1 Bahagia, Itu Saja

Tuut~

"Halo.."

"Halo Dean.." Hanya dari suaranya saja aku yakin Ola sedang tersenyum saat ini.

"Apa kau sudah sampai di taman?"

"Iya, aku berada tepat di depan air mancur. Ada apa, sayang? Tak biasanya kau mengajak bertemu disini."

"Apa kau melihatku?" Aku tepat di seberangmu." Ucapku yang sekarang berdiri menatap wanita cantik itu.

Ola adalah sosok wanita mandiri yang hebat, yang pernah ku kenal. Aku sudah mengaguminya saat kami pertama kali bertemu pada suatu acara di universitasku. Dia tampak tersenyum saat menoleh ke arahku, namun itu tak bertahan lama. Senyum yang mengembang di bibirnya kini perlahan menghilang saat aku memintanya untuk tidak menghampiriku.

"Ola, aku hanya akan mengatakan sesuatu melalui telepon." Ucapku lagi. Aku dapat dengan jelas melihat perubahan ekspresinya menjadi khawatir walau jarak kami terlampau cukup jauh.

"Ada apa, Dean? Apa ada masalah?" Dia bertanya kembali.

Tangan kananku yang saat ini memegang ponsel mulai bergetar bersamaan dengan napasku yang mulai tak beraturan. Aku menutup mataku sebentar, lalu menatapnya kembali untuk berbicara.

"Ola... Kau tau aku sangat mencintaimu kan?"

Perkataanku jelas membuatnya terlihat bingung. Namun dia hanya terdiam menungguku bicara kembali.

"Aku sangat bahagia bersamamu. Aku bersungguh-sungguh mengatakan ini. Aku bahkan tau bahwa aku bisa gila jika kau pergi dariku.." Hanya beberapa kata, namun cukup membuat dadaku sesak setelah mengatakannya.

"Tapi aku tak ingin membuat kebahagiaanmu hilang karena diriku.."

"Bagaimana kau tau aku kehilangan kebahagiaanku karena dirimu?"

"Aku membuatmu tidak sebahagia saat sebelum kau bertemu denganku.." Aku tau dia akan marah, kesal atau bahkan jika dia ingin memukulku saat ini juga, aku akan membiarkannya melakukan itu padaku.

"Apa ini tentang mama? Apa dia membahas tentang latar belakang keluarga kita lagi? Katakan padaku Dean."

"Ola.. Aku minta maaf karena aku telah membuatmu mengalami hal ini. Aku sangat egois karena hanya memikirkan diriku sendiri."

"Dean! Kita sudah sering membahasnya. Aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Aku pasti akan..."

"Jangan pilih aku.... Jangan lakukan itu Ola.."

Sesaat setelah aku mengatakannya, wajah Ola tertunduk bersamaan dengan tangannya yang mulai mengusap air mata.

"Aku akan menjadi orang yang jahat jika membuat hubungan ibu dan anak menjadi buruk. Itu sama saja aku merenggut kebahagiaanmu."

"Aku tak bisa melihatmu terluka, aku benar-benar tidak bisa. Namun jika aku terus memaksamu berada di sisiku, itu sama saja dengan aku menyiksamu." Tangisan Ola semakin terdengar dari seberang telepon.

"Kau bodoh! Kau pengecut!" Ucapnya. Tepat di depanku, wajah yang dahulu penuh dengan senyuman dan tawa, kini menatapku dengan penuh kesedihan. Wajah sedih yang tak pernah ku inginkan menghiasi dirinya.

"Benar, aku tak punya keberanian untuk menatapmu lebih dekat. Aku tak punya keberanian bahkan untuk bicara langsung padamu. Benar, aku sepengecut itu." Air mata yang sedari tadi ku tahan, akhirnya menyentuh pipiku.

"Aku takut jika aku tak bisa melepaskanmu. Maafkan aku.." Aku mengatakannya dengan terbata-bata. Perlahan ku coba melepaskan semua perasaan yang ku pendam. Rasa sakit, amarah pada diriku sendiri yang ku luapkan dengan tangisan. Perih terasa saat aku mengakuinya, bahwa aku terlalu takut untuk melepaskan sosok sepertinya. Sosok yang menghiasi hari-hariku, dan membuat hidupku terasa lebih berarti.

"Dean.. Kita sudah berjanji untuk menghadapi apapun bersama-sama. Tapi kau ingin melepaskanku sekarang, begitu? Kenapa kau mengingkarinya?"

"Benar, kita sudah berjanji. Kita berjanji untuk menghadapi hal-hal sulit bersama. Namun pada hal ini, kau menghadapinya sendiri, Ola. Sedangkan aku? Apa yang aku lakukan? Tidak ada. Aku hanya menempatkanmu pada pilihan yang sulit. Aku masih menahanmu di sampingku hingga saat ini, itu sama saja membuatmu terluka. Aku tidak pantas melakukan hal itu padamu."

"Lalu apa maumu sekarang?" Dia menekankan ucapannya seraya mengangkat wajahnya dan menatapku tajam.

"Aku ingin kau bahagia. Aku melepaskan dirimu demi kebahagiaanmu. Hanya itu, aku ingin kau bahagia." Aku berusaha memberikannya sebuah senyuman padanya, walaupun air mataku masih terus menetes.

Dia menutup telepon tepat setelah aku mengatakan apa yang aku inginkan darinya, lalu terdiam menatap ke arahku beberapa saat dengan masih mencoba menghentikan tangisannya.

Tanganku mengepal dengan keras karena mencoba menahan diriku yang sangat ingin berlari menghampirinya lalu memeluknya dengan erat sebagai ucapan perpisahan. Namun, aku tak dapat melakukannya.

Perpisahan adalah hal yang menyedihkan bagi semua orang, dan aku tahu bahwa aku membuatnya lebih buruk sekarang. Namun, hal itu akan membantunya untuk melepaskan diri dari rasa sakit dengan lebih cepat.

Tak pernah sekalipun ku bayangkan membiarkan Ola pergi dari sisiku. Itu sama saja seperti membiarkan separuh jiwamu menghilang dari dirimu. Kami telah bersama selama lima tahun lamanya dan telah membicarakan masa depan dari hubungan kami hingga hari itu, ibunya menemuiku di kantor.

Itu bukan pertama kalinya aku bertemu dengan ibunya. Namun saat itu, dia sangat menekankan mengenai perbedaan yang ada antara aku dan Ola. Permasalahan yang tak asing lagi bagiku, yang dia tekankan lagi bahwa latar belakang keluarga kami sangat berbeda jauh dan tidak akan mungkin dapat membuat Ola bahagia.

Tentu saja aku berusaha meyakinkannya, bahkan aku rela menerima bahwa ibunya menghina keluargaku secara tidak langsung melalui ucapannya padaku. Hingga sampai pada suatu titik dimana aku merasa bahwa inti masalahnya ada padaku. Menyadarkan diriku bahwa menahan Ola di sampingku hanya membuatnya semakin terluka. Jadi aku melepaskannya, dan membiarkan ketakutan itu menghantuiku nanti. Ketakutan bahwa aku tak akan bisa hidup tanpa dirinya.

Sebuah notifikasi pesan muncul di ponselku yang berasal dari wanita yang kini sudah tak menangis lagi. Menatapku dengan hangat dan mencoba memberikan senyuman yang selalu aku rindukan setiap malam.

Future Wife : Dean, aku mencintaimu...

#PV #IPS

31 Jul 2020

avataravatar
Next chapter