1 Libur Sekolah

Hari libur setelah ujian akhir sekolah adalah hal paling ditunggu tunggu semua siswa-siswi, mereka selalu punya cara agar hari libur mereka menjadi lebih berwarna. Entah hanya sekedar berlibur ke puncak, Mall, taman hiburan, nonton bioskop, pergi ke pantai atau sekedar menghabiskan waktu di tempat tidur dengan handphone kesayangannya. Tak terkecuali Tania Jovanka, salah satu siswi yang masih duduk di bangku XI SMA. Tania lebih suka menghabiskan waktu liburan sekolah untuk menuangkan setiap isi kepalanya di buku Diary. Sesuatu yang jarang sekali dilakukan anak remaja pada umumnya.

Tok ... tok ... tok ...

Suara ketukan pintu membuat Tania bangun dari ranjangnya dan berjalan kearah pintu.

"Iya bik, ada apa?" tanya Tania kepada wanita paruh baya berusia 55 tahun itu yang tak lain adalah pembantu Tania.

"Non Tania dipanggil bapak, kata bapak disuruh mandi karena ditunggu dimeja makan untuk sarapan bersama," kata pembantunya itu dengan sopan.

"Tolong bilang sama Papa, Bik. Tania masih ngantuk mau lanjut tidur. Nanti sarapan Tania tolong Bibik antar ke kamar aja, ya?" balas Tania malas tidak bersemangat sama sekali.

"Maaf, Non. Bibik cuma mau Non Tania nggak dimarahi bapak lagi. Saran Bibik Non Tania mandi terus sarapan sama bapak. Bibik mohon ya, Non?" Bujuk pembantu Tania memohon.

Beberapa saat Tania berpikir sejenak, sebelum akhirnya dia menyetujui keinginan pembantunya itu walaupun sebenarnya dia tidak ingin pergi.

"Baiklah! Bik. Bilang sama papa tunggu lima menit," ucap Tania pada bik Ijah pembantu kesayangannya itu.

Setelah mendengar persetujuan dari Tania, sang Bibik pergi meninggalkan kamar dan segera turun untuk menyampaikan pesan Tania.

Hubungan antara Tania dan papanya kurang baik sejak memutuskan menikah dengan mantan kekasihnya sewaktu SMA. Tania menolak dengan tegas keinginan sang papa karena masih tidak ingin orang lain menggantikan posisi mamanya yang sudah meninggal. Namun papa Tania tetap menikahi Sarah mantannya sewaktu SMA yang sudah memiliki anak juga dari suami sebelumnya. Usianya pun tak terpaut jauh dari Tania.

"Morning, sayang ...." Sapa Sarah, ibu tiri Tania ketika melihat Tania turun dari tangga. Sementara Tania tak menghiraukan sapaan ibu tirinya itu dan langsung duduk di meja makan. Tentunya memasang raut wajah yang selalu tidak menyenangkan saat harus bertemu dengan ibu tirinya itu.

"Kalau di sapa itu dijawab Tania." Tegur pak Herman seperti biasa karena sudah berapa ratus kali meminta Tania untuk bersikap baik kepada Sarah. Namun Tania tak kunjung bersikap sesuai yang diharapkan dan justru semakin lama semakin membuat papanya kesal.

"Males, Pa!" jawabnya singkat sambil mengoles selai strawberry di atas rotinya.

"Mau sampai kapan kamu bersikap tidak sopan dengan Mama Sarah?" tanya Papa Tania lagi. Mendengar ucapan sang papa Tania membanting pisau dan garpu diatas piringnya yang membuat semua kaget.

"Tolong jangan pernah panggil dia Mama didepan Tania! Karena mama Tania cuma satu dan itu cuma mama Lina yang sudah meninggal satu tahun lalu!" ucap Tania marah seketika itu.

"Sudah! Mas ... sudah! Biarkan saja Tania memanggil aku dengan sebutan Tante, itu sudah lebih dari cukup." Pinta Sarah kepada suaminya yang terlihat shock mendengar ucapan anak semata wayangnya itu.

Tanpa permisi Tania bergegas meninggalkan meja makan dan kembali ke kamarnya.

Saat dikamar ia tak kuasa menahan air mata. Tangannya meraih bingkai foto sang mama yang sudah tiada di atas nakas sebelah tempat tidur. Tania memeluk erat foto itu, buliran air matanya semakin deras mengalir membasahi pipi. Dadanya merasa sesak tak terkira.

"Ma, kenapa mama ninggalin Tania secepat ini ma?!" Isak Tania sembari memandang foto mamanya. "Tania kangen mama ... Tania sudah nggak betah tinggal disini! Tania mau pergi aja!" serunya pada bingkai foto itu.

***

Tanpa disadari bik Ijah masuk ke kamar dan memeluknya. Bik Ijah adalah pembantu dirumah keluarga Tania sejak dirinya masih dalam kandungan mamanya. Bik Ijah menyayangi Tania, begitu pula dengan Tania yang sangat menyayangi bik Ijah seperti ibu nya sendiri. Bukan tanpa alasan, karena selama ini yang paling bisa mengerti dan memahami Tania adalah bik Ijah itu sendiri selain ibu Lina, almarhumah mama Tania.

"Sabar ya, Non. Bibik tahu Non Tania kangen sama ibu Lina. Bibik juga kangen kok, Non. Tapi ... kita nggak boleh terlalu sedih, kasihan mama nanti malah nggak tenang disana. Non Tania kan kuat, mama non juga nggak mau non Tania jadi seperti ini." Bik Ijah menenangkan Tania yang masih menangis tersedu-sedu.

"Bik ... aku mau pergi dari sini! Aku mau tinggal sama bibik di kampung, aku nggak mau ketemu papa dan Sarah juga Risa!" kata Tania terbata bata karena sedari tadi air mata nya belum dapat berhenti.

"Non Tania nggak boleh begitu. Bibik senang Non Tania tinggal sama bibik, tapi Non tahu kalau bibik nggak bisa menyekolahkan Non Tania seperti sekarang! Tidak bisa ngasih kehidupan yang layak seperti yang Non punya. Bibik, sayang sama Non Tania, bibik minta Non Tania sabar, ya?" ucap bik Ijah menasehati Tania dengan penuh kasih sayang. Hal itu membuat dirinya selalu nyaman dan tenang.

"Sampai kapan, Bik? Papa itu udah nggak sayang sama aku sejak ada Sarah dan Risa! Mereka itu cuma parasit di kehidupan kita dan papa nggak sadar itu!" Emosi Tania kembali tersulut.

"Kalau menurut bibik, Ibu Sarah itu nggak seburuk yang dipikirkan. Ibu Sarah itu sayang sama Non Tania. Saran bibik, coba deh Non Tania belajar buka hati Non untuk ibu Sarah. Bibik yakin cepat atau lambat semua akan baik-baik saja."

"Nggak! Nggak mau ...!! Dia itu cuma perempuan perebut suami orang!"

"Eh! Non Tania jangan begitu ngomongnya, nanti kalau bapak dengar dimarahi lagi. Bibik sedih jadinya kalau Non Tania dimarahi bapak. Bibik jauh lebih sakit ...." Bik Ijah ikut mulai berkaca-kaca.

Melihat Bibik kesayangannya menangis, Tania segera memeluk bibik nya itu dan berkata,

"Bibik ... jangan menangis! Tania sayang bibik, Tania minta maaf ya? Bik. Tania enggak tahu lagi kalau Bibik nggak ada disini. Tania mungkin sudah kabur dari dulu. Tania janji sama Bibik, Tania akan bertahan demi Bibik!" ucap Tania.

Lalu keduanya tersenyum dan kembali berpelukan.

Sementara di ruang meja makan, Sarah masih meredam emosi suaminya itu. Beberapa kali Sarah terus mengatakan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan jika Tania belum bisa menerimanya sebagai Mama sambungnya.

"Semua butuh proses, Mas. Semakin kamu memaksa Tania, akan semakin sulit dia menerima aku. Jadi ... aku mohon sama kamu, biarkan Tania menerimaku dengan sendirinya," ucap Sarah kepada Herman.

"Mau sampai kapan dia bersikap tidak baik sama kamu, hah? Aku tahu ini berat untuknya. Tapi dia tidak pernah ingin belajar menerima kehadiran kamu, Sarah." Herman masih mengeluh karena sikap putrinya itu.

Sarah mengelus pundak Herman menguatkan.

avataravatar
Next chapter