1 Pertemuan

"Waktuku sudah habis, Pangeran. Terima kasih …," rintih seorang wanita sembari tersenyum. Kedua tangannya yang sudah berkeriput dan lemas, berusaha meraih wajah tampan yang sedari tadi hanya diam berlinang air mata.

"Cintaku akan kembali untukmu, hingga 1000 tahun lamanya. A-ku … mencintaimu."

***

Sonia berjalan tersuruk-suruk masuk ke dalam kamarnya, setelah mendengar permintaan Raja dari mulut sang Ayah untuk menikahkah dirinya dengan anak laki-laki Raja semata wayang. Dia terus berjalan menyeret setumpuk tanya tentang bagaimana menyikapi hal ini. Akankah dia pergi untuk melarikan diri? Perlukan dia melakukan itu?

Tidak ada hasrat, tenaga, dalam dirinya. Kakinya terus melangkah hingga sampai di pintu kamar yang menemaninya sejak kecil. Dia berdiri menunduk, menahan linangan air mata. "Berpikirlah, Sonia. Kau tidak bisa melakukan ini. Menangis bukan tujuanmu. Jangan pernah melakukan itu."

Sejenak dia menutup kedua matanya. Tangan yang semula mengepal, kini terangkat memegang gagang besi. Sedikit tekanan ke bawah, bisa membuat pintu kamar yang semula masih diam, akhirnya terbuka. Sonia melangkah cepat memasukinya. Dia menutup kembali pintu itu dengan rapat.

Tubuhnya masih berdiri lemas. Rasa kecewa dalam dirinya sudah tidak bisa dia tahan. Menangis, itulah keputusan terakhir yang dia lakukan. "Impianku menjadi ballerina, sudah kandas. Aku tidak bisa lagi mewujudkannya." Suara itu sudah tersendat di kerongkongan. Kering dan serak. Bahkan jantungnya terus berdetak kencang. Sakitnya luar biasa.

"Dia, Pangeran itu, mempunyai banyak sekali wanita. Kenapa dia menerima pernikahan ini?"

Kepalanya terus menggeleng, masih tidak percaya dengan kenyataan pahit yang akan dia hadapi. Pikirannya kalut memikirkan keputusan orang nomor satu di negeri, tidak bisa dia langgar.

"Berpikirlah Sonia. Kau harus melakukan sesuatu untuk membuat dia tidak menyentuh, bahkan menyukaimu."

Pandangan kedua mata Sonia mengarah ke semua sudut ruangan, hingga senyuman kembali menghiasi wajahnya.

"Sepertinya ini adalah rencana terbaik yang akan aku lakukan," batinnya menatap sesuatu berwarna merah yang bisa membuatnya lega.

***

Tawa beberapa orang sudah memenuhi ruangan mewah tidak jauh dari istana. Sebuah ruangan tempat Pangeran untuk berkumpul dengan beberapa teman dan wanita yang akan memuaskannya. Minuman mahal yang semula tertata rapi di atas meja, sudah menghiasi semua sudut ruangan dengan isinya yang keluar membuat lantai sangat lengket. Para penghuni sekitar lima orang, masih bersorak menikmati semua minuman itu yang membuat mereka mabuk.

Pelukan beberapa pasangan dengan hasrat liar, semakin membuat mereka menikmatinya. Tangan kuat, kekar, dengan bulu tipis hitam yang menyelimuti tubuhnya, menarik dua wanita yang sangat beruntung menjadi pilihannya. Kini mereka berada di dalam ruangan khusus yang memang selalu disiapkan untuk Pangeran.

Dua wanita meliuk gemulai membuat senyuman semakin terpancar di wajah pria yang sudah terlentang di atas ranjang menunggu kenikmatan untuk menghampirinya. Kedua mata hitam itu kembali membelalak melihat sesuatu yang sangat indah di hadapannya kini sangat polos. Tawaan manja semakin terdengar di hadapan pria tampan impian para Hawa.

"Lakukan sekarang!"

Kini miliknya sudah sangat hangat menuju lobang kenikmatan. Suara desahan saling bersahut-sahutan menggaung memenuhi ruangan. Hingga puncak dari kenikmatan itu akan terlepas. "Brak!" Pintu ruangan terbuka mendadak. Pengawal pribadi sang Pengeran bernama Ren memasukinya secara tiba-tiba.

"Apa yang kau lakukan?!" teriakan kencang memekakkan telinga, membuat semua orang di dalam diam serontak. Ren mengarahkan tangan untuk membuat dua wanita yang masih dalam keadaan polos segera meninggalkan ruangan.

Hampir setiap hari Pangeran Erick membanjiri perutnya dengan menenggak rakus beberapa botol anggur mahal. Tidak lupa dua wanita selalu saja memuaskan hasratnya.

"Ren, kau mau aku cincang?" Tubuh kekar itu kini menerima jubahnya kembali dari pengawal yang menemani Ren.

"Tuan, kita harus segera menuju ke istana. Calon istri Anda akan datang." Ren masih saja membungkuk. Napas keras terhembus dari kedua lobang hidung pewaris tahta kerajaan itu. Menerima pernikahan terpaksa, adalah petaka baginya. Namun saat itu seluruh kerajaan terkejut dengan keputusan Erick menerima perjodohan yang begitu saja dia anggukkan.

"Aku menerimanya karena aku sudah bosan dengan semuanya. Lebih baik aku menerima seorang wanita. Karena aku ingin bermain-main dengan istriku. Pasti dia sama dengan wanita lain yang menyerahkan dirinya begitu saja," katanya sembari membenarkan jubahnya yang sedikit bergeser.

"Raja hanya menginginkan Anda berada di istana, Tuan." Sekali lagi pengawal itu meyakinkan agar Erick tidak lagi melarikan diri dari istana yang selalu saja dia lakukan.

"Baiklah, ayo kita temui calon istriku."

Langkah kaki berat membuat semua pelayan menunduk seketika. Kedua mata tegas tanpa kompromi melewati mereka begitu saja. Dengan sigap Ren membuka pintu kereta mewah yang membuat Erick akhirnya memasukinya. Jemarinya terus bergerak menandakan kekawatiran. "Aku akan memiliki istri," batinnya terkekeh.

Kerajaan Castile Alcazar sebuah istana yang sudah berdiri sejak lama hingga masih saja kokoh. Menurut sejarah, kerajaan itu sudah ada selama ratusan tahun. Raja Philip dan Ratu Simira menggantikan pasangan raja dan ratu sebelumnya yang sudah menjaga berdirinya kerajaan hingga memasuki era modern.

Pengawal berjas hitam dengan tinggi rata-rata hampir dua meter, membuka pintu gerbang kerajaan. Kereta mewah milik laki-laki tampan dengan visual yang tak terkalahkan, menepi tepat di depan karpet merah yang sudah terbentang. Semua pelayan berbaris untuk menyambut kedatangannya.

Angkuh, arogan, itulah sifatnya. Mendominasi semuanya, itulah kesukaannya. "Ren, apakah dia sudah berada di ruanganku?" tanyanya sebelum mengeluarkan kaki kirinya dari kereta. Dengan masih membungkuk, Ren menganggukkan kepala.

"Baiklah, aku akan segera membuka bajunya dan menyelesaikan masalahku tadi. Kau memang menyebalkan, Ren. Aku hampir saja mengeluarkan lava itu, namun kau tahan. Kau tidak akan aku maafkan," gerutunya.

Erick berjalan tegak dengan pandangan lurus ke depan segera memasuki ruangan pribadinya. Langkah yang semula kencang, kini terhenti mendadak di depan pintu hitam kokoh dengan ukiran khas sangat indah. Kedua matanya melirik pengawal setianya yang kali ini membalas tatapan sang Pangeran. "Apakah dia masih suci?" Dengan mengernyit Erick menunggu Ren menjawab pertanyaannya. Ren sendiri terkejut mendengarnya. Selama ini Erick tidak pernah menanyakan apapun tentang calon istrinya itu.

"Dia masih sangat suci, Pangeran," jawab Ren membuat senyuman sosok di hadapannya terlepas begitu saja. Kepalanya yang bergerak ke kanan, membuat Ren segera membuka pintu ruangan.

Erick menarik napas dengan penuh percaya diri melangkah masuk. "Ren, tinggalkan kami berdua," katanya sembari menatap sosok wanita yang masih membelakanginya. Ren mengangguk, kemudian melangkah keluar, menutup pintu dengan rapat.

Rambut hitam terurai panjang sampai pinggang, sedikit bergelombang indah terkena semilir angin dari jendela yang terbuka. Erick menatap calon istrinya dari atas sampai bawah. Dia sedikit termangu melihat lekukan tubuh sempurna dengan warna kulit putih bersih berada di dalam diri calon istrinya. Wewangian parfum melati yang menyengat hidungnya, spontan membuat dia menarik napas kemudian menghembuskan perlahan.

"Apa kau tidak mau melihat calon suamimu ini?" Erick berjalan menuju kursinya yang berada di tengah ruangan. Dia duduk sambil menyilangkan kedua kakinya dan mengelus-elus dagu lancip miliknya dengan jemari kanan.

"Aku memerintahkanmu, berbalik!"

Sonia perlahan memutar tubuhnya. Dia kini berdiri tegak di hadapan sang Pangeran yang melotot tajam, hingga sontak mengangkat tubuhnya untuk berdiri.

"Kenapa kau menutup wajahmu?!" teriak Erick dengan kemarahan.

"Karena wajahku sangat buruk!" jawab Sonia dengan lantang.

***

Ramuan di dalam sebuah tungku besar sudah dipersiapkan. Pasangan penguasa kerajaan masih saja menunggu sang Herlin ahli mistis menuangkan semua rempah-rempah di dalam botol kaca tertutup kain sutra putih. Lelaki tua berjenggot putih itu menyodorkan botol minuman yang bisa menyelamatkan kerajaan.

"Apakah ini bisa membuatnya kembali normal?" Ratu menatap gelisah minuman yang kini berada digenggaman Raja.

"Paling tidak kita harus mencobanya." Dengan suara pelan, Raja memasukkan ke dalam kantong hitam sebagai syarat sebelum menggunakannya karena sudah mendapat mantra.

"Kehidupan yang dia jalani selalu membuatnya menderita. Aku sangat kawatir dengan masa depan kerajaan ini. 1000 tahun sangat lama." Suara lemas Ratu membuat Raja kepayahan mencari rencana. Selama ini segala cara sudah dicobanya. Namun selalu saja gagal.

Kedua penguasa itu masih saling menatap, berharap apa yang sudah mereka persiapkan membuahkan hasil.

"Raja, calon istri Pangeran membuat keributan." Pengawal kerajaan segera melapor ketika mendengar keributan di dalam ruangan Erick. "Dia menutup sebagian wajahnya."

"Apa?"

avataravatar
Next chapter