mata Xu Weilai yang mulanya bisa ditahan, sekarang malah berkumpul di kedua matanya. Ia menarik napas dalam dan menjawab, "Iya, Zhanwang sudah dewasa, aku tahu." Ujarnya dengan suara serak.

"Kak, dengarkan aku. Jika kau tidak mau menerima lamarannya, maka tidak usah diterima. Tidak usah berkompromi lagi dengan Papa dan Mama. Masalah kita adalah kebangkrutan perusahaan. Saat aku liburan nanti, aku akan bekerja dan mencari uang sebanyak-banyaknya. Jadi, aku lah yang akan merawatmu, Papa dan Mama. Aku janji tidak akan membuat kalian menderita."

Setelah telepon ditutup, Xu Weilai langsung mengucurkan air matanya lagi. Rasa kekeluargaan adiknya itu membuat Xu Weilai sedih. Seharusnya di umurnya yang sekarang ini, Xu Zhanwang harus bergembira dengan lingkungannya sekarang. Ia tidak perlu ikut memikirkan beban keluarganya. Harusnya ia memanfaatkan usianya untuk berkorban demi dirinya sendiri, bukan demi Xu Weilai.

****

Hari sudah menunjukkan larut malam. Di dalam kamarnya, Xu Weilai masih tidak bisa tidur. Ia terus mengingat-ingat peristiwa sebelumnya selama semalaman. Pada akhirnya langit menjadi sedikit terang, barulah Xu Weilai terlelap.

Sayangnya ia tidak bisa tertidur terlalu lama. Seketika suara ketukan pintu kamar membangunkannya.

Setelah membukakan pintu, Xu Weilai melihat pelayannya sedang panik, "Nona, gawat! Nyonya baru saja telepon, katanya Tuan Xu dalam keadaan kritis. Anda disuruh untuk segera ke rumah sakit!"

Mendengar itu, Xu Weilai tidak sempat ganti baju. Ia langsung meluncur ke rumah sakit.

Saat ia sampai di kamar ayahnya, ayahnya sedang berbaring di ranjang dengan napas seperti diambang kematian. Dokter yang ada di sebelah ayah Xu sedang berusaha menyelamatkannya. Di sampingnya, Ibu Xu menangis sesenggukan sampai susah bernapas.

Xu Weilai langsung menghampiri ibunya dan memeluknya.

Ibu Xu menatap dan menggenggam tangan Xu Weilai, "Weilai, Papamu tidak mau operasi. Dia bilang, karena kamu tidak mau menerima lamaran Keluarga Gu, lebih baik dia mati saja. Mama minta tolong padamu, selamatkan papamu."

Pikirannya mengenai adik, mama, papa, bahkan seluruh keluarga Xu sekejap menekan mental Xu Weilai.

Ia kira dirinya punya pilihan, namun ternyata dirinya tidak punya jalan keluar.

Xu Weilai segera meraih ponselnya, menelepon seseorang untuk menjawab, "Kakek Gu, aku setuju."

*****

Setelah proses operasi yang panjang terhadap ayahnya, akhirnya operasi pun selesai. Xu Weilai segera meninggalkan rumah sakit. Saat akan keluar dari pintu rumah sakit ini, seketika sebuah mobil hitam melaju sangat kencang menuju ke arahnya. Ternyata mobil itu berhenti tepat di depannya.

Pandangan Xu Weilai seketika kosong saat melihat bayangan seseorang duduk di kursi kemudi. Ternyata orang yang duduk di sana adalah Gu Yu. Ia duduk tanpa memperlihatkan ekspresi apapun.