14 Masa Putih Abu-abu

Aku yang mulai memasuki masa putih abu-abu ku, aku lewati dengan normal seperti pada anak umumnya yang lain.

Hari pertama masuk sekolah dengan penuh semangat, aku berangkat sekolah diantar oleh Ayahku menggunakan sepeda motor. Melakukan kegiatan belajar mengajar dengan baik tanpa ada masalah dengan guru atau teman. Justru pada saat itu juga aku langsung akrab dengan keempat temanku yang lainnya.

Baju sesuai dengan standar sekolah. Rok tidak ketat, pakaian kaos dalam berwarna putih, yang berhijab menggunakan jilbabnya dengan rapih, yang tidak berhijab mengikat rambutnya dengan rapih juga. Tidak ada yang ber make up berlebihan, takut jika bertemu senior, hormat kepada guru. Wajar saja jika semua murid masih bersikap baik, karena ini adalah hari pertamanya bersekolah. Mereka tidak mau mempunyai pandangan yang jelek terhadapnya ketika pertama masuk sekolah. Lama kelamaan pasti semuanya akan berubah. Karena sekolahku ini merupakan Sekolah Menengah Atas yang lumayan bebas, dan tidak memiliki aturan yang begitu ketat seperti di sekolah agama.

Kini baju dan rok atau celana mulai di kecilkan atau di ketatkan, pakaian kaos dalam mulai warna warni, yang perempuan rambutnya mulai di beri warna, mulai memakai lipstik, bedak, dan alat make up yang lainnya. Mulai akrab dengan senior, dan mulai membantah perkataan guru. Padahal mereka baru saja 3 bulan bersekolah di sini, tetapi mereka sudah mulai berani melakukannya.

Aku bukan termasuk perempuan yang suka neko-neko. Selama ini sikapku masih cukup baik di sekolah, hanya saja memang rok dan baju mulai aku kecilkan sedikit. Karena aku tidak suka mengenakan pakaian yang berukuran besar. Namun tidak seketat teman-temanku yang lainnya, dan aku tidak berdandan seheboh teman-teman perempuanku yang lainnya. Make up saja yang aku kenal hanya lip balm dan bedak bayi yang biasa aku pakai sehari-hari.

Kelas 10 aku jalani dengan cukup baik dan aman. Di kelas 10 aku mengikuti ekstrakulikuler tari saman. Hanya itu, tidak ada organisasi lain yang aku ikuti. Sampai pada akhirnya temanku mengajak aku supaya mengikuti tes masuk menjadi anggota OSIS.

"Ki, daftar jadi anggota OSIS yu. Lu kan di SMP menjabat sebagai anggota OSIS dua periode kan?"

"Iya. Tapi kali ini gua ga mau ah."

"Yahh, mau dongg. Temanin gua, yaa? Pleaseee."

"Ga mau ah."

"Ayo lah. Ya ya ya. Pleasee," ucapnya sambil bertekuk lutut di hadapanku.

"Ya udah."

Aku mengiyakan ajakan temanku yang satu itu supaya dia cepat diam. Karena temanku yang satu ini kalau sudah meminta sesuatu tidak akan berhenti sampai keinginannya tercapai. Dia juga sangat jago dalam perihal bujuk membujuk seseorang untuk menuruti keinginannya.

Aku akan mendaftar sebagai anggota OSIS, tetapi ketika tes, aku akan berusaha supaya aku tidak di terima. Aneh bukan? Kali ini aku benar-benar tidak menginginan untuk menjadi anggota OSIS kembali.

"Gimana Din tesnya, bisa?"

"Susah banget ih. Wawancaranya kaya wawancarain tersangka pembunuhan."

"Hahaha, lebay lu. Tapi lu bisa kan?"

"Engga. Gua di tolak."

"Langsung di tolak? Ga nunggu pengumumannya dulu gitu?"

"Iya. Parah banget kan. Di dalam gua sendiri, sedangkan mereka ramai-ramai. Tapi gua yakin kalo lu mah pasti lolos Ki."

"Belum tentu."

"Azkia Maulida." Senior itu menyebut namaku dari balik pintu ruangan tes. Sekarang giliranku untuk masuk ke dalam ruangan tes.

"Semangat Ki, lu pasti bisa."

Tanpa membalas ucapan temanku barusan, aku langsung memasuki ruangan tes tersebut. Karena anggota OSIS yang berada di dalam ruangan tersebut sudah memanggilku bebeeapa kali.

"Kenapa kamu ingin menjadi anggota OSIS?" Tanya senior itu kepadaku.

"Coba-coba aja."

"Coba-coba, emangnya di kira ini kuis. Sebelumnya kamu udah pernah jadi anggota OSIS di sekolah sebelumnya?"

"Udah."

"Berapa periode?"

"Dua."

"Dua? Kenapa sekarang cuma coba-coba?"

"Udah bosan."

"Ketika kamu menjadi anggota OSIS, kamu menjabat sebagai apa?"

"Ketua divisi mading."

"Selamat. Kamu di terima," ucap senior itu kepadaku.

"Apa? Gua di terima? Semudah itu?Perasaan gua udah ngasal banget jawab semua pertanyaannya," ucapku di dalam hati. "Loh, kok aku di terima?"

"Karena kami di sini sedang menghadapi masalah mading yang kurang terurus. Sepertinya kami membutuhkan kamu." Jelasnya.

"Sial."

Di luar ruangan tes wawancara.

"Gimana Ki?"

"Keterima."

"Kan, gua bilang apa. Lu mah pasti keterima."

"Tau ah. Males gua."

Sebenarnya aku mengikuti tes menjadi anggota OSIS benar-benar hanya karena ajakan temanku saja. Hanya iseng-iseng mengikuti tes tersebut. Ternyata aku keterima, dan temanku justru tidak di terima. Itu membuat aku semakin malas mengikuti organisasi tersebut.

Baru menjabat menjadi anggota OSIS selama kurang lebih 1 bulan aku sudah berani tidak mengikuti rapat sebanyak 3x. Yang artinya aku harus di keluarkan dari organisasi tersebut. Karena itu sudah menjadi peraturan di dalam OSIS kali ini. Yang tidak mengikutin rapat sebanyak 3x dan tidak aktif di OSIS akan di keluarkan dengan cara tidak hormat, dan aku mengalami itu. Menjadi anggota OSIS hanya 1 bulan. Lucu bukan?

Berbeda ketika sewaktu aku di SMP yang bertahan menjadi anggota OSIS sampai dua periode berturut-turut. Ah mungkin karena di dalamnya itu terdapat Ihsan yang membuat aku betah untuk menjalaninya. Jika saja waktu itu sudah ada kata budak cinta alias bucin, aku adalah orangnya.

*****

Ngomong-ngomong soal OSIS, ternyata Randi yang bersekolah di salah satu SMK ternama di daerah Depok dengan jurusan teknik informatika, dia menjadi salah satu anggota OSIS. Yang KATANYA dia menjadi the most wanted mulai saat itu juga.

Randi POV :

"Itu kak Randi, minta tanda tangannya yu," ucap salah satu anggota MOS pada saat itu. MOS yang sudah dilakukan selama 3 hari belakangan ini, dan sekarang adalah hari terakhir. Dimana semua anak kelas 10 baru di tugaskan untuk mendapatkan tanda tangan seniornya.

Salah satu wanita dari segerombolan temannya itu menunjukkan buku dan pulpen yang berada di tangannya ke hadapan Randi.

"Kenapa? Lu suruh gua liatin tuh buku sama pulpen? Atau suruh gua makan buku sama pulpen lu semua?" Tanya Randi kepada mereka semua dengan nada yang cukup keras.

"Ma... Mau minta tanda tangannya kak."

"Nah gitu doang ngomong, punya mulut kan?"

"Iya kak, maaf."

"Ulangi lagi, yang sopan mintanya."

"Kak Randi, minta tanda tangannya dong."

"Anta banget kedengarannya. Kak Randi yang ganteng dan baik hati, minta tanda tangannya dongg. Gitu. Sambil senyum."

"Kak Randi yang ganteng dan baik hati, minta tanda tangannya dongg." Mereka semua menuruti perintah Randi. Dia memang selalu halu bahwa dirinya ganteng dan juga baik hati. Walaupun sebenarnya kenyataannya memang seperti itu juga.

"Nah gitu dong. Ya udah sini sini bukunya." Randi pun menandatangi buku mereka semua.

Setelah mereka semua mendapatkan tanda tangan Randi, mereka langsung pergi menjauh dari Randi.

"Ganteng bangettt, lucu," ucap salah satu dari mereka.

"Udah punya pacar belum ya dia?"

"Kabarnya si yang gua tahu, dia belum pernah pacaran."

"Yesss, kesempatan buat gua. Kenapa si yang ganteng kaya gitu justru belum pernah pacaran. Berbeda dengan cowok yang jelek tapi playboy. Sempurna banget dia. Seakan-akan dunia tidak adil, semua kebaikan dan kelebihan ada di dirinya, uwwww."

"Tapi kabarnya juga dia lagi deket sama seseorang."

"Yahhh. Siapa?"

"Yang gua tau si bukan anak sini. Beda sekolah sama kita. Azkia kalo ga salah namanya."

"Jangan sok tahu lu. Kata siapa?"

"Kata kakak gua. Kakak gua kan teman sekelasnya kak Randi. Katanya suka pasang status di whatsapp foto tuh cewek gitu, atau secreenshootan chatan dia sama tuh cewek."

"Ahhhh. Semoga ga jadian deh mereka berdua."

"Aamiin."

Kini memang di sekolah Randi sedang terdapat banyak gosip bahwa dirinya sedang dekat dengan seorang wanita yang bernama Kia. Randi pun Pernah mengatakannya kepada Kia, tetapi semua gosip tersebut hanya di abaikan begitu saja oleh Randi. Seolah tidak ada yang terjadi, dan memang kenyataannya tidak terjadi apa-apa. Kia yang dekat dengan Randi mulai merasa khwatir. Khawatir jika gosip tersebut terdengar sampai ke telinga Elina dan kedua sahabat yang lainnya. Karena sekolah Randi yang sekarang juga cukup dekat dengan rumah Elina.

-TBC-

avataravatar
Next chapter