webnovel

Kedatangan pak Dodot

Dua tahun setengah berlalu, Kahfi dan Olive semakin dekat, dan akrab. Jangan lupakan Lily yang selalu menempel dengan Olive. Kedua perempuan itu sudah seperti sahabat yang tak terpisahkan.

Tetapi, sifat Tono semakin semena-mena dengan Olive. Padahal pria itu adalah ayah kandungnya, sungguh hal yang aneh.

Olive dan Zannah semakin erat, mereka bahkan berteman. Kehadiran Kahfi membuat hidup Olive terasa berwarna, Olive jadi mengerti arti bersyukur lebih luas, lebih percaya diri, dan lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta berkat wejangan, atau nasihat panjang lebar Kahfi.

Saat ini, Olive tengah bersiap-siap untuk pulang ke rumahnya, hubungan Kartika dan Tono pun semakin erat, mereka berdua bahkan secara kurang ajar mengusir Olive jika perempuan itu tengah beristirahat setelah seharian bekerja.

Lily mendatangi ruangan khusus pekerja cleaning servis seperti Olive, dengan wajah ceria yang mampu membuat Lily tampak lebih cantik dari biasanya.

"Halo, bunga Tulip sayang. Ayo pulang sama aku," ajak Lily, panggilan Olive dengan santainya diganti oleh Lily menjadi bunga Tulip. Mentang-mentang namanya adalah Lily, jadi dapat dengan santai mengganti nama Olive seperti nama bunga.

Olive menoleh lalu tersenyum. "Ya udah, hayuk!" Selama dua tahun setengah ini, Olive pun sudah mampu mencicil motor, untuk transportasinya selama bekerja.

Walaupun motor itu bukanlah motor bekas, Olive tetap senang mempunyai motor itu. "Sebentar."

Olive menghentikan langkahnya, Lily yang sedang berjalan di belakang Olive, tentunya menabrak tubuh Olive.

"Aduh." Lily tampak mengaduh, dan mengusap keningnya.

Olive berbalik, lalu ikut mengusap kening Lily, walaupun tidak ada memar atau apa pun pasti kening Lily sakit.

"Maaf, ya," ujar Olive, dia tidak sengaja saat menghentikan langkahnya secara mendadak, dirinya melakukan itu karena baru saja dirinya ingat sesuatu.

Lily mengangguk. "Iya, nggak masalah, udah biasa. Ada apa?"

Olive memang sudah sangat terbiasa saat dengan mendadak dirinya menghentikan langkah kakinya, yang menyebabkan Lily harus menabrak punggung Olive.

Mendengar balasan dari sahabatnya, membuat Olive meringis malu dan tidak enak. "Maaf, ya. Aku nggak sengaja," kata Olive lagi. Semula kedua tangan Lily berada di kening, saat ini berubah posisi menjadi berdecak pinggang.

"Huuufh, iya bunga Tulip sayaaaang, ya sudah jangan minta maaf terus, ya? Tadi ada apa, hm?"

"Tadi kamu mau pulang bareng aku, kan?"

Lily mengangguk dengan wajah polos. "Iya, terus?"

"Kamu bukannya bawa mobil ya ke sini-nya? Terus nanti gimana mobil kamu kalau ikut sama aku?" Mendengar pertanyaan Olive, membuat Lily tersenyum manis.

Nampaknya, Lily harus bersabar menghadapi sahabatnya yang suka sekali lupa seperti orang tua, alias pikun. "Bunga Tulip, kamu lagi sakit nggak sih?" Bukannya membalas pertanyaan Olive, Lily justru melemparkan pertanyaan baru kepada sahabatnya.

Olive yang tidak mengerti apapun, menggeleng kan kepalanya. "Nggak, tuh. Kenapa memang?"

"Kamu serius?"

Olive mengangguk polos. "Kenapa sih, memang?"

"Kamu jadi aneh banget, bunga Tulip."

"Hah? Aneh gimana-nya?"

"Iya! Kamu aneh, kan tadi kita berangkat bareng, jelas aku nggak bawa mobil lah, aku tadi pagi berangkat bareng kamu, mobil aku kan bocor tadi." Dengan setengah rasa greget, Lily menjelaskan kembali perihal kejadian pagi hari yang membuat Olive berpikir, lalu menepuk keningnya.

Dengan wajah tanpa dosanya, Olive terkekeh. "Oh iya, lupa."

"Ya udah, ayo. Jangan di lama-lama in lagi, ini sudah sore," ajak Lily menggandeng tangan Olive. Olive mengangguk dan mengikuti arah langkah Lily. Lily dan Olive memiliki hubungan sahabat yang sehat, keduanya sama-sama jujur, saling terbuka, saling sharing-sharing, dan banyak hal random yang dilakukan keduanya.

Karena mereka berdua sama-sama mengerti, bagaimana rasanya dikecewakan oleh orang yang dipercaya, bagaimana tingginya rasa ingin memiliki sahabat, atau teman dekat. Jadi, saat mereka dipertemukan, hubungan itu akan didasari oleh rasa tulus. Intinya begini, cari yang sama-sama butuh, jangan ngemis kepada orang yang sama sekali tidak melihat kita 'ada'.

* * * *

"Olive," panggil Kartika, Olive menoleh dengan membuka helm yang melekat di kepalanya, helm berwarna hitam seperti kebanyakan orang punya.

"Sebentar, Bu. Olive markirin motor dulu," ujar Olive meminta izin agar sang ibu mengerti dirinya tengah memarkirkan motornya, jadi tidak dapat langsung mendatangi sang ibu.

"Olive cepetan," teriak Kartika keras, teriakan yang dapat memekakkan telinga.

Olive dengan paniknya langsung mendatangi sang ibu. "Iya, Bu? Ada apa?"

"Ayo masuk, di dalem ada ayah kamu. Kami berdua mau ngomong." Dengan datar, Kartika berkata demikian dengan perut yang semakin membuncit.

Ya, Kartika sedang hamil tua dengan usia kandungan yang menginjak umur lima bulan. Olive dengan perasaan takut dan sedikit ketar-ketir, melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.

Dan benar saja terlihat Tono yang sudah duduk dengan santai, dengan Pak Dodot di sebelahnya. Masih kenal dengan Pak Dodot? Dia adalah, pria yang umurnya sudah lumayan tua yang sudah memiliki tiga orang istri, namun dia terpandang di desa ini karena kekayaannya.

Olive mengerjapkan kedua matanya, lalu dengan penuh sopan santun dirinya menyalami ayah, dan Pak Dodot. Tono mau tidak mau menerima dan menyalami sang anak, itu semua dirinya lakukan hanya untuk menjaga nama baiknya di desa ini, dan di hadapan Pak Dodot.

Kartika tersenyum lalu dengan lembutnya dia mengusap kepala sang anak. "Bersih-bersih badan dulu sana, nanti setelah itu kesini lagi ya, Nak," perintahnya dengan suara lembut.

Walau Olive tidak mengerti apa yang hendak dilakukan oleh kedua orang tuanya, Olive tetap melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Kartika.

"Oke, Buk. Saya permisi dulu ya, Pak, Yah," pamit Olive. Setelah berpamitan perempuan memegang dadanya sambil membalikkan tubuhnya.

Jantungnya berdebar dengan sangat kencang, entah dirinya yang takut terjadi apa-apa atau bagaimana entah lah feeling nya berkata tidak baik. Namun, apapun itu Olive harus terus berpikir positif apapun yang telah terjadi mereka adalah orang tuanya.

Selang beberapa menit, Olive datang dengan setelan pakaian celana panjang dan baju sweater merah muda, dan tidak lupa jilbab segi empat berwarna merah muda yang melekat, membungkus rambut indah miliknya.

Duduk bersila di antara ketiga orang di ruang tamu, dan menyimak obrolan para orang dewasa. Kartika menoleh lalu tersenyum.

"Bagaimana, Pak? Apakah bapak mau menerima permintaan kami? Kasihan dia Pak, dia sudah cukup umur tetapi masih tidak punya pasangan." Kata-kata itu mampu membuat Olive menoleh dengan keterkejutan yang lumayan tinggi.

Pak Dodot tampak menimang, dengan kedua mata yang seolah membayangkan, dan menguliti Olive. Tatapan tidak sopan itu benar-benar dilayangkan secara spontan dan seolah tidak merasa bersalah. Olive sejujurnya risih dengan tatapan pria tua itu.

Dengan senyum mengerikan, Pak Dodot mengangguk.