1 Tatapan Gadis Pantai

Awal kisah cinta ibarat sebuah kupu-kupu

Terbang bebas kesana kemari

Namun akhirnya berakhir pada satu bunga

Yang harum semerbak memikat hati

***

Tatapan Gadis Pantai

Nyaringnya suara peluit terdengar sebagai awal mulai pertandingan voli di Pantai Kuta. Kedua tim tertangguh yang telah memasuki final mempersiapkan diri di tenda masing-masing. Terik matahari masih menyorot pasir putih lapangan yang berkilau karena sinarnya. Ada banyak pedagang asongan menghuni pesisir pantai, selain puluhan pengunjung pantai yang tertarik melihat jalannya perlombaan. Mereka membawa kamera DSLR di tangan hendak mengambil momen-momen penting. Tepat sewaktu peluit dibunyikan kedua tim telah mengambil posisi. Tim berkostum hijau muda berada di timur dan tim berkostum biru bertempat di barat.

"Ayo, berjuang sekuat tenaga!"

Kapten tim biru berseru. Sosoknya paling tinggi di antara rekannya. Bola matanya hitam pekat, dan memiliki kulit kuning langsat.

"Baik, kita harus berjuang!"

Mereka mengambil posisi, sedikit merunduk untuk memposisikan kuda-kuda. Setelah bola di lemparkan wasit, pertandingan pun di mulai. Dari tim biru mendapat serangan bertubi-tubi sehingga hampir kehilangan angka. Seakan telah membaca posisinya, sang pemimpin melompat dan memberikan pukulan keras hingga akhirnya mencetak angka pertama mereka.

"Yay! Kita dapat skor!"

Ia berseru keras, menghampiri rekan yang berada di belakang. Saling berangkulan dan melempar tawa. Setelah suara peluit terdengar, pertandingan kembali dilanjutkan. Kedua tim bersemangat. Mereka saling menyerang seakan tidak ada yang dapat dikalahkan. Kapten tim biru, Rein terlihat kelelahan.

Sekelompok remaja putri dan putra menyatu dalam barisan di pinggir pantai. Mereka merupakan para suporter dari kedua belah tim yang bertanding di final. Sorak-sorai menambah ramai jalannya pertandingan.

"Ayo Rein, kalahkan mereka!"

Seseorang berseru. Menyulutkan semangat salah seorang pemain berkostum biru tua. Awalnya mereka sempat kehilangan semangat. Namun setiap kali mengingat penonton yang bersorak tanpa henti membangkitkan semangat para pemain yang semula pesimis.

"Hei! Jangan mengacaukan konsentrasi Rein. Ia berkonsentrasi mencetak angka terakhir."

Di tengah-tengah para penonton yang menyaksikan, terlihat empat orang gadis sibuk bermain voli. Mereka melompat, menangkis bola, dan melempar.

Skor kedua belah pihak sama. Butuh kerja keras untuk segera mengakhiri pertandingan final Kuta Volley Beach Festival. Banyak tamu asing yang menyaksikan. Kebanyakan dari mereka membawa kamera untuk mengabadikan momen perlombaan yang diadakan di Bali. Khususnya pantai Kuta.

"Yeay!! Kita menang!"

Seruan terdengar dari tim lawan berkostum hijau muda. Hal ini membuat kebanyakan suporter tim biru merasa kecewa. Perbedaan tipis, hanya dua skor. Kedua tim telah menyingkir. Beristirahat sejenak di tenda yang telah disediakan.

"Maaf Rein. Gara-gara aku yang salah mengoper, tim kita kalah.” Pemain berambut ikal pendek dan memiliki tinggi jauh berbeda dengan Rein terlihat menyesal.

“Sudahlah, lagipula kamu tidak sengaja melakukannya.

“Tapi, tim kita tidak bisa mendapatkan juara satu.”

Ia memandangi seluruh pendukung maupun rekan satu timnya. Detik berikutnya tersenyum simpul, "Aku bersyukur karena masih mendapatkan juara dua dalam perlombaan ini. Kamu tahu apa yang terpenting di dalam perlombaan ini?”

Sosok di hadapannya menggeleng lemah. Diikuti oleh seluruh suporter yang berada di dalam tenda.

“Kerja sama tim dan kebersamaan. Bukankah kita melakukan semua ini sebagai persembahan terakhir untuk sekolah sebelum lulus?”

Gita dan seluruh suporter di tenda tersenyum. Suasana yang sebelumnya muram dan tidak bersemangat menjadi kembali ceria. Karena ucapan dari Rein menyemangati semuanya. Mereka berdua kembali berangkulan erat. Biar bagaimana pun mereka telah berjuang semampunya. Lihat saja kostum yang basah kuyup oleh keringat dan wajah kelelahan itu. Hal ini cukup membuktikan mereka telah melawan semampunya membawa serta nama sekolah.

"Kamu memang pemimpin yang hebat, Rein."

"Hehe, bisa saja, Git."

Ia tersenyum sampai kedua matanya menyipit.

"Hai guys bagaimana kalau kita makan siang?" Tanya Rein, setelah menenangkan para suporter dan rekan satu tim.

"Ayo!"

Seru mereka semua berbarengan. Sehabis bermain voli, mereka berdua telah membakar banyak kalori. Tidak salah jika saat ini hendak memulihkan energi. Lagipula, penyerahan piala akan diberikan sore nanti.

.+.+.+.+.+.

Goresan keemasan membelah langit biru menyisakan decakan kagum bagi para pengunjung pantai Kuta. Saking jernihnya air pantai, terlihat pantulan sinar matahari yang meredup. Hampir seluruh pengunjung mengabadikan momen sempurna ini.

"Hm.. Benar-benar indah."

Seorang pemuda berkulit putih pucat masih memegangi kamera, mengambil beberapa foto saat sunset. Bukannya berhenti, ia malah mencari panorama lain yang kiranya dapat menarik minat. Cukup lama mengamati tiap sudut dari pantai. Sampai akhirnya berhenti mengambil gambar pada arah timur.

"Ini dia," gumamnya dengan seulas senyum tipis.

Obyek yang tertangkap oleh kamera ialah seorang gadis. Kulit kuning langsatnya kemerahan karena tersengat sinar matahari. Dengan dress putih yang dikenakan membuatnya terlihat manis. Sosok cantik itu tengah bermain air dengan sahabatnya. Ia tertawa lepas. Sesekali mata hitam pekatnya menyipit karena terkena air asin.

Tidak cukup satu kali, dua kali, bahkan sepuluh kalinya. Ia tetap membidik obyek indah yang terpaut beberapa langkah darinya tanpa henti.

"Rein, ada orang yang mengambil fotomu."

Kegiatan dua gadis itu terhenti. Rein terdiam mendengar celotehan sahabatnya. Mengambil fotonya? Ini sungguh tidak masuk akal. Jika dipikir-pikir hal itu mustahil. Untuk apa mengambil fotonya?

"Kamu bercanda kan?"

"Tidak, kali ini aku serius. Coba lihat ke arah angka sepuluh."

Gadis manis itu menoleh ke arah yang ditunjukkan. Tepat saat menoleh, pemuda berkulit putih pucat tadi mengambil fotonya. Hingga didapat foto seluruh badan Rein. Tengah menatap intens ke kamera. Rambut hitam panjangnya setengah basah dan dress pantai yang dipakai tertiup angin hingga sedikit mengembang. Bibir mungil kemerahan itu mengatup. Saat sepasang mata hitam pekatnya tidak sengaja menatap kamera tanpa berkedip.

"Aku akan kesana."

Menyadari ini sebuah kesalahan, ia segera menghampiri pemuda itu. Dalam beberapa langkah saja, Rein telah berhadapan dengannya. Bola mata mereka begitu kontras, saling beradu pandang. Bola mata pemuda itu coklat tua berbeda dengan Rein yang hitam pekat.

"Excuse me, that's not polite!"

Ia menekankan setiap kata di dalam kalimat yang dikatakannya. Ia merasa tamu asing ini tidak sadar bahwa yang dilakukannya salah. Seandainya saja tidak ramai pengunjung, Rein pasti merampas kamera di dalam genggaman tangannya.

"Aku tahu. Tapi kurasa yang kulakukan tidak kurang ajar."

Rein terdiam. Pipinya merah padam. Merasa benar-benar malu. Ia mengira pemuda jangkung dihadapannya adalah tamu asing. Apa? Jadi ia penduduk di sini? Dengan tidak sopan mengambil fotonya? Sungguh benar-benar heran.

"Kamu salah! Tetap saja salah."

"Kurasa tidak. Hm.. Suaramu bergetar, apa kamu gugup?"

"Tidak!" Rein mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. “Apa kamu penduduk asli di sini?”

Bukan menjawab pertanyaan yang diajukan. Pemuda itu malah menunduk, menyejajarkan tubuh itu dengannya. Reflek ia memundurkan diri, sedikit menjaga jarak dari orang yang baru ditemuinya.

"Setengah. Maksudku tidak sepenuhnya penduduk asli Indonesia." Ia kembali meluruskan punggungnya dan memandang wajah Rein yang lebih rendah darinya. "Ayahku asli Belanda dan ibuku berasal dari tempat ini. Yah.. Kuta, Bali," lanjutnya menjelaskan.

"Tolong hapus semua fotoku. Apa alasanmu untuk tetap menyimpan foto itu, hm?”

“Karena kamera ini milikku. Jadi, obyek apa pun yang diambilnya adalah milikku.”

"Kamu..."

"Ah ya, satu hal lagi. Aku tidak mungkin menghapus foto gadis cantik sepertimu." Kali ini Rein dibuat benar-benar diam. Wajahnya memerah sempurna. Jantungnya berdetak tidak karuan.

"Terserah!"

Satu ucapan itu akhirnya terlontar dari Rein. Setelahnya mengambil ponsel dalam saku untuk menelepon temannya. Ia harus jauh-jauh dari pemuda tersebut karena membuat debaran jantungnya tidak karuan. Hal ini membuat kepalanya berdenyut keras. Langkah kakinya semakin cepat saat bertemu Rika. Ia tidak ingin terlihat lebih memalukan di hadapan pemuda yang baru dikenal. Sedangkan pemuda itu? Ia hanya tertawa tertahan melihat kelakuan gadis muda yang menarik minatnya.

Pemuda itu berjongkok memungut sesuatu lalu memasukkannya ke dalam saku celana. Tanpa ragu, ia menarik kedua sudut bibirnya. Melengkungkan seulas senyum. Seperti takdir yang telah memilihnya. Saat dua takdir yang berbeda akan dijadikan satu.

avataravatar
Next chapter