webnovel

Kebersamaan adik dan kakak

kartika memukuli Olive dengan sapu lidi yang keberadaannya dekat dengan lokasi mereka berdua. Olive menerima segala perlakuan ibunya dengan perasaan sabar, dan ikhlas. Dirinya yakin seratus persen, bahwa telah terjadi sesuatu yang membuat sang Ibu merasa pusing, dan memilih untuk melampiaskan itu semua kepadanya.

* * * *

"Besok nutupin ini pakai apa, ya?"

"Memang boleh pakai sarung tangan?"

"Kalau nggak ditutupi, lalu pakai apa dong?"

"Aw, ashh," ringis Olive ketika tangannya tidak sengaja tergerus paku yang berada di dekat meja kamarnya. Paku itu terlihat maju. Rasanya sakit sekali jika terkena.

"Ih masa gini doang sakit sih? Kan udah biasa, aneh banget."

Olive terus saja berceloteh di dalam kamarnya, sembari mengobati luka-lukanya yang tadi ia peroleh dari amukan Kartika.

"Semoga besok nggak keliatan, eh sebentar memang ada yang peduli? Aku rasa nggak deh," lanjut Olive dengan terkekeh.

______

"Tapi Abi, Kahfi masih belum punya kepikiran untuk menikah."

"Kahfi, lihatlah umurmu lagipula banyak perempuan-perempuan sholihah yang pasti akan menerima lamaranmu, menikahlah, Nak. Selagi kamu sudah siap mental, siap materi. Menikah itu adalah ibadah seumur hidup, Nak."

"Tapi, Bi. Karena menikah itu, adalah ibadah seumur hidup kita harus mencari pendamping yang benar-benar pas, Abi. Kahfi tidak mungkin menikah begitu saja dengan memilih wanita secara acak," sanggah Kahfi, keduanya tengah berdebat di ruang tengah rumah mereka. Mereka berdua, Kahfi dan Ibrahim selaku Abi dari Kahfi sedang memperdebatkan masalah menikah.

"Tetapi, Nak. Perempuan-perempuan yang dipilih oleh Umma-mu pasti yang terbaik dari yang terbaik, Abi yakin itu." Ibrahim terus saja mendesak sang anak untuk menikah, karena menurutnya anak lelakinya ini sudah siap, baik secara mental, jasmani, maupun materi.

"Abi, Kahfi minta tolong, biarkan Kahfi memilih pasangan pendamping Kahfi sendiri, nanti. Bukan Kahfi meragukan pilihan Umma, dan Abi. Bukan. Tetapi, Kahfi benar-benar ingin memilih sendiri pasangan yang akan Kahfi ajak berumah tangga," kata Kahfi dengan nada memohon, tampak wanita paruh baya yang berpakaian tertutup sedang berjalan mendekat, dengan membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat.

Wanita itu adalah Syafira, Umma Kahfi.

"Abi, sudahlah jangan memaksa anakmu untuk menikah, bila sudah waktunya Kahfi pasti akan menikah, dengan pilihannya. Benar begitu, Nak?" lerai Syafira, meminta sang suami untuk berhenti memaksa anak lelakinya untuk menikah.

Kahfi tentu tersenyum, dan mengangguk dengan antusias. "Ya, Umma. Itu benar!"

Ibrahim menyambut kedatangan sang istri, bergeser sedikit agar sang istri duduk di sebelahnya. "Kemarilah, duduk disebelahku," perintahnya.

Syafira menuruti perintah sang suami dengan senang hati, wanita paruh baya tersebut duduk disebelah Ibrahim. Ibrahim mengangguk membalas ucapan yang sempat diutarakan oleh sang istri. "Ya, aku tahu itu. Tetapi, anakmu sama sekali tidak kepikiran untuk menikah, sayangku. Padahal aku rasa umurnya sudah cukup, materi, jasmani, dan mental pun aku rasa sudah cukup untuk menikah. Menikah tidak boleh ditunda-tunda karena itu adalah ibadah seumur hidup."

"Ibadah seumur hidup perlu didasari dengan kedua belah pihak yang sama-sama tulus, tidak ada yang terpaksa, saling mencintai karena Allah, agar mendapatkan ridhoNya. Abi," nasihat Syafira kepada sang suami, Ibrahim terkekeh kecil.

"Ya aku mengerti, ya sudah maafkan Abi ya, Kahfi. Maaf juga ya, Umma." Ibrahim mengalah dan meminta maaf kepada Syafira dan Kahfi.

"Bagaimana perusahaan Abimu, Nak? Apakah berjalan dengan lancar?" tanya Syafira, kemarin Ibrahim meminta agar Kahfi memegang perusahaannya.

Kahfi mengangguk kan kepalanya. "Semuanya berjalan dengan lancar, in shaa Allah," balas Kahfi apa adanya. Memang jika di pikir-pikir, semuanya berjalan dengan baik.

"Jika ada bermasalah di perusahaan, segera kabari Abi," perintah Ibrahim, pria itu tidak mau sang anak kerepotan karena tidak paham cara menyelesaikan masalah. Terlebih ini bersangkutan dengan banyak orang.

Kahfi mengangguk kan kepalanya sekali lagi, merespon perintah sang abi. "Ya Abi, Kahfi pasti langsung akan mengabari Abi jika ada apa-apa, in shaa Allah," kata Kahfi tidak lupa dengan di akhiri kata 'In shaa Allah' yang memiliki arti jika Allah berkehendak.

"Anakku yang penurut," puji Syafira mengelus surai Kahfi yang lebat. Beruntung sekali Kahfi mendapatkan keluarga yang sempurna seperti ini, yang merespon segala ucapannya, yang senantiasa memberikan semangat, dan dukungan penuh.

"Zannah dimana, Umma?" tanya Kahfi menanyakan keberadaan sang adik perempuannya yang sedari tadi tidak terlihat, di rumah besarnya ini tidak ada pembantu sama sekali.

Umma selalu menolak dan berkata kalau dirinya bisa melakukan, dan ingin mendapatkan pahala lebih dengan cara membereskan rumah besar mereka. "Zannah dikamarnya, temani dia."

Kahfi langsung beranjak dari tempatnya duduknya, untuk menemui adik perempuannya yang dirinya sayang.

"Anak kita sudah besar-besar, ya?" tanya Ibrahim mengelus puncak kepala sang istri yang terbalut hijab. Tadi, baru saja ada tamu yang datang oleh karena itu sang istri memakai pakaian tertutup.

"Iya, nggak kerasa. Padahal kayaknya baru kemarin aku gendong mereka, sekarang udah pada besar-besar banget." Syafira menyetujui perkataan sang suami.

"Semoga mereka mendapatkan takdir yang baik." Doa dari sang abi untuk anak-anak mereka.

"Aamiin, Allahumma aamiin."

Tok tok tok

"Zannah? Kamu di dalam, dek?"

Zannah langsung saja berdiri dan membukakan pintu kamarnya.

"Iya, sebentar," ujarnya agar kakak lelakinya sedikit sabar dan tidak mengetuk-ngetuk pintu yang menimbulkan berisik.

"Kenapa, Kak?" tanya Zannah saat sudah di hadapan Kahfi.

"Nggak apa-apa, cuman mau ajak kamu main. Kamu mau main nggak?" ajak Kahfi, Zannah yang sedang bosan di rumah tentu dengan semangat menerima ajakan sang kakak.

"Mau banget dong! Tunggu sebentar ya, Zannah mau siap-siap!"

"Oke." Balas Kahfi menuruti permintaan sang adik perempuannya.

"Tapi, Kak. Di bayarin kan?"

Kahfi lagi-lagi mengangguk. Zannah tentu saja senang karena di bayari oleh kakaknya.

* * * *

"Kak aku mau beli pentol," pinta Zannah, padahal di tangannya sudah penuh dengan bungkus-bungkus makanan. Kahfi menghela nafasnya.

"Kamu mau morotin, Kakak ya?" tanya Kahfi dengan tatapan curiga. Tentu saja pertanyaan itu hanyalah lelucon.

Zannah hanya menyengir. "Iya hehe."

"Hu dasar kamu nih, ya!"

"Ya udah, mau pentol apa, berapa?" Walaupun begitu, Kahfi akan tetap memberikan apa yang diinginkan oleh adik perempuannya.

Zannah tersenyum cerah, secerah matahari kala bersinar. "Yes! Kakak baik banget, deh! Jadi makin sayang tau!"

"Jangan alay," tegur Kahfi sukses membuat hati Zannah tertohok.

"Ya ampun, kata-katanya kasar banget," cibir Zannah, Kahfi hanya diam menanggapinya dengan dehaman singkat.

"Ya udah, jadi mau berapa?" tanya Kahfi masih menunggu respon dari sang adik.

"Mau pentol bakar, pentol telur, pentol yang ada tahunya, pentol yang ada kubisnya, sama pentol yang ada parenya." Zannah menyebutkan satu persatu pentol yang ingin dia makan.