webnovel

Change To Life

17+ Manda Hashilla harus menelan pil pahit ia mengetahui dirinya telah hamil sedangkan ia belum menikah. Manda tahu siapa ayah dari anak yang ia kandung, tapi ia tak berani mengungkapkannya. Dia adalah Erlan Airlangga Gantara. Teman satu angkatan Manda yang terkenal tajir, cool, cerdas. Pil pahit itu tak berhenti, setelah malam acara kelulusan ayahnya tak sengaja menemukan test pack yang ia gunakan. Ayahnya Manda marah dan langsung mengusir Manda dari rumah. Erlan yang berusaha mengingat malam pesta Reno akhirnya teringat. Ia telah merenggut sesuatu yang berharga dari seorang gadis. Lalu bagaimana mereka menjalani kehidupan? Dan bagaimana reaksi mereka jika ternyata yang merencanakan kejadian ini semua adalah orang yang tak terduga bagi mereka? . . . . Sesuatu yang bermula dengan keburukan tak mesti berakhir buruk pula. Berusahalah. Keajaiban itu ada.

fatikhaaa_ · Urban
Not enough ratings
187 Chs

15. Lebih baik (3)

"Pah, Papa belum jawab pertanyaan Erlan. Kenapa Papa bisa masuk rumah sakit?" tanya Erlan. Papa Erlan tersenyum pada anaknya yang saat ini sudah duduk di kursi.

"Jantung Papa udah gak sekuat dulu. Dan Papa pernah operasi jantung untuk pengeluaran peluru dulu, ya sedikit mempengaruhi kerja jantung Papa." Erlan mengangguk, ia tahu kejadian itu.

"Lan, kalau Papa minta kalian buat tinggal lagi di rumah, kalian mau?" tanya Papa membuat Erlan menatap Papanya. "Erlan tanya Manda dulu Pah."

"Lan, kalau Papa minta kamu buat ngurus perusahaan kamu mau Lan?" tanya Papa Erlan sekali lagi. Erlan mengalihkan pandangannya, jika ia di perusahaan Papanya Erlan takut semakin banyak yang mengincarnya.

"Kamu cukup urus bisnis Lan, yang lain biar urusan Sam dan Daniel. Mau?" tanya sekali lagi Papa Erlan. "Papa udah gak bisa kerja lama-lama. Buat keluar rumah sakit aja Papa belum bisa."

Erlan menghela nafasnya. Beginilah derita anak tunggal, untung anaknya langsung memiliki saudara mereka bisa berbagi keluh kesahnya dengan saudaranya.

"Ya."

.

.

.

.

Manda memakan buah potong yang belum sempat ia habiskan sambil menatap para temannya yang sedang menumpang mengerjakan tugas.

"Der Sal Han," panggil Manda pada ketiga temannya itu.

"Hmm."

"Kuliah enak gak?"

Pertanyaan Manda membuat Dera, Hanin, dan Salsa yang sedang mengetik langsung terhenti. Mereka menatap Manda yang tersenyum sendu, lalu mereka menatap Salsa.

Salsa yang tahu arti tatapan itu hanya bisa menghela nafasnya, padahal mereka kan sama sama dewasa kenapa dirinya yang di suruh.

"Ya kayak sekolah, ada enak ada engga. Bedanya di sekolah Guru di kuliah Dosen." Manda tersenyum getir, ia berpikir jika saja ini tak terjadi mungkin sekarang ia sudah berada di kota lain untuk meneruskan mimpinya menjadi seorang ahli keuangan.

"Man, kok nangis?" tanya Salsa pada Manda yang sudah mengeluarkan air matanya. Salsa, Hanin dan Dera menghampiri Manda.

"Gak papa, cuma berandai-andai aja."

Salsa memegang tangan Manda, "Manda harus bersyukur, emang berat tapi lihat sekarang Manda punya kembar, punya Erlan, keluarga Manda dan Erlan juga dukung Manda."

Manda mengangguk sambil menunduk dalam dalam. "Udah dong jangan nangis Man, kasian loh keponakan kembar aku," kata Dera.

Manda mengusap air matanya ia lalu tersenyum, "Iyaa, makasih ya semua." Hanin memeluk Manda membuat Salsa dan Dera juga memeluk Manda dan Hanin.

.

.

.

.

Hari semakin malam, udara menjadi lebih dingin. Erlan yang sudah sampai di ruangan rawat inap Manda menaikkan suhu AC.

Teman-temannya dan Manda baru saja pulang dan Manda baru saja tertidur, gadis itu terlihat lelah membuat. Erlan duduk di kursi sambil menatap Manda, tubuh Manda terlihat lebih berisi dari sebelumnya. Dokter Rina memang menganjurkan beberapa hal, seperti makan kacang, keju, es krim.

Pipi Manda juga terlihat sedikit mengembang, Erlan jelas tahu semua detail tubuh Manda. Setiap saat ia akan terus melihat tubuh Manda terutama bagian perutnya. "Kok aku kepingin bakso ya?" pikir Erlan.

Tiba-tiba mata Manda mulai membuka membuat Erlan menatap tanya Manda. "Kenapa bangun?" tanya Erlan.

Manda menatap Erlan dengan ragu, "Lan... pingin bakso hehehhe." Erlan tertawa melihat Manda yang imut ketika berbicara.

"Aku beliin di bawah bentar ya, aku juga kepingin bakso tadi. Aku tinggal sendiri gak papa kan?" tanya Erlan, Manda mengangguk lagi pula hanya sebentar.

"Bentar ya, kalau ada apa apa langsung telepon." Erlan yang melihat Manda mengangguk langsung berdiri dari duduknya. Lalu keluar untuk membeli bakso.

Manda yang sendiri di dalam kamar memilih untuk bermain HPnya. Manda sampai tiba-tiba Manda mendapatkan sebuah notifikasi dari salah satu akun media sosialnya.

(Ini Manda Hashilla anak Pak Agus kan?)

(Masih ingat aku? Sono yang waktu kecil main sama kamu dan Made. Ingat gak?)

Manda melihat akun profil yang baru saja mengirim pesan itu. Ia melihat seksama wajah laki-laki dewasa yang mungkin berumur dua puluhan.

Manda melihat sebuah gambar yang dulu pernah Manda dan kembarannya berikan pada seseorang. Manda mengetik balasan pada pesan itu.

(Sono? Marsono Permana?)

(Permana lolipop?)

Manda mengirim balasannya. Jika memang benar dia adalah Sono yang ia kenal maka iya senang sekali. Akhirnya ia bisa bertemu dengan teman satu-satunya masa kecilnya, sekaligus cinta pertamanya.

....

Erlan menunggu pesanannya untuk di bungkus. Erlan melipat tangannya di depan dada, udara di luar sangat dingin padahal dirinya sudah bergeser dekat gerobak, apalagi ia tak memakai jaket.

"Ini Mas baksonya." Bapak itu memberikan bakso dua porsi kepada Erlan. Erlan lalu membayarnya dengan uang pas.

Erlan memasuki pelataran rumah sakit yang lumayan sepi hanya ada segelintir orang yang lewat. Erlan menyipitkan matanya ketika ia menangkap bayangan yang ia kenali.

"Mas Sono?" panggil Erlan sambil memegang pundak laki-laki itu. "Loh Erlan," kata Sono dengan kaget.

"Iya, Mas kok disini, siapa yang sakit?" tanya Erlan. "Oh engga Lan, aku lagi jemput adik sepupu perempuan aku yang kerja di sini, kasian malam malam suruh pulang sendirian."

Erlan mengangguk. "Keluarga ada yang sakit Lan?" tanya Sono pada Erlan. "Iya Mas, kalau gitu aku langsung naik dulu ya Mas. Udah di tunggu."

"Iya Lan, cepet sembuh buat keluarga kamu. Maaf ya belum bisa jenguk," kata Sono. "Gak papa Mas. Mari Mas."

Sono mengangguk lalu Erlan melangkah menuju lift rumah sakit. Ia menekan tombol lantai kamar inap Manda yang berada di lantai atas.

Erlan membuka pintu kamar inap, menampilkan Manda yang bersandar sambil menyedot air putih. "Ada baksonya Lan?" tanya Manda ketika melihat Erlan yang ada di sampingnya.

Erlan mengangkat plastik berisi bakso itu, Manda langsung tersenyum gembira, ia sudah tak sabar menyantap makanan itu. Padahal ia baru saja makan bersama teman-temannya tadi.

"Aku cuci wadah makan tadi dulu ya," ucap Erlan sambil mengambil sendok dan wadah tempat makan. Setelah di cuci Erlan membantu Manda untuk menuangkan bakso itu.

"Mau di suapin?" tawar Erlan. "Gak usah, mau makan sendiri aja." Erlan memberikan sendok yang sudah ia lap dengan tisu. Manda mengucapkan terimakasih pada Erlan lalu menyantap bakso itu.

"Pelan pelan Yang, masih panas loh."

Manda hanya mengangguk lalu fokus pada baksonya. Erlan terkekeh, padahal tadi Manda baru saja memakan buah, martabak keju kacang, dan martabak telor. Sekarang makan bakso seperti belum makan satu hari penuh.

Bakso milik Manda sudah habis ia melihat milik Erlan yang masih tersisa, ia ingin sekali meminta tapi, gengsi.

Erlan memberikan air putih pada Manda. Ia tahu Manda menatap baksonya yang masih tersisa, "Ini dihabisin. Aku udah kenyang."

"Beneran?"

"Iyaa."

Manda menerima bakso yang Erlan berikan lalu melahapnya. Entahlah hari ini perut Manda seperti karet. Erlan membereskan semua lalu merebahkan tubuhnya di samping Manda yang sedang memakan bakso.

"Jangan merem dulu Lan," cegah Manda saat melihat Erlan hendak memejamkan matanya. Erlan menaikkan kedua alisnya. "Tungguin aku sampai selesai makan dulu."Erlan hanya mengangguk, tubuhnya sudah lelah sebenarnya. Tapi ya bagaimana lagi.

Manda tak menghabiskan kuah bakso itu. Ia mengambil gelas minum lalu meminumnya. Meletakkan wadah dan gelas di atas nakas. "Aku turunin kasurnya dulu," kata Erlan langsung terduduk dan turun dari kasur.

Manda menaruh bantal di sampingnya yang nanti akan Erlan tiduri. Ia lebih senang bantalan dengan lengan Erlan atau dada Erlan. Entahlah lebih nyaman.

Manda merentahkan tangannya, ia ingin Erlan memeluknya. "Peluk," ucap Manda dengan nada yang manja. Erlan awalnya tertegun, Manda jarang bermanja dengannya.

Erlan tersenyum ia naik ke kasur, menaikkan pembatas kasur agar menahan tubuhnya. Manda masuk kedalam dekapan Erlan yang sudah merebahkan tubuhnya di kasur.

Erlan mengelus rambut Manda dan perut Manda dengan senyum yang masih terukir di wajahnya. Manda sangat menikmati hal seperti ini, semenjak ia bersama Erlan, ia selalu merasa ada yang kurang jika Erlan tak memeluk dan mengelusnya.

"Man, Papa minta kita buat tinggal di rumah Papa lagi. Kalau kita pindah ke sana kamu mau?" tanya Erlan. Ia sengaja tak menjawab pasti kepada Papanya. Pasalnya terakhir kali kata kata Papanya terlalu menyakiti Manda, takutnya Manda tak nyaman jika tinggal di sana.

"Hm? Oh, aku ngikut kamu aja."

Erlan melihat wajah Manda yang ada di depan dadanya. "Aku tanya kamu loh." Manda menatap Erlan mendongakkan wajahnya ke atas. "Aku gak papa, aku ngikutin semua keputusan kamu."

"Kamu nyaman kalau tinggal disana?" tanya Erlan. "Kan ada kamu, pasti bakal nyaman." Erlan tertawa kecil.

"Udah berani gombal ya." Manda melebar senyumnya membuat matanya menyipit. Erlan yang gemas mengecup bibir Manda. Manda tertawa membuat Erlan ikut tertawa.

"Lan, ayo bobok," kata Manda sambil menenggelamkan wajahnya di leher Erlan.

"Ayo."

.....

"Ayah lihat deh Abang bisa buat kapal."

bocah kecil berkuncir menarik baju Ayahnya sambil menunjuk kakaknya.

Ayah kedua anak itu tersenyum. "Wah Abang pinter banget. Kalau adik bisa gak?" tanya Ayahnya itu. Bocah berpipi gembul itu menggeleng membuat pipi besarnya bergerak.

"Adik tenang aja, nanti Abang ajarin ya."

"Oke Bang."

Bocah berkuncir berpipi gembul menatap sang ayah, "Ayah, Ibu kapan pulang?" tanya anak itu. Ayah sang anak mimik wajahnya menjadi sendu, "Setelah ini, jadi Adik sama Abang mandi terus kita nunggu Ibu di sini. Oke?" Kedua bocah itu mengangguk lalu berlari menuju kamar mandi.

Sore datang sang Ibu yang di tunggu akhirnya datang juga. "Aku mau bicara berdua sama kamu," kata wanita itu dengan nada serius.

Sang laki-laki mengajak wanita itu untuk sedikit menjauh dari kamar anak-anaknya. Mereka berdua sampai di kamar sebelah kamar anak mereka. Tanpa mereka sadari salah satu anak mereka mengikuti mereka.

"Ada apa?" tanya laki-laki itu. Sang wanita langsung memberikan berkas pada laki-laki di hadapannya ini. "Ayo kita selesaikan baik baik."

"Maksud kamu apa?!" Teriakan itu sangat keras membuat bocah kecil yang melihat kedua orang tuanya saling melempar tatapan tajam punter terlonjak kaget.

Bocah kecil itu semakin menunduk takut ketika sang Ibu membalas amarah sang ayah. Bocah kecil itu semakin sedih ketika kedua orangtuanya berdebat dengan tajam.

"Adik, kenapa di sini?" Kata panggilan itu membuat dua orang dewasa itu berhenti berdebat. Mereka sama sama terkaget ketika dua anak mereka ada di belakang mereka.

Salah satu anaknya terlihat sudah siap menagis. Dan benar saja, gadis berkuncir berpipi gembul langsung menangis, walau tak kencang tapi terdengar menyakitkan.

Sang Ibu berusaha mengeraskan hatinya. "Made ikut Ibu sekarang!" Bocah kecil yang di panggil Abang itu langsung meronta dari cekalan sang Ibu. Adiknya juga membantu kakaknya itu lepas dari sang Ibu.

"Mira apa apaan kamu?!" bentak laki-laki itu pada istrinya. Wanita itu tak peduli lagi, ia langsung menggendong putranya untuk ikut bersamanya.

"Ayah hiks Abang sama Ibu mau kemana?"

Sayang, pertanyaan itu tak terjawab. Ayahnya berlari menuju mobil sedan miliknya meninggalkan putri kecilnya di dalam rumah sendirian.

Bocah kuncir berpipi gembul itu berusaha mengejar ayahnya. Tetangganya yang kebetulan ada di sana langsung menghentikan langkah kecil bocah itu. Tiba-tiba ia dapat mendengar benturan besi yang sangat kencang.

"Kenapa aku melihat Ibu dan Abang Made disini Om Tante? Mereka kembali dengan cepat ya? Tolong hubungi Ayah, mereka sudah kembali."

Kalimat itu membuat pasangan suami istri saling menatap, hanya ada mereka bertiga disini. Lantas siapa yang dimaksud ini?

......

Manda terbangun ketika Erlan sedang ibadah. Manda meneteskan air matanya, mimpinya tadi malam sangat mengganggunya. Mimpi itu berasal dari ingatannya semasa kecil.

"Ibu, Manda jadi orang yang kuat, seperti kata Ibu. Bang Made, Manda jadi orang yang mandiri dan pintar menghitung seperti impian Bang Made," kata dalam batin Manda.

Ya, bocah berkuncir berpipi gembul itu adalah Manda kecil. Manda berusia enam tahun yang sedang melihat bagaimana akhir keluarganya. Manda bahkan masih ingat bagaimana senyuman bahagia dari Ibu dan Abangnya setelah ia mendengar dentungan besi yang bertabrakan.

"Bahagialah kalian disana."

Erlan mengusapkan kedua tangannya setelah ia berdoa. Ia menatap ke arah ranjang Manda ternyata Manda sudah bangun dan sedang menatapnya.

"Udah bangun, udah minum air putih?" tanya Erlan pada Manda. Manda menggeleng lalu meminta tolong Erlan untuk mengambilkannya.

Erlan mengambilkan Manda minum. Erlan juga membantu Manda untuk duduk terlebih dahulu. Manda mengucapkan terimakasih lalu menghabiskan minumnya.

"Kamu mandi sana."

Erlan menggeleng ia bukan tak mau tapi air disini masih dingin, ia juga tak bisa mengganti air dengan air hangat.

Erlan memilih untuk memeluk Manda kembali. Ia lebih senang begini, ia lebih dekat dengan istrinya dan anak anaknya.

"Nanti tanya Dokter Rina ya Lan, kapan aku bisa pulang." Erlan mengangguk sambil memeluk istrinya seperti mereka akan tidur semalam.

"Gak enak ya dirumah sakit?" tanya Erlan yang langsung di balas anggukan oleh Manda. "Gak enak banget, bosen lagi. Pingin keluar jalan jalan, tapi gak boleh sama kamu."

"Kata Dokter Rina kamu harus bedrest. Jangan lama berdiri, jangan lama berjalan. Kamar kamu ke lift aja udah jauh, belum kamu berdiri di liftnya."

Manda mengerucut bibirnya membuat Erlan gemas menarik bibir itu. Manda berusaha melepas tangan Erlan di bibirnya, "Lan issh!" ucap Manda sambil bibirnya semakin memonyong karena Erlan yang masih menguncir bibirnya dengan jarinya.

Erlan tertawa kencang setelah itu melepas tangannya dari bibir Manda, Manda seperti ikan jika begitu. "Ketawa teruuss..." ucap kesal Manda.

"Ulu ulu ulu Bunda marah, ya abis kamu lucu tahu, kayak ikan." Erlan kembali tertawa membuat Manda melepas pelukan mereka dan enggan menatap Erlan.

Erlan menurunkan tubuhnya menekuk kakinya. Ia sampai di depan perut Manda, "Lihat deh triple twin, Bunda marah coba. Padahal Bunda lucu ya twin, hahahahha."

Manda kembali marah pada Erlan, ia tak suka di samakan oleh ikan. Erlan menghentikan tawanya lalu menatap Manda yang masih ngambek dengannya.

"Sayang."

"Sayang"

"Bundaa"

"Yang"

Manda tak merespon. Jika Erlan ke kanan ia langsung melengos, jika Erlan ke kiri ia juga melengos. Pokoknya gak mau natap Erlan. "Ya udah aku keluar deh."

"Gak boleh, peluk," ucap Manda merentangkan tangannya tapi wajahnya masih khas orang ngambek. Erlan menahan tawanya, Ibu hamil itu memang aneh aneh.

Erlan langsung membalas hal itu dengan pelukannya pada Manda membuat Manda langsung menenggelamkan wajahnya di leher Erlan.

Jujur saja, Erlan merasa tergoda dengan Manda. Apalagi Manda beberapa hari ini selalu memulai untuk ciuman dan lebih agresif. Lihat sekarang Manda mengendus ngendus di leher Erlan.

Erlan berkali-kali harus membuang nafasnya kasar sambil memejamkan matanya. Ia tak boleh kalah oleh nafsunya, Manda saat ini sedang tak baik-baik saja. Ia juga bukan maniak sex jadi pasti ia bisa menahan nafsunya ini.

"Yang, kembaran kamu namanya siapa? orangnya kayak gimana sih?" tanya Erlan tiba-tiba. Manda yang mendegar itu menjadi kurang nyaman.

Selama ini tak terlalu banyak yang ingat hanya beberapa mimpi yang datang dari ingatan masa kecilnya. Manda juga lebih banyak ingat kejadian kejadian yang buruk. Walau masih membekas bagaimana Ibu dan Abangnya yang sayang padanya di lubuk hatinya paling dalam.

Erlan yang tak kunjung mendapatkan respon Manda kembali menanyakan hal berbeda namun satu tema. "Kalau anak anak kita lahir kira-kira mirip kamu atau kembaran kamu?" tanya aneh Erlan.

"Kembaran aku cowok, kita gak kembar identik jadi banyak bedanya. Inikan anak aku, jadi mirip aku." Erlan tersenyum, "Anak kita," koreksi Erlan.

Ia memiliki alasan lain kenapa ia menyakan hal ini, selain memancing Manda bercerita ia juga ingin Manda mengingat seseorang yang mungkin akan membantu mereka menemukan pelaku teror di rumahnya dan Manda.

"Lan, Dokter Rina ke sini jam berapa?" tanya Manda mengganti topik. Ia tak suka membahas terlalu pada Ibu dan kembarannya.

"Kemarin bilangnya, siang jam dua belasan mungkin. Kita tunggu aja, kamu udah bosen banget di rumah sakit?" Manda mengangguk, "Gak enak."

.....

Pemeriksaan yang Manda tunggu akhir baru saja selesai. Dokter Rina mengecek semua dan menanyakan beberapa pada Manda.

Dokter Rina juga sudah menimbang berat badan Manda. Dan kata beliau sudah cukup baik dari sebelumnya tapi masih belum ideal.

"Dok, kapan saya boleh pulang?" tanya Manda.

"Sebenarnya hari ini juga boleh. Melihat bagaimana pemulihan kamu yang cukup cepat. Hanya saja jika lebih lama di sini akan lebih memudahkan kamu untuk mengecek segera keadaan janin."

Manda menatap Erlan, ia ingin pulang, ia tak suka di rumah sakit. Erlan hanya bisa menghela nafasnya. Akhirnya Erlan mengalah, ia akan mengurus kepulangan Manda.

Manda terpekik senang membuat semua yang ada disana, di ruangan ini tertawa. Manda seperti bocah yang baru saja mendapatkan sepeda baru. Senangnya minta ampun.

Dokter Rina pamit, Manda dan Erlan tak lupa mengucapkan terimakasih pada Dokter Rina. "Aku urus dulu ya?" ucap Erlan tanya. "Oke, Bunda sama Bude juga udah mau sampai sini kok, kamu jangan khawatir."

Erlan mengecup bibir Manda singkat lalu pamit untuk mengurus kepulangan Manda sebentar. Walau nyatanya tak mungkin sebentar.

Setelah beberapa jam kepergian Erlan. Manda sudah di temani oleh Bunda dan Bude Manda, yang saat ini sedang mengobrol cantik di atas sofa itu.

Ya namanya juga Ibu Ibu, ada aja yang dibahas. Sesekali Manda mendengarkannya, bagaimana ribetnya Bunda Erlan yang harus menjadi wanita karir sekaligus seorang ibu.

Manda juga mendengar bagaimana Budenya itu harus mengomeli anak dan suaminya tiap pagi untuk sarapan.

Di sini Manda mengerti satu hal, menjadi ibu itu tak semudah yang kita bayangkan. Apa Manda bisa seperti Bunda Erlan yang memberikan kasih sayangnya pada Erlan walau ia sibuk bekerja.

Apa ia bisa menjadi Budenya yang bisa mengerjakan banyak hal di waktu bersamaan walau mulut tak berhenti mengomel.

Atau Manda seperti Ibunya?

Erlan melihat pesan Om Ivan untuknya. Erlan berdecak sebal, Omnya belum juga berhasil menemukan informasi lagi. Padahal Erlan sudah menjelaskan semua apa yang ia rasakan ketika di kontrakan itu.

"Bagaimana ia bermain serapih ini? Aku bahkan tak bisa menebak siapa yang sedang bermain-mai dengannya," pikir Erlan sebal.

Erlan menghela nafasnya, pikirannya benar-benar penuh saat ini. Erlan rasanya ingin menenggelamkan dirinya saja.

.....

Manda saat ini memakan martabak keju yang dibawakan Om Ivan baru saja. Ah jika saja tak ada siapa siapa di sini, Manda pasti memakan semua martabak keju itu.

"Kenapa pulang sekarang Man?" tanya Budenya.

"Manda udah gak betah di rumah sakit, gak enak Bude bosen juga," jawab Manda.

"Kenapa gak jalan-jalan keluar pakai kursi roda?" tanya Bunda Erlan. Manda tersenyum tipis, "Erlan gak bolehin, Manda ke kamar mandi aja, Erlan nunggu di dalam."

Bunda Erlan dan Bude Manda langsung tertawa melihat tingkah Erlan yang seposesif itu. "Ya gitu tuh dia Man. Manja, susah di atur, banyak maunya. Harus sabar kalau sama Erlan, apalagi kalau udha kumat sifat jahilnya."

"Erlan jahil banget ya Bunda?" tanya Manda. Ia memang pernah beberapa kali jadi korban jahilan Erlan. Yang kadang membuatnya kesal kadang membuatnya melayang, entahlah, heran ia dengan suaminya ada ada aja tingkahnya.

"Dari kecil Man, cuma kalau sama Papanya kayak udah ketemu musuhnya. Sifat mereka sama Man. Kalau nanti Papanya keras kepala Erlan ikutan keras kepala. Kalau Papanya ini itu Erlan juga ikutan. Pokoknya mereka itu samaan tapi gak bisa akur. Pasti ada aja yang di jadiin bahan ribut dulu."

Manda tertawa, ia jadi teringat bagaimana keras kepalanya Erlan waktu bersamanya. Ia juga teringat bagaimana Erlan dan ia diusir dari rumah orang tua Erlan.

Terlihat bagaimana Erlan yang melawan Papanya dengan menuruti papanya itu dan tak pernah sama sekali meminta bantuan Papanya. Padahal Erlan sedang butuh.