1 Tragedi

"Pelan aja nyetirnya, Bang!" seru Rian sambil berpegangan pada seat belt yang ia kenakan.

Pria itu hanya bisa menghela napas panjang melihat Arga menyetir dengan begitu kencangnya hanya karena tidak ingin melewatkan pertandingan klub sepak bola favoritnya di TV.

"Sial, pake hujan lagi." gerutu Arga tanpa mengurangi kecepatan laju mobilnya.

"Pelan woi, licin jalanan!" sekali lagi, sang adik mengingatkan.

Arga hanya melirik sekilas ke arah adiknya itu. Siapa sangka Rian terlihat begitu takut diajak ngebut seperti sekarang?

"Tenang aja, lagian jalanan juga lagi sepi," ucap Arga sambil kembali memfokuskan diri pada jalanan di hadapannya.

"Terserah, yang penting pastiin gue sampai rumah dengan selamat!" Rian berujar sinis.

Arga hanya terkekeh pelan melihat adik laki-lakinya yang baru tamat SMA itu.

"Iya, bawel!"

Arga melirik ke arah arlojinya. Beberapa menit lagi, pertandingan akan segera di mulai, jika ia tidak bergegas, ia akan ketinggalan pertandingan yang sudah lama dinantikannya.

Tiba-tiba saja Arga membanting setir untuk memotong jalan, berniat mengambil jalan pintas agar ia lebih cepat sampai di rumahnya. Akan tetapi, ia melewatkan sebuah mobil yang melaju tak jauh darinya.

Mobil keduanya bertabrakan, beruntung mobil Arga hanya terseret dengan guncangan yang tidak begitu kencang, sementara mobil yang ia tabrak langsung menghantam tiang besar di pinggir jalan dan mengalami kerusakan yang sangat parah.

"Ri, lo nggak apa-apa?" Arga setengah berteriak melihat kening Rian yang berdarah karena menghantam kaca jendela.

"Nggak apa-apa, Bang!" sahut Rian sambil memegangi kepalanya. Arga sendiri mengalami benturan yang lumayan keras, hingga pelipis matanya terluka.

"Bang, ada cewek turun dari mobil itu!" Rian menunjuk keluar, ke arah seorang gadis yang berteriak meminta tolong.

Arga pun bergegas keluar dari mobil dan menghampiri gadis itu.

"Tolong ayah, dia terluka!" teriak gadis itu sambil menunjuk mobilnya. Arga langsung berlari untuk memeriksa mobil tersebut. Tangan pria itu bergetar ketakutan melihat kondisi pria tua yang ada di dalam sangat buruk.

Arga berusaha sekuat tenaga untuk mengelluarkan tubuh pria tua itu dari dalam sana. Setelahnya, ia menggendong pria itu dan membawanya ke mobilnya.

"Buka pintunya!" perintahnya pada sang gadis yang terus mengekorinya.

Gadis itu pun membuka pintu mobil, dan membantu Arga memasukkan tubuh ayahnya ke dalam. Rian sendiri langsung enelepon rumah sakit terdekat dan meminta mereka menyiapkan ruang UGD untuk korban kecelakaan.

"Kit bawa ke Rumah Sakit Sejahtera, Bang! Tiga kilo dari sini!" seru Rian saat Arga duduk di belakang kemudi.

Arga mengangguk pelan, dan melajukan mobilnya secepat mungkin menuju rumah sakit yang Rian beritahukan.

Sesampainya di sana, beberapa perawat dengan sebuah brankar sudah menunggu di halaman ruang UGD. Arga dan Rian mengeluarkan tubuh pria tua itu dan menyerahkannya kepada perawat. Mereka pun hanya bia terdiam dan berdoa di depan ruang UGD yang kini sudah tertutup rapat.

Arga melihat seorang gadis yang ia tahu anak dari pria itu. Gadis manis yang menangis tersedu-sedu memandangi pintu UGD.

Karena merasa sangat bersalah, Arga menghampiri gadis itu, dan duduk di sampingnya.

"Maaf, saya tidak sengaja. Saya tidak tahu kalau ada mobil lain di sana." Arga berujar pelan.

Gadis itu hanya terdiam tanpa mau menoleh ke arah Arga.

"Saya akan menanggung semua biaya pengobatan, dan kerusakan pada mobil orang tua adik." imbuh Arga.

Kali ini gadis itu menoleh ke arah Arga, dan menatapnya tajam.

"Kalau Anda merasa bersalah, cukup duduk dan doakan saja ayah saya! Kami bukan orang miskin! Uang Anda tidak kami butuhkan!" sinis gadis itu.

Arga langsung tersentak mendengar ucapan gadis manis itu.

Pria itu menunduk lesu. Gadis itu benar, untuk sekarang hanya doa yang bisa menyelamatkan orang tuanya. Siapa yang peduli dengan mobil rusak dan biaya rumah sakit jika di dalam sana pria tua itu sedang kritis?

Cukup lama mereka menunggu, hingga beberapa perawat dan seorag dokter keluar menghampiri Arga.

"Di mana walinya?" tanya sang dokter.

"Saya, Dok!" sahut gadis di samping Arga dengan cepat.

"Kami sudah melakukan yang terbaik yang bisa kami lakukan, untuk saat ini, kita hanya bisa menunggu dan berdoa. Untuk lebih detailnya, saya akan menjelaskannya di kantor saya, jadi silakan Anda ikut dengan saya."

Gadis itu mengangguk cepat, dan mengekori dokter menuju ruangannya. Begitu juga dengan Arga, dia merasa bertanggung jawab penuh dengan konsisi pasien karena dialah yang menyebabkan kecelakaan itu terjadi.

Arga duduk di samping gadis itu, mendengarkan setiap penjelasan mengenai kondisi pasien yang begitu buruk. Dokter mengatakan, untuk saat ini, mereka hanya bisa terus menunggu. Seorang perawat juga sudah di tempatkan di UGD untuk terus memantau kondisi pasien.

"Jangan kehilangan harapan, dan terus berdoa, Nak. Kami juga akan melakukan yang terbaik." sang dokter berujar pelan.

Setelahnya, Arga dan gadis itu kembali ke UGD dan menunggu seperti instruksi dokter.

"Kamu tidak menghubungi ibumu?" tanya Arga pelan.

"Ibu sudah meninggal."

Arga cukup terkejut mendengar jawaban gadis itu.

"Bagaimana dengan kakak, om, atau siapa yang mungkin harus kamu kabari?"

"Saya wali tunggal. Keluarga kami sudah tidak ada karena gempa beberapa tahun lalu." sahut gadis itu dengan nada datar.

Arga langsung mengumpat dalam hati. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Jika pria itu meninggal, gadis malang ini akan hidup sebatang kara. Ini buruk, sangat buruk.

"Siapa yang bernama Mika? Pasien terus mengigau memanggil nama Mika!" seru seorang perawat yang bertugas menjaga UGD.

Gadis yang duduk di samping Arga langsung berdiri dan berlari menghampiri perawat. Arga terus mengekori gadis itu untuk memastikan apa yang terjadi pada pria yang ia tabrak.

"Ayah, ini Mika." lirih gadis itu sambil menggenggam erat tangan sang ayah.

"Mikaaa," lirih pria itu dengan sangat lemah. Saking lemahnya, hingga suaranya terdengar begitu samar.

"Kamu ..." lirih pria tua itu.

Gadis bernama Mika menunggu dengan sabar, apa yang akan ayahnya katakan.

"Kamu .... harus hidup engan baik ..."

Mika mnggeleng cepat mendengar ucapan ayahnya.

Tidak!

Arga langsung panik melihat pria tua itu yang seakan ingin mengucapkan perpisahan anaknya. Pria itu tidak boleh meninggal! Semua akn rumit jika ia meninggal.

"Ayah harus kuat, jangan tinggalkan Mika," lirih gadis itu dengan berlinang air mata.

Pria tua itu mencoba untuk membuka matanya, meski sedikit, ia dapat membuka matanya, dan menatap sendu Arga yang berdiri di dekat putrinya.

"Kamu ..." lirih pria tua itu masih sambil menatap Arga.

"Harus jaga Mika! Kamu ... menikahlah dengan Mika, dia tidak boleh sendirian." perlahan tapi pasti, kata demi kata berhasil terucap dari mulut pria itu.

"Ayah, apa yang Ayah katakan? Ayah akan sembuh, dan bisa menemani Mika seperti biasa!" sela Mika. Buliran air mata terus mengalir dari mata gadis itu.

"Berjanjilah! Menikah dengan Mika, dan jangan biarkan dia sendirian!"

Arga mematung mendengar permintaan pria itu. Apa yang harus ia lakukan sekarang?

"Berjanjilah," lirih pria itu dengan tatapan sendu.

Batin Arga serasa teriris melihat kondisi pria tua itu karena ulahnya. Bagaimana pun, ia harus bertanggung jawab.

"Saya berjanji." Arga menatap pria itu.

Setelah mendengar janji Arga, pria itu mengambil napas berat, dan akhirnya menghembuskan napas terakhirnya.

"Ayah!" teriak Mika histeris. Gadis itu pun menangis sejadi-jadinya.

avataravatar
Next chapter