12 Andai Aku Mengenalnya Lebih Awal

"Kia, gua minta maaf. Gua ga tau kalo Ihsan suka sama gua."

"Iya gua tau kok. Lu ga salah. Makasih juga atas dukungan-dukungan lu selama ini supaya gua bisa dekat sama Ihsan, tapi ternyata Ihsan lebih milih lu Ris. Lu terima aja, gua ga apa-apa kok."

"Ngaco. Engga lah. Gua ga akan nerima Ihsan gitu aja. Gua ga mau cuma gara-gara cowok, hubungan persahabatan gua sama lu rusak gitu aja. Gua juga ga suka kok sama Ihsan."

"Engga. Kita akan tetap sahabatan kok."

"Pasti bakalan beda. Ga seperti sebelum-sebelumnya. Pokoknya gua akan mempertahankan persahabatan kita. Gua akan bilang ke Ihsan sekarang juga kalau gua ga bisa nerima dia."

Riska akhirnya pergi meninggalkanku. Sepertinya dia benar-benar akan melakukan apa yang sudah dia ucapkan kepadaku barusan. Dia akan menolak Ihsan begitu saja.

"Ihsan, sebelumnya gua minta maaf. Gua ga bisa nerima lu."

"Kenapa? Karena Kia?"

"Bukan. Gua emang ga ada rasa sedikitpun ke lu. Gua juga lagi ga mau suka-sukaan. Menurut gua masih terlalu dini untuk memiliki hubungan spesial antara laki-laki dan perempuan. Kita udah kelas akhir di sekolah pertama, dan gua pengen fokus belajar, bukan pacaran."

"Apa alasan lu benar cuma karena itu? Bukan karena Kia?"

"Iya, gua ngomong benar, jujur apa adanya."

"Kalo lu bohong, dan semua ini karena Kia, gua bisa jelasin. Gua ga ada perasaan apa-apa sama Kia. Gua dekat sama Kia selama ini karena dia sahabat lu kan? Gua menghargai sahabat dari orang yang gua suka. Gua juga tau kalo Kia suka sama gua. Tapi di hati gua ga ada perasaan sedikitpun sama Kia."

"Sama. Gua juga begitu. Ga ada perasaan sedikitpun ke lu."

Setelah itu Riska pergi ke kamar untuk mengambil barang-barangnya. Hari ini sudah selesai semua acara LDKO dan kami akan pulang ke rumah masing-masing. Pembina OSIS, Pak Jhony juga sudah mengumumkan untuk segera menaiki bus yang akan menghantarkan kami kembali ke sekolah.

*****

Di jalan kini terasa sangat berbeda seperti ketika dalam perjalanan pergi. Semua nampak sunyi. Tidak ada yang tertawa dengan lepas satupun. Entah kenapa, mungkin karena mereka semua terbawa suasana yang telah terjadi tadi pagi di lapangan Cisarua Bogor antara aku, Ihsan, dan Riska.

"Kia, lu masih marah?"

Sepertinya Ihsan mendengar suara Riska, dan dia menengok ke arah kami berdua.

"Engga kok. Ga sama sekali."

Aku segera memalingkan wajahku ke jendela bus yang berada di sebelah kananku. Aku, Riska, Ihsan, dan semua orang yang berada di dalam bus tampak sangat kaku sekali. Sampai pada akhirnya suasana mencair ketika Pak Jhony memulai aksinya untuk berkomedi di depan kami semua, dan pada akhirnya kami sampai juga di sekolah.

Bus itu memang hanya menghantarkan kami sampai ke sekolah saja. Sisanya untuk sampai ke rumah masing-masing kami harus menggunakan kendaraan lain. Ada yang di jemput oleh orangtuanya, menggunakan kendaraan pribadi, menggunakan angkutan umum, dan berjalan kaki untuk diriku.

"Gua balik dulu ya Ris."

"Iya, maafin gua ya Ki sekali lagi."

"Udah ga usah minta maaf terus. Bosen gua dengernya, haha. Hati-hati ya lu baliknya, bye."

"Bye Ki."

*****

"Iya, jadi gitu ceritanya Ran."

Randi. Orang yang pertama kali aku ceritakan tentang kejadian tadi pagi di Cisarua Bogor melalui pesan singkat.

"Terus si Riska nya nerima Ihsan?"

"Engga. Dia lebih pilih persahabatan antara gua sama dia. Dia nolak Ihsan gitu aja. Gua juga ga tau si, Riska suka juga atau engga sebenarnya sama Ihsan."

"Ya udahlah. Pilihan Riska dewasa kok."

"Tapi gua jadi galau dah. Kenapa jadi ribet gini si cuma gara-gara cowok."

"Lu nya aja yang di buat ribet."

"Iya si. Bener juga. Ya udahlah."

Pesanku tidak di balas lagi oleh Randi. Namun hanya di baca saja. Tidak lama kemudian Randi mengirim pesan kembali kepadaku.

"Gua di depan rumah lu nih."

"Bohong. Coba pap."

"Oke, Wait."

Aku segera pergi ke depan gerbang untuk menemuinya.

"Ngapain si lu ke sini?"

"Jalan ayo."

"Kemana?"

"Keman aja, yang penting jalan. Daripada lu merana terus di kamar, kan ga lucu kalo lu mati gara-gara cinta segitiga, haha."

"Hahaha, sialan lu. Sembarangan aja kalo ngomong."

"Nah gitu dong ketawa."

Lagi-lagi Randi mampu membuatku tertawa ketika aku sedang merasa sedih.

"Ya udah bentar, gua ganti baju dulu."

Aku kembali ke kamar untuk mengganti pakaianku dan kemudian kembali ke luar untuk menemuinya yang sedang menungguku di atas motor.

"Ayo."

"Ibu lu mana?"

"Ada di dalam."

"Sebagai laki-laki yang guntle, izin dulu lah."

"Ya udah masuk."

"Assalamualaikum Bu, apa kabar? Baik?"

"Waalaikumsallam. Alhamdulillah baik. Randi gimana?"

"Alhamdulillah baik juga Bu."

"Alhamdulillah. Baru keliatan lagi nih?"

"Iya nih Bu. Bu, saya mau minta izin ngajak Kia jalan-jalan sebentar, boleh?"

"Mau kemana emang?"

"Jalan-jalan di sekitar sini aja Bu. Kia lagi galau tuh, butuh udara segar."

"Ih apa si, engga galau juga." Bantahku.

"Oh gitu. Ya udah, jangan jauh-jauh, dan pulangnya jangan terlalu malam ya."

"Oh iya, siap Bu. Pamit dulu ya Bu, assalamualaikum."

"Iya, hati-hati ya. Waalaikumsallam."

"Tuh kan, guntle gua mah, haha."

Andai saja yang bersikap seperti itu adalah Ihsan. Setelah berpamitan dengan Ibuku, aku dan Randi segera pergi ke luar dengan menggunakan motor pribadi milik Randi tanpa tujuan yang jelas.

"Mau kemana si ini?" Tanyaku.

"Lu maunya kemana?"

"Etdah ga jelas. Terserah lu dah."

"Dasar cewek, apa-apa terserah. Makan aja mau ga?"

"Ya udah."

"Bakso mau?"

"Engga."

"Nasi goreng?"

"Engga."

Di setiap jajanan makanan yang berada di pinggir jalan, Randi berhenti lalu menawariku. Namun jawabanku hanya 'engga' terus sampai dia mulai menyerah.

"Ah elah lu, maunya apa si? Sate tuh, mau ga?"

"Boleh."

"Akhirnya. Dari tadi kek."

Aku memutuskan untuk makan sate pada sore hari itu bersama Randi.

"Satenya dua porsi Pak. Pakai lontong. Dia kalo lagi galau makannya banyak soalnya Pak," ucap Randi sambil menunjuk ke arahku.

"Apaan si lu. Ga penting info yang lu kasih buat Bapaknya."

"Biarin. Siapa tau nanti jadi di kasih bonus, haha."

"Haha, ngaco banget lu."

Tidak lama kemudian pesanan kami datang. Aku dan Randi segera memakan sate dan lontong tersebut sesuai dengan pesanan Randi.

"Udah ga usah di galauin si Ihsan. Gitu aja galau. Elina aja sabar terus ngehadapin gua, haha."

"Lu nya aja itu mah emang yang kebangetan."

"Gua jadi penasaran sama Ihsan. Seganteng apa si dia sampai lu suka banget sama dia. Pasti gantengan gua kan?"

"Pede banget lu. Jelas-jelas gantengan dia lahh." Teriakku kepadanya dengan nada sedikit di tekan di setiap katanya, menjelaskan bahwa Ihsan memang lebih tampan daripada dirinya.

"Woy ngegas, haha. Habis ini mau kemana?"

"Pulang lah. Betah banget lu sama gua, haha."

"Main lagi dulu lah."

"Kemana lagi si?"

"Ikut aja udah."

Randi memberikan uang kepada tukang sate tersebut. Kemudian Randi kembali mengendarai sepeda motornya untuk pergi ke suatu tempat. Tempat yang tidak aku ketahui akan berhenti dimana.

Ternyata kami berhenti di sebuah mall. Bisa di bilang mall ini adalah mall favorite kami berdua. Sebenarnya bukan kami berdua saja si, tetapi masih banyak lagi yang menjadikan mall tersebut sebagai mall favoritenya. Karena mall ini adalah mall sejuta umat. Harga-harga barang yang ada di dalamnya tidak cukup mahal, masih terjangkau oleh anak-anak sekolah. Belum lagi funworld dan bioskop 21 nya yang di bandrol dengan harga murah. Menjadikan mall ini sebagai mall favorite bagi banyak orang. Dari kalangan anak-anak hingga orangtua, dari kaum menengah ke bawah sampai menengah ke atas.

"Bioskop? Males ah, bosen."

Memang sudah beberapa kali aku dan Randi menonton film di biskop. Seperti biasa, tanpa sepengetahuan Elina dan kedua sahabatku yang lainnya.

"Ya jangan. Funwold aja yu. Kita main games sepuasnya di sana."

Sesampainya di funwold Randi mengurungkan niatnya. Yang awalnya dia ingin mengajakku untuk bermain seluruh permainan yang ada di sini, tetapi akhirnya Randi mengajakku untuk masuk ke sebuah ruangan karaoke.

"Nah, nyanyi dah sepuas lu."

"Ga mau, suara gua jelek."

"Ya udah gua aja."

"Hahaha, suara lu lagi. Ambyarr."

"Yah belum tau, dengerin nih."

Randi mulai memilih-milih lagu yang berada di layar komputer tempat karaoke tersebut. Yang pada akhirnya Randi memutuskan untuk menyanyikan sebuah lagu Wali yang berjudul takkan pisah.

"Ada apa, ada apa, katakanlah, semuanya. Ku kan dengarkan duhai cintaku.... U... Uuuu...."

"Hahaha, enak dari mananya."

Aku yang mendengar suaranya hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Aku tidak bisa menahan ketawaku lagi. Sampai pada akhirnya aku yang habis makan tadi merasa mual karena perutku terasa di kocok karena ketawaku sendiri.

Hanya Randi yang bernyanyi. Aku tetap kekeh pada pendirianku jika aku tidak akan mau bernyanyi. Lagi pula aku malu jika suaraku harus di dengar oleh Randi.

Setelah merasa puas, Randi mengajakku untuk pulang ke rumah.

"Udah, jangan galau-galau lagi lu. Kaya ga ada cowok lagi aja di dunia ini. Ini gua buktinya ganteng banget tiada tara, haha."

"Najis. Udah gih, pulang lu."

"Sialan. Ga tau terima kasih lu, haha."

"Bodo, haha."

Aku dan Randi memang tidak pernah akur. Selalu ada pertengkaran-pertengkaran kecil yang terjadi di dalamnya. Namun dia juga yang mampu membuat aku tertawa. "Andai aku mengenal kamu lebih dahulu dibandingkan Elina, Ran."

-TBC-

avataravatar
Next chapter