1 Prolog

'Aku pernah mencintai seseorang dengan sepenuh hati. Menaruh seluruh kepercayaan juga impianku padanya. Saat jatuh cinta, semua akan indah pada awalnya.'

Sepasang kekasih terlihat saling melempar senyum di salah satu meja cafe, wajah sang gadis terlihat sangat bahagia. Matanya membulat sempurna saat mendapati sebuah cicin dalam makanan yang sedang ia nikmati.

"Sayang!" Ia Reflek menutup mulutnya karena Speechless, "Ini....?" Mengangkat benda bulat dengan diameter sekitar 15mm itu ke udara.

"Iya sayang, tepat seperti yang kamu pikirin. Aku mau melamar kamu." Sang pria meraih benda bermata indah yang ada di tangan gadis bernama Kanza, kemudian berjongkok di dekat wanita itu. Semua mata yang ada di cafe itu menatap mereka tampak menunggu. "Will merie me?" Ucap Dean dengan penuh keyakinan.

Tak lama terdengar Sorai riuh para pengunjung cafe menyoraki Kanza untuk menerima lamaran sang pria--Dean.

Seperti yang ada di dalam film-film romantis, Kanza mengangguk setuju dengan senyum yang kian lebar karena perasaan bahagia sekaligus terharu yang menjadi satu. Bola matanya yang indah mulai berkaca-kaca."Tentu saja aku mau!" Jarinya terjulur mengusap sudut matanya yang telah basah hendak menitikkan air mata, tapi senyumnya belum juga memudar dari bibirnya.

Detik berikutnya Dean bangkit berdiri. Memakaikan cincin bermata indah di jari manis Kanza. Setelahnya mereka saling berpelukan di iringi tepuk tangan para pengunjung cafe yang juga turut berbahagia.

Layaknya fatamorgana, nyatanya semua keindahan, kebahagiaan yang Kanza pikir adalah awal dari segala kebahagiaannya yang ia telah impikan selama ini, berubah menjadi mimpi buruk hanya dalam sekejap mata.

Kanza terlihat sudah ada di depan pintu apartement Dean. Di salah satu tangannya menenteng kotak kue. Dan tangan lainnya mencoba membuka pintu apartement tersebut. Dean telah memberikan kunci cadangan apartemen-nya pada Kanza sebagai bentuk kepercayaan. Hal itulah yang membuat Kanza tidak memiliki pikiran negatif tentang Dean. Sampai hari ini sebelum akhirnya semua pandangannya tentang pria itu berubah. Setelah kedatangannya yang sengaja ingin memberikan kejutan ulang tahun untuk pria yang paling di cintainya itu.

"Ceklek...."

Perlahan daun pintu terbuka.

"Surpriseee...!!" Kanza mengucapkannya dengan antusias. Tapi sedetik kemudian, wajahnya berubah terkejut. Kue yang ada di tangannya jatuh ke lantai, tangannya seolah kehilangan tenaga dan ia berharap apa yang di lihatnya saat ini hanyalah sebuah mimpi. Mimpi buruk yang tak pernah terlintas sedikitpun di benaknya. Tapi sayangnya semua ini nyata dan ia tidak bisa lari dari ini semua.

Dean yang sedang bermesraan dengan seorang wanita di sofa, juga tampak terkejut dengan kehadiran Kanza. Dengan wajah panik, ia segera bangkit dari sofa.

"Sayang... Ini enggak seperti yang kamu pikirin... Aku bisa jelasin!"

"Memangnya kamu tahu soal apa yang aku pikirin?!" Sergah Kanza kalap. Sekilas ia melirik ke arah wanita yang bersama Dean dengan tatapan jijik. Wanita yang di tatapnya tampak menunduk canggung. Kemudian tatapan Kanza kembali ke arah Dean dengan tatapan marah. "Aku enggak nyangka kamu serendah ini." Kanza menggeleng dengan tatapan berubah miris.

"Kanza aku mohon jangan salah faham. Aku Cuma mau nikah sama kamu!" Dean mencoba menggenggam tangan Kanza. Tapi gadis itu buru-buru menghempaskannya. Perasaanya kebas detik itu juga, tapi ia harus bisa menggunakan sisa kewarasannya demi menjaga harga dirinya.

"Terus, yang kamu lakuin ini apa?!" Bertanya dengan nada kesal.

Dean terdiam beberapa detik. "Aku cowok, dan aku butuh untuk ini. Sedangkan aku enggak bisa nyentuh kamu." Wajahnya tertunduk lesu. "Tapi aku Cuma pingin nikah sama kamu. Aku cintanya sama kamu!" Dean mencoba kembali meyakinkan Kanza.

"Udah gila, ya?!" Kanza menampar Dean sekali di salah satu pipinya. Kemudian menggeleng miris. "Bahkan setelah semua ini kamu masih bisa ngomong gini tanpa merasa bersalah. Udah bener-bener gila kamu!"

"Kanza maafin aku! Aku sayang kamu!"

"Tapi sayangnya aku udah enggak! Kita putus!" Kanza berusaha sekuat mungkin menahan air matanya agar tidak jatuh. Hatinya hancur tapi tidak ingin memperlihatkannya pada laki-laki itu. Setelahnya dengan langkah cepat ia pergi dari ruangan sana.

'Setelah kejadian yang menyesakkan dada ini. Aku merasa hatiku telah mati rasa. Tapi menurutku itu lebih baik. Mulai saat ini dan seterusnya, Aku akan memulai hidup, dengan mencintai diri sendiri. Tidak ada dia, atau siapapun. Hanya ada aku yang mencintai... Aku!'

2 tahun kemudian.

Kanza duduk di meja kerjanya, mengetik sesuatu dalam laptopnya. Tak lama kemudian ia selesai dan menutup benda berbentuk pipih itu kembali. Seperti biasa, setelah ritual menulisnya selesai, ia akan meregangkan semua otot-otot di tubuhnya, mula-mula mengarahkan kedua tangannya ke depan, lalu mengarahkannya ke atas, setelah itu memiringkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Setelah merasa lebih baik, ia bangkit berdiri dan berjalan ke arah jendela. Di luar tampak bulan sabit memantulkan cahayanya yang indah. Di temani bintang-bintang malah yang bertaburan seperti percikan glitter di karpet bewarna gelap.

Kanza senang sekali memandangi langit malam, ia betah duduk berlama-lama di dekat jendela sampai matanya benar-benar mengantuk, namun lamunannya terpaksa terhenti saat terdengar dering ponsel miliknya. Buru-buru ia menjejakkan dirinya kembali ke dunia nyata. Ia menoleh ke arah meja kerjanya dan melihat ke arah ponselnya yang masih berdering. Dengan malas ia melangkah menghampiri benda pipih yang berukuran tak lebih dari 7 inci itu. Tatapannya jatuh pada layar. Terlihat barisan nama Dean sedang melakukan panggilan. Kanza menghela nafas jengah. Ia menunggu hingga dering itu mati sendiri, setelah itu memilih me-non aktifkan ponselnya. Entah, sudah beberapa kali Kanza melakukan hal yang sama, tapi pria itu seolah tak pernah jera. Kanza bahkan sampai bingung harus menolak pria itu dengan cara apa lagi.

Dengan wajah cuek ia naik ke tempat tidur dan bersiap untuk tidur. Dia tidak mau berurusan dengan pria itu lagi. Pria yang yang telah menghancurkan semua mimpinya.

***

Alarm jam beker berdering nyaring. Dengan malas dan masih memejamkan matanya, Kanza meraih benda tersebut di atas nakas lalu mematikannya. Ia berniat melanjutkan tidurnya kembali. Tapi detik selanjutnya ia malah terhenyak dan langsung duduk terbangun. Meraih benda yang sempat di matikannya tadi, matanya seketika mendelik mendapati waktu yang di tunjukkan jam bekernya sudah menunjukkan pukul....

"Setengah delapan!" Pekiknya sembari meremas rambutnya sendiri seperti orang frustasi. "Mati gue, kenapa gue bisa lupa gini!" Tak hentinya ia merutuki dirinya sendiri dan segera melompat dari tempat tidur. Berjalan tergesa ke kamar mandi dengan tak lupa menyambar handuk di gantungan belakang pintu kamarnya.

Layaknya di kejar setan kredit, akhirnya ia menyelesaikan ritual mandinya hanya dengan waktu lima menit saja.

Sekarang ia berdiri di depan cermin. Memoles wajahnya dengan make up ringan. Lalu tersenyum sendiri melihat hasilnya. "Nggak terlalu buruk," gumamnya pelan.

Selesai, ia berjalan ke sisi lain dan meraih tas selempang nya yang ada di atas ranjang. Mengalungkannya ke leher dan berjalan tergesa keluar kamar.

Seperti biasanya, kalau tidak macet, bukan jakarta namanya, beberapa kali Kanza mengintip jam yang melingkar di pergelangan tangannya dengan wajah cemas. Bahkan ia tak mendapatkan tempat duduk karena Busway yang di tumpanginya sudah penuh sesak. Seandainya ia bisa bangun dan berangkat lebih awal, mungkin ia tidak akan mendapati Busway keadaan ini.

Karena tidak bisa memejamkan mata hingga larut malam, akhirnya ia memilih minum kopi dan kembali bekerja di depan laptopnya. Dan baru terasa mengantuk setelah waktu menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Itulah sebabnya ia juga terus menguap di sepanjang perjalanan.

Setelah menempuh hampir satu jam perjalanan, akhirnya Kanza bisa bernapas lega, ia segera turun dari angkutan umum tersebut dan berjalan tergesa menyusuri trotoar, menuju sebuah ruko perkantoran yang tak jauh dari sana.

Karena terburu-buru dan karena ingin mengejar waktu, ia jadi tidak memperhatikan langkahnya. Dan tanpa sengaja bertabrakan dengan seorang cowok saat sudah memasuki sebuah loby kantor.

"Sorry...." Ucap Kanza gugup. Ia Reflek menengadah dan tatapannya menjadi linglung saat mendapati seorang cowok tampan sudah ada di hadapannya.

"Oke enggak apa-apa...." Sahut sang cowok sembari tersenyum ramah.

Sejenak keadaanya berubah canggung, Kanza sebisa mungkin berusaha menguasai dirinya. "Oke, thanks!" Balasnya dengan tak lupa memaksa tersenyum kilas. Kepalanya berusaha memikirkan cara untuk menghindar, sebelum pria tampan di hadapannya ini membuatnya kehilangan kesadaran. Kanza sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak tertarik pada pria manapun, jadi ia selalu berusaha melawan apa yang di katakan hatinya. Karena jujur saja, saat ini ia sedikit terpesona dengan pria di hadapannya ini.

Gadis itupun mendapat ide dengan pura-pura melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. "Saya duluan, ya!" Ucapnya lagi canggung. Sedangkan cowok itu lagi-lagi hanya balas tersenyum.

Kanza berlalu dari hadapan cowok itu sembari bergumam dalam hati, "Hem... Ganteng juga." Hatinya kecilnya mengakui, tapi tidak dengan pikirannya, sekuat tenaga pikirannya mencoba menyangkalnya. "Ngomong apa, sih, gue. Jangan lemah deh, cuma cowok kayak gitu doang!" Gerutunya sepanjang menuju lift.

Cowok itu diam-diam memperhatikan Kanza dari belakang dan ekspresinya seolah menyadari sesuatu.

Detik berikutnya cowok itu melepas jas yang di kenakannya dan berlari ke arah kanza. Ia memeluk gadis itu dari belakang seraya mengikatkan jasnya di pinggang Kanza.

Kanza terkesiap, matanya membulat lebar, ia berpikir cowok ini mesum, dan ia hampir saja salah paham.

Mata Pria itu menunjukkan seolah tahu apa yang di pikirkan oleh Kanza. Ia buru-buru menutup mulutnya sendiri dengan satu jari dan berbisik di dekat telinga kanza "Jangan salah paham. Kamu kayaknya lagi datang bulan. Tembus tuh!"

Kanza buru-buru membalik badannya, wajahnya dan wajah cowok itu jadi berjarak sangat dekat. Mereka saling tatap untuk beberapa detik. Lagi-lagi cowok itu menunjukkan senyum mempesonanya. Kanza terkesiap dan buru-buru melangkah mundur untuk menghindar.

"Oh... Makasih!" Bibir Kanza bahkan sedikit bergetar karena gugup. Tapi ia masih berusaha untuk terlihat tenang. Kanza menatap ke arah jas cowok itu yang kini ada di pinggangnya.

Dengan masih memasang garis bibir melengkung penuh misteri. "Yaudah enggak apa-apa, pake aja dulu." Ujarnya lembut.

"Ehem!" Kanza berdeham untuk menghilangkan sedikit groginya. "Terus balikinnya?" Ia menunjuk ke arah jas-nya.

"Nanti, kalo waktu mengizinkan kita buat ketemu lagi." Jawab cowok itu penuh percaya diri. Kanza jadi sedikit merasa terintimidasi di bawah sorot mata yang teduh itu, tiba-tiba ia merasa takut pada dirinya sendiri, takut jika ia akan benar-benar terpesona dengan cowok itu jika lama-lama berhadapan dengannya. Apakah cowok itu sungguh berharap suatu saat mereka akan bertemu lagi?

Tidak seperti cowok kebanyakan, cowok itu terlihat ramah tapi juga seperti sulit di dekati. Terbukti, ia tidak mengajak kenalan Kanza dan modus meminta nomor teleponnya seperti cowok-cowok kebanyakan yang selama ini ia temui.

Kanza mengeriyitkan dahinya. Bingung.

Sedangkan cowok itu membalikkan badannya dan melanjutkan langkahnya kembali keluar loby kantor.

Kanza masih mematung menatapi punggung pria itu yang perlahan lenyap dari pandangannya.

Bersambung

avataravatar
Next chapter