webnovel

Change To Life

17+ Manda Hashilla harus menelan pil pahit ia mengetahui dirinya telah hamil sedangkan ia belum menikah. Manda tahu siapa ayah dari anak yang ia kandung, tapi ia tak berani mengungkapkannya. Dia adalah Erlan Airlangga Gantara. Teman satu angkatan Manda yang terkenal tajir, cool, cerdas. Pil pahit itu tak berhenti, setelah malam acara kelulusan ayahnya tak sengaja menemukan test pack yang ia gunakan. Ayahnya Manda marah dan langsung mengusir Manda dari rumah. Erlan yang berusaha mengingat malam pesta Reno akhirnya teringat. Ia telah merenggut sesuatu yang berharga dari seorang gadis. Lalu bagaimana mereka menjalani kehidupan? Dan bagaimana reaksi mereka jika ternyata yang merencanakan kejadian ini semua adalah orang yang tak terduga bagi mereka? . . . . Sesuatu yang bermula dengan keburukan tak mesti berakhir buruk pula. Berusahalah. Keajaiban itu ada.

fatikhaaa_ · Urban
Not enough ratings
187 Chs

13. Lebih Baik

Erlan mondar mandir di depan ruangan, Om Ivan sedang menuju kantornya untuk membahas teror yang di dapatkan Erlan tadi.

Erlan saat ini benar-benar panik, diotak Erlan sudah berpikiran yang aneh-aneh. Bahkan ia ingin sekali mendobrak pintu ini saking lamanya dokter memeriksa istrinya.

"Keluarga pasien?" tanya Dokter yang baru saja keluar dari ruangan pemeriksaan. "Saya suaminya Dok."

"Syukurlah tak ada hal buruk pada pasien dan janinnya, istri Anda hanya kelelahan dan syok, saya juga sudah menghubungi dokter Rina untuk segera datang ke rumah sakit untuk mengecek kandung istri Anda lebih lanjut. Dan saya sarankan untuk dirawat dulu di rumah sakit."

Erlan mengangguk lalu mengucapkan terimakasih. Erlan memasuki ruangan melihat Manda yang sudah siuman. "Man?" panggil Erlan.

Erlan mendekati Manda mencium kening Manda lama, ia lega Manda dan kembar tidak apa apa. Manda menatap Erlan ia masih kepikiran dengan apa yang terjadi di rumah kontrakannya.

Erlan yang tahu itu meminta Manda untuk nanti saja, "Kita bahas nanti ya, aku urus administrasi dulu sama kamar rawat inap buat kamu. Oke?" Manda mengangguk paham walau sebenarnya ia sudah tak bisa menahan segala tanda tanya di otaknya.

Erlan kembali mencium kening Manda dengan lama, menyalurkan rasa sayang dan leganya. "Jangan lama-lama," pinta Manda dan Erlan langsung mengangguk.

Erlan menuju tempat dimana mengurus administrasi. Ponsel Erlan berdering, sebuah panggilan masuk.

"Halo Bun?"

("Erlan, Manda benaran masuk rumah sakit? Gimana keadaannya? Mereka baik-baik aja kan? Bunda lagi perjalanan ke sana sama Om Ivan.")

"Iya Bun, Bunda hati-hati ya."

"Iya Lan."

Erlan mematikan sambungan teleponnya. Sebenarnya Erlan ingin melarang Bundanya untuk datang, mengingat Papanya belum menerima Erlan dan Manda. Tapi Erlan saat ini butuh orang lain untuk menjaga Manda, ia harus mengurus segala hal untuk rawat inap Manda dan juga teror yang baru saja mereka dapatkan.

.....

Manda masih terus terusan memikirkan kejadian itu, ia masih ingat jelas bagaimana bentuk tikus dengan tiga anaknya yang mati dengan darah yang masih segar. Telinganya juga masih terngiang-ngiang Om Ivan yang membacakan isi surat itu.

Manda mengelus perutnya, sepertinya anak-anaknya sedang merasa ketakutan juga, perut Manda benar-benar nyeri rasanya.

"Oke Manda, tenang, rileks. Ya Allah Dek, maafin Bunda ya nak kalian jadi ikutan takut gini. Tenang sayang Allah pasti selalu lindungi kita, Ayah selalu ada bersama kita," lirih batin Manda.

Manda menggigit bibir bawahnya, rasa sakitnya semakin menjadi bahkan sudah melebihi nyeri yang pernah Manda rasakan. Isshhh....

Manda tak bisa bergerak bahkan mengeluarkan suara meminta bantuan pun Manda tak bisa. "Ya Allah Nak, kalian tenang ya sayang. Maafin Bunda udah buat kalian tertekan beberapa hari ya Nak. Sayang Bunda kesakitan Nak," lirih Manda berusaha berbicara pada anak-anaknya.

Pintu terbuka menampilkan Bunda Erlan dan Om Ivan yang baru saja datang. "Kamu kenapa Man?! Ivan panggil dokter cepet! Telpon Erlan juga!" kata panik Bunda Erlan ketika melihat menantunya sudah dibanjiri keringat dingin dengan mata terpejam erat dan rintihan yang keluar dari mulutnya.

"Ya Allah, kalian kenapa Nak? Lihat sayang, banyak yang sayang sama kita Nak, jadi kalian jangan takut," lagi-lagi lirih Manda dalam hatinya.

"Man, kamu masih denger suara Bunda kan? Sabar ya sayang dokter bakal datang."

Selang beberapa saja dokter dan suster datang, mereka meminta Bunda Erlan untuk keluar dulu dari ruangan. Lalu datang lagi seorang dokter wanita paruh baya, dokter Rina.

Bunda Erlan berusaha menghubungi Erlan dan Om Ivan berkali-kali. Ia sudah panik setengah mati ketika melihat Manda yang merintih kesakitan begitu. Katanya Manda tak apa-apa tapi kenapa ia masuk Manda sudah keadaan begitu, awas saja kalau Erlan bohong sama dirinya.

Erlan berlari ia sudah menyerah semua kepada Om Ivan dan sekarang ia berlari menuju tempat Manda dan anak-anaknya berada.

"Bunda? Manda ada apa?" tanya Erlan dengan dada yang masih ngos-ngosan. "Kamu tuh ya Lan, kata Manda udah gak napa-napa! Bunda masuk Manda udah nahan kesakitan tahu!" marah Bunda Erlan pada Erlan.

"Serius Bunda tadi Manda gak napa-napa kok makanya Erlan berani ninggal Manda buat urus administrasi. Kalau tahu Manda bakal kayak gitu Erlan gak mungkin ninggalin Manda Bun."

Bunda Erlan tak bisa marah lagi pada anak semata wayangnya. Perkataan Erlan juga ada betulnya, ia tahu watak Erlan.

Bunda Erlan duduk dan meminta Erlan juga duduk. Kaki Erlan terus bergerak ia benar-benar sedang panik. "Lan," suara lembut Bunda nya tak mampu membuat Erlan berhenti panik.

Bunda Erlan memeluk anak kesyangannya ini. Anak yang amat ia rindukan, anak satu-satunya. "Manda wanita yang kuat, bayi kalian juga kuat. Kamu harus percaya Manda bisa lewati ini semua, kamu berdoa ya Nak ya."

"Erlan takut Bunda, Erlan suami yang gak becus, Erlan ayah yang gak berguna Bunda. Erlan takut Manda sama anak-anak Erlan pergi ninggalin Erlan Bunda."

"Ssst gak boleh ngomong gitu, mereka kuat kamu harus yakin itu. Berdoa Nak buat mereka." Bunda Erlan mencium kening anak laki-lakinya ini. Memberi ketenangan agar Erlan lebih rileks.

"Ya Allah, tolong lindungi istri hamba dan anak-anak hamba. Hanya kepadamu hamba meminta dan hanya kepadamu hamba berserah."

.

.

.

Setelah menunggu berapa lama Dokter Rina keluar dari ruangan. "Dok gimana keadaan istri saya?" tanya Erlan dengan cepat. "Bisa kita bicara di ruangan saya Erlan?" tanya Dokter Rina. Erlan mengangguk.

"Bunda, Erlan titip Manda ya."

"Iya Lan," jawab Bunda Erlan sambil mengelus lengan Erlan.

Erlan mengikuti langkah Dokter Rina menuju ruangan beliau. Sesampainya di sana Erlan dipersilahkan Dokter Rina untuk duduk.

"Erlan maaf sebelumnya, apa kalian sedang punya masalah?" tanya serius Dokter Rina pada Erlan. Erlan menghela nafasnya, "Iya Dok."

"Erlan, maaf sebelumnya jika memang masalah ini bisa di bicarakan baik-baik tolong segera ya. Kalau tidak jangan terlalu membuat Manda jadi beban pikiran dia. Saya sudah pernah bilang kepada kalian. Resiko hamil kembar tiga itu sangat tinggi, ditambah riwayat darah rendah Manda."

"Manda sempat pendarahan tadi, tergolong ringan tapi tidak bisa kita sepelekan begitu saja. Berat badan Manda juga tidak ideal untuk ibu hamil kembar tiga, dan semua ini sangat berdampak pada bayi kalian. Setelah ini tolong jaga lebih kesahatan fisik maupun psikis Manda. Dan jangan lupa selalu konsultasi kepada saya. Saya sudah tulis resep, diminum setelah makan."

"Terimakasih ya Dokter Rina," kata Erlan. "Sama sama itu sudah menjadi tanggung jawab saya, semoga kalian baik-baik saja. Ingat pesan saya ya Erlan."

Erlan mengiyakan kata Dokter Rina lalu ia pamit undur diri. Di koridor Erlan terus menerus memikirkan Manda, Kembar, dan juga teror yang terjadi.

"Lo gak becus banget sih Lan! Lo bisa aja kehilangan kembar! Lo bisa aja kehilangan Manda!" kesal Erlan pada dirinya sendiri.

Erlan mendapatkan sebuah pesan dari Bundanya, bahwa Manda sudah dipindahkan ke ruangan rawat inap.

Erlan menaiki lift menuju lantai kamar rawat inap Manda. Erlan meremas kayu pinggiran lift, sambil menunduk, "Gue bakal cari siapa orang itu! Gue buat perhitungan atas apa yang dia lakuin!" Erlan memukul lift menyalurkan rasa marahnya.

Erlan sampai di depan ruangan Manda, ia terlebih dahulu menetralkan ekspresi marahnya, "Ingat Lan fisik dan psikis Manda penting."

Ceklek..

Pintu terbuka menampilkan Manda yang sedang memejamkan mata dengan selang infus yang menancap di tangan kanannya.

Bunda Erlan dan Om Ivan menatap ke arah pintu. "Sini Lan." Bunda Erlan meminta Erlan untuk mendekat ke arah ranjang Manda.

"Kata dokter apa Lan? Manda dan Cucu Bunda baik baik aja kan?" tanya Bunda Erlan. Erlan tersenyum pedih membuat Bunda Erlan bingung arti senyuman itu sedangkan Om Ivan sudah paham karena ia menyaksikan apa yang terjadi di kontrakan Erlan dan Manda.

Bunda Erlan menghela nafasnya, Erlan tiba-tiba bersimpuh di depan Bunda nya ia langsung memeluk Bundanya menenggelamkan wajahnya di perut Bundanya.

Erlan tak kuasa menahan tangisannya, Bunda Erlan ikut menangis mendengar tangisan pilu anak semata wayangnya yang selalu terlihat tegar dan kuat.

"Erlan yang tabah ya Nak. Bunda yakin kalian pasti bisa lewati ini semua." Bunda Erlan mengelus punggung anaknya yang bergetar. Om Ivan hatinya juga ikut terenyuh, selama ini ia selalu melihat Erlan yang kuat.

"Udah udah Lan, nanti kalau Manda dengar loh. Cup...cup... cup sayang," kata Bunda Erlan sambil mengelus rambut Erlan.

Erlan melepas pelukan itu lalu menghapus air matanya. Bunda Erlan mencium dahi anaknya dengan sayang, "Erlan harus kuat ya."

"Papa tahu Bunda ke sini?" tanya Erlan pada Bundanya. "Iya Papa tahu, Papa juga yang ijinin Bunda kesini."

Erlan mengerutkan dahinya, "Kenapa Papa gak ikut?" tanya heran Erlan. Erlan melihat Bunda nya yang saling menatap dengan Om Ivan. "Bunda gak lagi sembunyiin sesuatu sama Erlan kan?" tanya Erlan.

"Papa sakit Lan, udah dua hari di rawat di rumah sakit. Kamu kalau ada waktu datang ke sana ya Lan jenguk Papa." Erlan menghela nafasnya kasar tapi ia tetap mengangguk.

"Papa sakit apa emangnya Bunda?" tanya Erlan. "Kamu ke sana aja, biar Papa yang jelasin ke kamu sendiri," kata Bunda Erlan. Erlan berdiri lalu menarik kursi agar dekat dengan ranjang Manda.

"Eh Lan, Cucu Bunda udah berapa bulan?" tanya Bunda Erlan.

"Sepuluh minggu," jawab Erlan sambil menatap wajah damai Manda dan memegang tangan Manda.

"Masa sepuluh minggu udah kelihatan banget gini sih Lan?" tanya heran Bunda Erlan. "Bunda bakal dapat cucu kembar." Bunda Erlan menatap tak percaya Erlan. "Kembar tiga."

"Hah?!" pekik kaget Bunda Erlan dan Om Ivan.

Erlan mengangguk lalu mengelus perut Manda sambil terus mengucap syukur anak-anaknya tetap berada di sini.

Bunda Erlan masih syok tak percaya. Pantas saja beda ketika ia hamil Erlan dulu pikir Bunda Erlan.

.....

Hari sudah semakin malam, Manda belum juga siuman. Bunda Erlan pamit dengan Om Ivan karena Erlan tak mungkin membiarkan Bundanya lama-lama disini.

"Bunda pulang ya? Yang sabar ya Nak." Bunda Erlan memeluk anaknya sayang. "Iya Bunda, terimakasih Bun. Bunda hati-hati, jaga kesehatan Bunda juga."

"Kamu tenang aja Om pasti bantu kamu. Kamu fokus dulu sama Manda dan bayi kembar kalian," kata Om Ivan sambil menepuk bahu Erlan. "Terimakasih ya Om."

Bunda Erlan dan Om Ivan akhirnya pulang. Sekarang tinggal Erlan dan Manda yang belum kunjung siuman. Erlan mengelus rambut Manda, "Kamu nyenyak banget sih sayang."

Erlan menidurkan kepalanya di sebelah kepala Manda, membawa tangan Manda kiri Manda di atas pipinya. Sambil tangan Erlan terus mengelus perut Manda.

Manda membuka matanya ia menatap sekeliling ruangan putih luas dan hanya ada kasur dirinya seorang. Manda melihat ke samping dimana wajah Erlan yang tertidur pulas menyamping menatapnya.

Manda melihat ke bawah, ia langsung bersyukur ia tak kehilangan anak-anaknya. "Ya Allah sayang, terimakasih buat terus sama Ayah Bunda Nak."

Manda kira ia kehilangan anaknya, pasalnya sakit yang ia rasa sangat menyakitkan, ia bahkan susah menggerakan tubuhnya.

"Lan, Erlan." Manda membangunkan Erlan dengan suara serak dan pelannya. Manda menggerakkan tangannya menepuk pipi Erlan. "Lan bangun."

Erlan yang merasa tidurnya terusik mulai membuka matanya, ia melihat Manda yang sedang menatapnya, "Kamu udah bangun?! Ada yang sakit gak?" tanya panik Erlan.

Manda tersenyum lalu mengangguk, "Sini." Manda menepuk bagian di sampingnya yang kosong, apa lagi kasur ini lebih besar dari kasur rumah sakit pada umumnya.

Erlan menaiki ranjang, ia menaikkan pembatas kasur agar punggungnya dapat bersandar dan ia tak jatuh ke bawah. Manda dengan pelan merubah tubuhnya ke samping, ia ingin memeluk Erlan. "Masih sakit?" tanya Erlan yang ngeri lihat bagaimana Manda merubah posisinya.

Manda mengangguk ia lalu mengalungkan kedua tangannya ke leher Erlan. Manda mencari posisi agar tubuhnya nyaman. Erlan mengelus punggung Manda, satu tangannya mengelus rambut Manda.

Meraka sama sama terdiam, menikmati detakkan jantung mereka yang saling bersautan. Erlan masih terus mengelus punggung dan rambut Manda.

"Jelasin semuanya Lan," pinta Manda tanpa menatap Erlan.

Erlan menghela nafasnya, ia sekarang menjadi serba salah, jika ia menjelaskan, ia takut Manda semakin memikirkan hal ini. "Lan kamu udah janji sama aku, buat bahas ini."

Manda memundurkan wajahnya menatap Erlan dalam dalam. "Aku lemah banget ya Lan di mata kamu? Aku perusak ya Lan di mata kamu? Aku beban ya Lan di mata kamu? sampai aku gak boleh tahu apa yang terjadi. Padahal itu nyangkut anak-anak aku, aku, kita."

Erlan menggeleng, "Bukan gitu Man."

"Kalau gitu kamu ngomong sama aku. Jelasin Lan, biar aku gak salah paham, biar aku gak jadi orang bodoh padahal aku dua puluh empat jam sama kamu." Manda meneteskan air matanya.

Ia teringat pada Gani dan Reno yang mengatakan bahwa Erlan menjual baju dan sepatunya. Erlan banting tulang buat memenuhi kebutuhan mereka dan Manda gak tahu itu, hanya tahu Erlan lembur kerja. Erlan bahkan rela menukar motornya demi mendapatkan uang. Dan lagi-lagi Manda gak tahu itu.

Erlan menatap Manda yang terus mengeluarkan air mata dan hanya menatapnya. Erlan tak tega melihat Manda yang seperti itu, ia memeluk Manda membawa Manda kedalam pelukannya.

"Kamu jahat Lan hiks dan aku bodoh hiks." Erlan mengelus rambut Manda dan punggung yang bergetar itu.

"Kamu tahu gak sih Lan, dua hari yang lalu ada paket. Isi paket itu foto-foto kamu sama perempuan lain. Awalnya aku berharap itu semua editan. Tapi kamu buat aku percaya sama foto itu." Erlan mengerutkan dahinya, tangannya masih terus bergerak mengelus Manda. Telinganya fokus mendengar kata-kata Manda.

"Kamu selalu lembur kerja setelah itu kamu selalu ijin keluar tanpa bilang alasannya. Setiap aku tanya kamu cuma jawab bentar bentar. Kamu juga kemarin pulang sama parfume cewek lain di baju."

"Aku bahkan udah berpikir kamu punya perempuan lain di luar sana. Kamu juga cuma merasa kasian sama aku yang ngandung anak kamu."

Erlan langsung mengelak, "Tapi aku gak mungkin lakuin hal itu Man." Manda menatap Erlan dalam dalam, "Tapi aku wajar kan mikir kayak gitu, dengan sikap kamu yang seperti itu."

Erlan hanya bisa menatap Manda tanpa membalas perkataan itu. Jika ia di posisi Manda maka ia juga akan sama berpikiran seperti itu.

"Aku bingung Man," kata sedih Erlan. Manda menatap Erlan. "Aku bingung harus bagaimana. Jika dulu aku berani menghadapi mereka bahkan dengan tangan kosong pun. Tapi sekarang, ada kamu, ada bayi dan kalian tanggung jawab aku."

Erlan mengeluarkan suara dengan perlahan, menunjukkan betapa putus asa nya dia selama ini. "Aku takut tindakan aku ngebuat kalian dalam bahaya. Otak aku gak bisa jalan seperti biasa Man. Selalu ada bayangan kalian yang gak bisa aku jaga."

Manda menyentuh pipi Erlan, "Tapi jangan di tanggung sendiri Lan. Aku juga istri kamu."

"Dan berakibat kamu kayak gini?! Lihat kamu sakit aja aku gak tega Man. Apalagi lihat kamu kesakitan dan rasa sakit itu gak bisa berbagi sama aku. Aku merasa jadi laki-laki gak berguna buat kamu!"

Manda menangkup wajah Erlan mendekatkan bibir Erlan ke bibirnya. Erlan memegang tengkuk Manda, memperdalam ciuman mereka. Mereka menyalurkan semua rasa di hati mereka yang menutup dan tercampur aduk dengan ciuman itu. Tanpa sadar air mata Manda dan Erlan menetes bersama.

Manda melepas panggutan itu, menghentikan ciuman mereka, ia membutuhkan pasukan oksigen untuk mengisi paru-parunya. Erlan mengelus bibir Manda yang sudah bengkak karena ciuman dan gigitannya. Yang justru menambah kesan seksi pada Manda.

"Maaf," kata Manda tiba-tiba. "Kita salah. Aku juga minta maaf sama kamu. Aku janji bakal lebih bersikap dewasa." Manda mengangguk lalu mengecup pipi singkat Erlan membuat Erlan terkekeh geli.

Padahal Manda tadi nangis, terus marah, terus sedih, dan sekarang malah gemesin gini. Memang ya ibu hamil itu moodnya aneh.

"Lan, terus .... buat yang kejadian tadi?" tanya Manda dengan sedikit ragu. Ia memilin baju Erlan, otak Manda masih dapat merekam jelas kejadian di kontrakannya.

"Kamu tenang aja, Om Ivan bakal bantu kita, aku juga minta tolong sama Reno Gani buat bantuin aku. Kita fokus ke kesehatan kembar sama kamu dulu." Manda mengangguk walau ia sebenarnya sangat takut.

"Jangan terlalu di pikirin Man, kamu harus ingat kembar bakal rasain apa yang kamu rasain. Kamu kalau ada apa apa jangan di pikir sendiri, ngomong sama aku ya?" Manda kembali mengangguk sambil terus memilih baju Erlan bahkan bajunya sudah sangat kusut.

"Maaf ya Lan, kembar jadi gini gara-gara aku."

"Aku gak suka kamu yang terus nyalahin diri kamu. Disini aku juga salah Man, stop salahin diri kamu. Oke?" Manda menatap Erlan, "Aku takut."

Erlan tersenyum tipis, ia menyatukan dahinya dan dahi Manda membuat ia dapat melihat jelas ketakutan di mata Manda. "Aku juga, tapi kita harus ingat, kita pasti bisa lewatin ini semua."

Manda menutup matanya ketika Erlan mencium kedua matanya, "Ayo tidur." Ajakan Erlan membuat kepala Manda mengangguk.

Erlan mengelus perut Manda sambil terus melihat mata Manda yang terpejam. Deru nafas Manda berangsur-angsur teratur, hingga mata Erlan juga ikut memberat. Erlan membetulkan selimut yang menutupi tubuh Manda lalu ikut terlelap bersama Manda.

.

.

.

.

Erlan membuka matanya, pandangan pertamanya adalah mata Manda yang masih terpejam. Erlan menamati semua lekukan wajah Manda, menyimpan baik-baik dalam memorinya.

Tiba-tiba Erlan menutup mulut, perutnya menekan meminta sesuatu untuk di keluarkan. Matanya bahkan sudah berair.

Erlan cepat-cepat menurunkan pembatas kasur ia langsung lari ke kamar mandi tanpa menggunakan alas kaki.

Ooeek.... Oek... Ooekk...

Erlan memegang pinggiran wastafel, sambil terus berusaha mengeluarkan isi perutnya. Sayang, hanya cairan putih yang keluar.

Ooeek... Oek...

Manda merasa tidurnya terusik, samar samar ia mendengar suara orang yang sedang muntah. Manda membuka matanya, menyesuaikan matanya dengan cahaya diruangan ini.

"Erlan?" panggil Manda karena tak mendapati Erlan di sebelahnya. Manda kembali mendengar suara orang yang sedang muntah, "Erlan muntah?" tanyanya.

Selang beberapa menit Erlan keluar dari kamar mandi dengan wajah yang pucat pasi. Bibirnya bahkan sudah putih pucat. "Kamu gak papa?" tanya khawatir Manda karena melihat Erlan yang begitu pucat.

Erlan mengangguk lemas ia langsung merebahkan tubuhnya di sofa. Manda menggerakan tubuhnya pelan membuat kasur sedikit berdecit, "Kamu mau kemana?" tanya Erlan yang sudah menatap Manda.

"Kamar mandi." Erlan menghampiri Manda, mengesampingkan rasa pusingnya. "Kamu tiduran aja, aku masih bisa kok," kata Manda melihat Erlan yang berjalan ke arahnya.

Erlan tak mendengarkan kata Manda, ia langsung menggendong Manda, Manda hanya bisa pasrah ia mengalunkan tangannya di leher Erlan. Jujur saja, saat menggendong Manda, hati Erlan berdesir sakit. Pasalnya ketika ia menggendong Manda tak ada bedanya saat ia menggendong Manda saat bayi masih usia sebulan.

Erlan meminta Manda untuk mengambil selang infusnya, "Kamu bawa infusnya ya."

"Iyaa, terimakasih." Erlan membawa Manda ke dalam kamar mandi lalu mendudukkan Manda di atas kloset. Ia mengambil infus dari tangan Manda lalu memasangkan ke tiang yang memang ada di kamar mandi.

"Kamu keluar dulu deh Lan," pinta Manda, ia ingin mengganti pembalut dan ia malu jika Erlan melihatnya.

"Kenapa? kamu bisa emangnya?" tanya Erlan.

"Aku mau ganti pembalut, sana keluar." Bukannya keluar Erlan malah mengambil pembalut yang ada di tangan Manda. "Lan! Kamu mau ngapain?!"

"Kamu berdiri aja masih gemetaran, sok sokan bisa ganti." Manda tersenyum kikuk, "Tapi aku malu sama kamu Lan. Udah sana aku bisa kok."

"Ya kenapa harus malu sih, orang aku juga udah pernah lihat semuanya," kata frontal Erlan. Manda langsung mencubit lengan Erlan.

"Loh kok aku di cubit sih Yang, sakit tahu. Aku kan bener ngomongnya." Manda sudah merah padam wajahnya, ia benar-benar malu ditambah ucapan Erlan yang ambigu.

"Mau ganti kapan nih?" tanya Erlan mengangkat kedua alisnya. "Aku sendiri aja Lan, siniin pembalutnya."

"Kalau gini terus yang ada kamu gak ganti ganti loh Man." Manda akhirnya mengalah pinggangnya juga sudah pegal padahal ia hanya tiduran.

Erlan menarik tangan Manda agar berpegang pundaknya lalu ia membantu Manda untuk berdiri. Manda menumpu semua beratnya di tangannya yang ada di pundak Erlan. Erlan mengangkat baju terusan hijau khas rumah sakit yang Manda gunakan.

Ia sedikit menundukkan tubuhnya, Manda sedari tadi menggigit bibirnya, ia malu sekarang. Erlan membuka menurunkan celana dalam Manda. Lalu melepas pembalut yang Manda pakai, Manda sudah gugup banget, "L-Lan lihat warna darahnya. Dokter Rina bilang harus ingat warna darahnya," kata Manda dengan gugup, Erlan hanya mengangguk.

Ia lalu membuka pembalut itu, "Man ini gimana masangnya?" tanya heran Erlan. Manda mendesis kakinya sudah mulai kesemutan, ia juga gugup dan Erlan malah bertanya seperti itu.

"S-Siniin." Erlan menyerahkan pembalut itu sedangkan Manda menerima sambil gemetaran. "Ini yang depan."

Erlan kembali memasangkan pembalut itu lalu menaikkan kembali celana dalam Erlan, "Oke sudah." Erlan membetulkan baju Manda.

"Erlan Manda! Kalian di dalam?" tanya seseorang diluar pintu kamar Mandi. "Iya Bun, bentar."

"Kaki aku kesemutan Lan." Erlan terlebih dahulu membasuh tangannya dan membuka pintu lalu menggendong Manda.

Bunda Erlan yang masih di depan kamar mandi membantu membawakan infus Manda. Manda sudah semakin gugup pasalnya Bunda Erlan ada disini.

Erlan merebahkan Manda di atas ranjang, Bunda Manda memasangkan infusnya kembali ke tiang. Manda menatap tanya kedua orang yang ada di kamarnya. Bunda Erlan yang tahu tatapan itu memperkenalkan kedua orang ini.

"Oh ini perkenalkan Bik Suti dan ini suaminya Pak Mar. Mereka udah lama kerja jadi bareng Bunda." Bik Suti dan Pak Mar mengangguk memberi salam pada Manda. Erlan yang sudah tahu hanya melihat saja.

"Ini Bunda bawain baju ganti sama keperluan kalian," kata Bunda sambil menunjuk tas berisi baju dan keperluan Manda dan Erlan.

"Kok Bunda bisa masuk ke rumah Erlan??" tanya heran Erlan. Bunda Erlan terkikik, "Bunda minta kunci cadangan ke Bu Hera."

Erlan menghela nafasnya, Bundanya tak berubah, ia pasti sudah saling bertukar kabar dengan Bu Hera tentang ia dan Manda. "Oh iya, Manda gak punya baju terusan ya? Waktu Bunda cari cuma ada celana pendek sama panjang dan itu bakal bikin susah kamu nanti. Terus Bunda juga buru-buru ke sini, kalian pasti belum sarapan. Jadi Bunda belum beli baju buat Manda."

"Bunda bawain short dress sama baju tidur deh."

Manda tersenyum pada mertuanya, "Gak papa kok Bun." Bunda Erlan memberikan sarapan dan buah potong yang sudah ia siapakan dan juga meminta kedua asistennya untuk duduk dan ikut sarapan.

Erlan menaikkan posisi kasur agar Manda bisa duduk bersandar sambil tiduran. Bunda Erlan membetulkan posisi bantal Manda agar lebih nyaman. "Terimakasih Bunda."

"Kamu mandi sana Lan, kucel banget kamu," suruh Bunda Manda, Erlan yang tahu Manda tak sendiri akhirnya mengiyakan kata Bundanya. Erlan mencium kening Manda terlebih dahulu membuat semua orang menatap satu pasangan itu. "Ulu ulu manisnya anak Bunda," goda Bunda Erlan membuat Manda tersipu malu.